dosen Komunikasi Fisip UAY &
mantan Sekjen PPI Belanda
mantan Sekjen PPI Belanda
Cerita tentang Dewan Perwakilan Rakyat di negeri ini dihiasi serangkaian ironi dan paradoks. Di era Orde Baru, institusi DPR tak lebih dari sekadar “tukang stempel” tiap kebijakan Soeharto. Di era reformasi ini, lembaga tersebut justru sarat kontroversi. Yang masih hangat adalah litani rengekan soal usulan fasilitas: dana aspirasi, dana pedesaan, hingga pembangunan gedung DPR yang justru ditolak dan dihujani kritik. Usulan-usulan tersebut dikritik karena kinerja DPR di bidang legislasi yang cenderung lemot dan semakin menurun. Kemampuan Dewan membuat produk undang-undang semakin rendah.
Pandangan negatif terhadap performa DPR juga tertangkap dalam beberapa jajak pendapat. Jajak pendapat Kompas (1-2 April 2009) tentang pandangan publik terhadap kinerja DPR menunjukkan, 67,3 persen responden dari total 844 responden menganggap citra DPR saat ini masih terpuruk. Sebelumnya, Survei Barometer Korupsi Global (BKG) menilai DPR sebagai institusi yang korup, bersama institusi peradilan dan kepolisian.
Studi banding
Selain korupsi dan moralitas, program studi banding anggota DPR banyak disorot. Resistensi dari masyarakat terhadap program ini terus menguat. Namun anggota DPR tetap getol mengadakan studi banding ke luar negeri. Bukan rahasia umum lagi, agenda studi banding sesungguhnya merupakan cara anggota DPR untuk bisa melancong gratis ke luar negeri. Studi banding dan berpesiar memang mengasyikkan, apalagi uang sakunya cukup besar.
Pro-kontra muncul menyikapi program studi banding anggota DPR. Di satu sisi, studi banding merupakan kesempatan bagi anggota DPR untuk belajar dan menambah pengetahuan. Di sisi lain, masyarakat menolak studi banding anggota DPR ke luar negeri kecuali untuk hal-hal yang mendesak dan sangat penting, seperti penandatanganan letter of intent.
Ketika tinggal di Belanda pada 2007-2009, Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda pernah melontarkan statemen menolak kunjungan DPR ke Belanda dan Eropa. Alasan utamanya, para anggota DPR RI yang datang ke Belanda waktu itu sekadar “studi banding”. Dari seluruh jadwal kunjungan, waktu yang benar-benar dipakai untuk mengunjungi departemen terkait hanya dua-tiga jam. Sisanya kunjungan jalan-jalan, shopping. Pada 2005, PPI Belanda sempat memergoki anggota DPR yang sedang berbelanja, kemudian menyebarkan foto-foto mereka lewat Internet.
Baru-baru ini (14-19 September 2010), diam-diam sebanyak 17 anggota Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Hortikultura dari Komisi IV DPR mengunjungi Belanda untuk melakukan studi banding dalam kaitan dengan Undang-Undang Hortikultura. Salah satu tempat yang dikunjungi adalah Universitas Wageningen di Belanda. Hebatnya, atau anehnya, PPI Belanda dan 60-an mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Universitas Wageningen tidak tahu bahwa anggota DPR mengunjungi kampus mereka.
Kritik
Ada beberapa pendapat yang mendasari mengapa masyarakat menolak studi banding anggota DPR ke luar negeri. Pertama, studi banding dinilai tidak tepat, karena selama ini studi banding anggota DPR ke luar negeri tidak memiliki tujuan jelas dan belum tentu mendatangkan manfaat. Selain memboroskan anggaran negara, efektivitas studi banding belum pernah teruji. Dalam setiap studi banding tidak pernah ada laporan, kecuali mungkin oleh-oleh yang dibawa buat keluarganya.
