dosen di Universitas Nasional, Jakarta
Alhamdulillah, kami sudah di Jakarta lagi setelah mudik, merayakan Hari Raya Idul Fitri di desa. Kembalilah kami (tepatnya barangkali, kita) ke realitas dan rutinitas pusat supersibuk Indonesia: Jakarta.
Kami larut dalam puluhan atau bahkan ratusan ribu pemudik dan arus baliknya. Dari tahun ke tahun selalu begitu: sudah menjadi tradisi. Suasana Indonesiawi yang terasa masih ditandai oleh sesuatu yang tampak ekstrim: Jakarta kosong ditinggalkan oleh mayoritas penghuninya.
Jakarta menjadi semacam kota yang aneh. Tapi, dalam keadaan seperti itu, cocoklah ia sebagai ibukota, sehingga tak usah dipindah. Ya, seandainya saja Jakarta sepi terus, sehingga jalanan “lancir”, saking lancarnya.
Daerah-daerah menerima “orang-orang aslinya” yang tersedot ke berbagai kota dengan dalih mencukupkan ekonominya. Setelah beberapa hari, desa sepi lagi. Jakarta ramai lagi. Selama ibukota belum pindah, sejarah “orang-orang pusat” alias tokoh-tokoh nasional, masih sangat ditentukan oleh Jakarta.
Kesenjangan antara Jakarta (sebagai ikon dari suatu kota “penuh segalanya”) dengan daerah, cukup terasa. Kemiskinan memang gampang ditemukan di Jakarta, tetapi di desa ternyata juga demikian. Cuma yang miskin di kota dan di desa itu berbeda dari, terutama konteks solidaritas sosialnya.
Di desa hubungan antar-individu masih relatif cukup erat dibanding dengan orang-orang kota. Modal sosial warga pedesaan masih terasa efek positifnya, walaupun dalam beberapa kasus tergusur gaya hidup modern yang juga telah merambah desa-desa kita.
***
Pada 1970-an, jumlah pesawat televisi di desa masih sangat sedikit. Satu pesawat televisi (tipi atau pisyi) dikerubut ramai-ramai. Warga desa setiap malam “nonton bareng” di depan televisi Pak Lurah atau Pak Haji.
Emha Ainun Nadjib merekam kondisi desa kita waktu itu, dalam kumpulan esainya “Indonesia bagian Teramat penting dari Desa Saya”, bahwa modernisasi memang berjalan sedemikian rupa, yang membuat orang-orang desa nggumum alias heran dengan hadirnya benda-benda aneh dari kota.
Selain pisyi, benda aneh itu bernama traktor, uduk dan montor kol. Emha menggambarkan ketika montor kol yang dimanfaatkan untuk mengusung hasil pertanian (padi) melintas di jalanan desa yang sempit dan belum beraspal, anak-anak kecil berlarian di belakangnya.
Anak-anak kecil itu bersuka ria menyambut kehadiran “makhluk aneh” yang lebih hebat ketimbang gerobak yang digerakkan sapi, atau andong yang digerakkan kuda itu. Montor kol digerakkan oleh mesin yang canggih, yang bisa dinaiki oleh Grup Band Koes Plus sambil nyanyi lagi “pelangi, engkau pelangi..”.
Tentu desa kini sudah lain. Modernitas sudah bukan lagi menjadi “makhluk aneh”. Di pedesaan-pedesaan yang kondisi geografisnya di lereng gunung, seperti Cepogo, Boyolali, antena parabola sudah menjadi kepemilikan dari rumah ke rumah.
Jumlah pemilik mobil dan sepeda motor juga sudah banyak. Untuk pergi ke sawah saja, banyak yang mengendarai sepeda motor. Jumlah pemilik sepeda (bukan motor), tampak tergeser oleh jumlah pemilik sepeda motor –karena syarat kreditnya makin mudah dan masyarakat desa sudah kian akrab dengan “cicilan”.
Akses informasi juga relatif mudah didapat di desa-desa, seiring dengan lengkapnya infrastruktur. Oleh sebab itulah, permasalahan-permasalahan sosial di desa juga, sesungguhnya tak kalah kompleks.
Suratkabar-suratkabar lokal sering memberitakan bagaimana permasalahan sosial kota, juga terjadi di desa. Misalnya, seperti terjadinya kasus pembunuhan oleh seorang pelajar pria terhadap pacarnya, dimana media yang berperan penting adalah telepon seluler.
Pengguna telepon seluler memang sudah merambah ke mana-mana, hingga ke desa-desa, dan dimiliki oleh para pelajar, SMP dan SMA terutama. Interaksi mereka juga ditentukan juga oleh kultur SMS melalui telepon seluler ini.
Kabar-kabar ke desa memang jauh lebih cepat pada masa kini, dibandingkan dengan era telegram tempo dulu. Kita bisa telepon ke kelurahan atau SMS ke salah satu punggawa desa –malah di beberapa desa sudah ada internetnya.
Jadi, di desa-desa kita kini, telepon seluler pun juga sudah menjadi benda yang tidak asing lagi.
***
Siaran-siaran radio juga tak kalah variatifnya, menyejajari radio-radio dengan bahasa ke-jakarta-Jakarta-an. Saya susah sekali menemukan siaran radio Bahasa Jawa yang konsisten di Solo, Yogya, Semarang dan sekitarnya –padahal sebagai orang Jawa saya rindu bahasa itu.
Mendengarkan radio Bahasa Jawa bagi saya adalah hiburan yang menyegarkan. Maklum sejak lahir, bahasa sehari-hari saya adalah bahasa daerah, sehingga Bahasa Indonesia saya, seolah-olah merupakan terjemahan dari Bahasa Jawa.
Menyerap suasana daerah dan desa, tentu dengan bahasanya. Bagaimana bahasa daerah masih diterapkan sedemikian rupa, dan belum punah. Bagaimana pertandingan tinju disebut sebagai “boksen”, sementara petinjunya disebut “juru tabok”. Bagaimana pula sepeda motor disebut “uduk”, sementara mobil disebut “montor”.
Bagi saya (mungkin juga Anda) tanpa terasa sering menciut menjadi hanya sekedar kepingan nostalgik dalam benak kita. Desa, seperti JJ Roesseau catat dalam beberapa fiksinya, adalah kepingan romantik, apabila perbandingannya adalah kota yang sudah demikian parah pencemarannya.
Akibatnya, desa tertinggalkan secara merana. Kita hanya mencatat kepingan-kepingan indah masa kecil, tanpa banyak melakukan sesuatu untuk “kabaikannya” di masa kini dan ke depan. Padahal, banyak problem yang membutuhkan “tenaga ahli” dari kita –orang-orang kota yang sejatinya “wong ndeso” itu.
Bantuan-bantuan kita ke desa sekedar karitatif, bukan pemberdayaan yang sungguh-sungguh. Infrastruktur desa, khususnya jalan-jalan desa, kian tak terawat. Di desa saya, lebih mengenaskan, ribuan hektar sawah menganggur, dibiarkan ditumbuhi rumput dan semak. Tanahnya, sudah tak kondusif untuk ditanami.
Dan hingga hampir empat kali musim tanam (yang gagal itu), belum ada solusi jitu dari para pakar pertanian –sementara para petani enggan menanam tanaman lainnya, selain padi.
***
Ajakan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo “Bali Ndeso, Mbangun Deso” alias ayo kembali ke desa dan membangun desa dengan sungguh-sungguh –kelihatannya masih sebatas slogan.
Tantangan nyata otonomi daerah –terutama karena basisnya adalah kabupaten/kota– adalah memakmurkan desa, membuat desa menjadi semakin menarik. Akibatnya, arus urbanisasi dari desa ke kota bisa diminimalisasi. Alih-alih mampu menyedot kehadiran “orang-orang kota” untuk berinvestasi secara proporsional “tanpa merusak”.
Tapi, hari-hari ini cerita tentang “otonomi daerah” itu, masih diwarnai oleh cerita-cerita politik: jor-joran dukungan dalam pilkada, kisruh pilkada, korupsi-korupsi tingkat lokal dan sebagainya.
Topik-topik tentang pembangunan desa, seolah-olah mandeg kini. Bukan karena kita terbiasa menonton siaran televisi yang tak ada lagi rubrik “Dari Desa ke Desa” TVRI 1970-an dan 1980-an, tetapi disebabkan banyak hal.
Koperasi Unit Desa (KUD) kelihatan tak begitu berkembang pada era penuh persaingan ini. Kelompok-kelompok petani belum terorganisasikan dengan cukup baik –karena keterbatasan sumberdaya manusia. Peran pemerintah pun tak sepenuh era Orde Baru –ini karena pemerintah juga tidak boleh terlalu banyak mendiktekan sesuatu.
***
Dan yang tak kalah menyedihkannya adalah kondisi kreativitas anak-anak mudanya. Padahal daya tahan untuk bisa dan “berani hidup di desa” adalah kreativitasnya.
Mindset atau pola pikir anak-anak muda di desa, banyak yang masih seperti saya: sekolah dan kuliah di kota dan mencari pekerjaan di Jakarta. Desa, jadinya kekurangan tenaga kerja terdidik. Bahkan ahli pertanian pun –karena para sarjana pertanian justru banyak terserap ke sektor lain, termasuk banyak yang menjadi wartawan.
Saya kira, anak-anak muda perlu mengubah mindset-nya. Dan anak-anak muda desa yang di kota, mestinya merasa berutang pada desa –dan harus melakukan sesuatu agar desanya maju.
Para peraih award pemuda berprestasi, mestinya pula mereka yang berani hidup di desa, melaukan inovasi dan selalu kreatif –sehingga membuat desa menjadi semakin menarik. Wallahua’lam.
Sumber: Antara, 19 September 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!