Kedua, kegiatan studi banding tidak etis secara sosial-politik karena saat ini masyarakat sedang dililit kesulitan ekonomi. Masyarakat mempertanyakan sensitivitas anggota DPR dengan memboroskan uang negara, sementara banyak rakyat menderita kemiskinan. Anggota DPR melenggang ke luar negeri, di saat yang sama rakyat meregang nyawa karena berebut untuk mendapatkan uang di depan Istana.
Ketiga, studi banding anggota DPR sering kali mengingkari transparansi dan akuntabilitas. Karena takut disorot masyarakat, kegiatan studi banding biasanya dilakukan sembunyi-sembunyi.
Keempat, beberapa kali terjadi, studi banding ke luar negeri ternyata salah sasaran karena negara yang dikunjungi merupakan negara yang sistem politik, aspek sosial, dan kondisi geografisnya amat berbeda dengan Indonesia sehingga hasilnya sia-sia. Kelima, pelaksanaan studi banding saat ini tidak tepat karena citra DPR sedang merosot akibat banyak anggotanya diduga terlibat korupsi dan produktivitasnya memprihatinkan.
Alternatif
Sebenarnya ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan untuk mengefektifkan kinerja anggota DPR. Pertama, alokasi anggaran kepada program yang bermanfaat dan menyentuh masyarakat. Daripada hanya menghamburkan anggaran negara untuk belajar tentang bunga dan cabai, dana untuk studi banding lebih baik dialokasikan untuk membiayai penelitian para mahasiswa yang meneliti tentang bunga dan cabai, sehingga berkontribusi bagi kesejahteraan rakyat.
Kedua, jika studi banding dilakukan sekadar untuk mengumpulkan informasi, kemajuan teknologi dapat menjadi solusi yang tepat, cepat, dan murah, melalui fasilitas Internet, telekonferensi, dan lain-lain. Anggota Dewan dapat mengunjungi situs resmi lembaga yang akan dikunjungi dan bisa mendapatkan banyak informasi tanpa mengeluarkan biaya sedikit pun.
Ketiga, akses masuk terhadap informasi atau pengetahuan semestinya bisa dilakukan dengan memaksimalkan fungsi staf ahli DPR atau dengan berkonsultasi dan mendatangkan pakar baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri ke Indonesia. Keempat, bekerja sama dengan KBRI, anggota DPR bisa memanfaatkan komunitas Indonesia dan pelajar Indonesia di luar negeri. Transfer informasi dan pencarian data bisa dilakukan dengan melibatkan komunitas pelajar (Perhimpunan Pelajar Indonesia) di negara yang dituju.
Pekerjaan rumah
DPR perlu mengevaluasi efektivitas berbagai studi banding, dan menghentikan program yang menghabiskan anggaran negara tersebut. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mencatat, untuk masa 2010 ini, DPR menganggarkan dana Rp 100 miliar lebih untuk studi banding, dan Rp 40 miliar di antaranya khusus untuk studi banding ihwal rancangan undang-undang (VIVAnews, 14/09/2010). Pemborosan uang negara dengan dalih studi banding harus dihentikan karena persoalan ekonomi masih menjadi persoalan utama kita. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa studi banding DPR hanya untuk pelesir ke luar negeri dan dinilai kurang bermanfaat. Faktanya, memang beberapa produk undang-undang bermasalah sehingga perlu dimintakan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.
DPR punya pekerjaan berat untuk berbenah dan memperbaiki citra yang merosot. Untuk itu, dibutuhkan niat dan kerja yang lebih serius, serta keterbukaan untuk dikontrol oleh rakyat. Hal ini bukan hanya semata persoalan pesona, tapi juga menyangkut tanggung jawab DPR terhadap rakyat. Seluruh elemen rakyat, khususnya Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) dan komunitas-komunitas Indonesia di luar negeri, perlu mengawasi acara studi banding DPR dan mempertanyakan makna, tujuan, dan hasil konkret dari setiap kunjungan anggota DPR. Kita tidak boleh jemu untuk terus mengingatkan anggota Dewan yang terhormat bahwa mereka telah memiliki segalanya. Yang tidak mereka miliki adalah perasaan malu.
Sumber: Koran Tempo, 28 September 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!