Oleh Boni Hargens
Pengajar Ilmu Politik
Universitas Indonesia
TAHUN ini, Parlemen
Sri Lanka meloloskan usulan perubahan masa jabatan presiden sehingga Mahinda
Rajapaksa bisa berkuasa lagi untuk periode ketiga. Akibatnya, Freedom House
memberi skor 4 untuk masing-masing kategori kebebasan sipil dan hak politik
bagi Sri Lanka untuk 2010, yang sama artinya dengan setengah bebas (partly
free). Kita juga pernah dicengangkan bola panas soal masa jabatan presiden tiga
periode. Ide aneh itu meluncur dari mulut wakil rakyat Ruhut Sitompul dari
Partai Demokrat. Para pengamat politik sibuk, termasuk penulis, mengomentari
statement politikus unik itu di televisi, radio, media cetak, dan situs berita.
Ada pendengar di
Radio Pikiran Rakyat Bandung yang bilang, ide gila itu tak penting ditanggapi.
Pendengar Radio Republik Indonesia malah bilang, tiga periode karena modal
(kampanye) belum balik. Beragam tanggapan, tapi tak satu pun bernada positif.
Hal itu
mencerminkan dua kenyataan penting. Pertama, masyarakat Indonesia sudah paham
dengan prinsip demokrasi. Tak peduli berapa banyak dari 240 juta penduduk yang
sadar penuh. Paling penting, bahwa kekuasaan dalam demokrasi selalu dibatasi
konstitusi. UUD 1945 menulis dengan jelas, masa jabatan presiden maksimal dua
periode (10 tahun). Itu sebabnya, begitu bergulir wacana tiga periode, publik
resisten dan tertawa sinis.
Kedua, dalam tawa
sinis, mungkin sambil menggelengkan kepala, kita sebetulnya menyimpan kecemasan
yang serius di dalam benak. Mungkinkah ide gila itu hanya milik seorang Ruhut?
Betulkah parlemen bisa membendung bola ketika nanti perubahan konstitusi
dilaksanakan?
Dalam ruang
kecemasan inilah, kita bisa percaya bahwa Ruhut tak sendirian. Artinya, ada
kehendak politik laten yang diam-diam mau menjebol konstitusi untuk kepentingan
parsial. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menegaskan bantahannya
terhadap wacana tersebut. Kita bangga dengan itu sekaligus menaruh harapan yang
besar dalam setiap kata-kata yang diucapkan Presiden. Akan tetapi, dalam
kekuasaan yang mapan, seorang presiden tentu bukanlah milik dirinya. Presiden
adalah milik kelompok. Ia bisa bertindak di luar kehendak dirinya ketika
kelompok menghendaki hal tertentu secara tertentu pula. Dulu Soeharto bertahan
32 tahun. Saya tak percaya Soeharto sepenuhnya menghendaki panjangnya umur
kekuasaan. Boleh jadi, beberapa tahun dari keseluruhan usia jabatan adalah
kehendak kelompok (soehartois).
Implikasinya, ide
tiga periode boleh tidak dikehendaki presiden, tapi kalau kelompok menghendaki
demikian, kehendak SBY hanyalah anasir tambahan yang dalam situasi kompleks tak
perlu dipertimbangkan. 'Orang-orang presiden' bisa saja bekerja untuk
mengegolkan bola tersebut meski harus merobohkan gawang konstitusi, termasuk
melawan kehendak pribadi presiden. Untuk saat ini, penulis tak sepenuhnya yakin
Demokrat di bawah pimpinan Anas Urbaningrum dan parlemen di bawah pimpinan
Marzuki Alie akan berdiri di belakang politikus penendang bola panas ini.
Mereka adalah politisi matang yang berpikir maju dan selalu dalam koridor
demokrasi modern. Namun, yang dicemaskan adalah politisi musiman yang bergerak
tak beraturan seperti lempeng karambol di ujung jari peronda malam yang mau
menghilangkan dingin malam dan rasa cemasnya. Apalagi, praktik politik di kita
sering kali di luar logika normal.
Dalam konteks ini,
saya teringat lagu Keong Racun yang belakangan melambungkan nama Jojo dan
Shinta di belantara musik Indonesia. Bukan genre dangdut dalam lagu itu yang
mau kita bincangkan, melainkan pemakaian judul Keong Racun. Mereka yang suka
makanan air tahu betul mana keong yang bisa dimakan dan mana yang berbisa.
Sebagaimana lagu-lagu pop umumnya di Tanah Air, 'keong racun' berpretensi
mengumpat kebinalan naluri lelaki dan kebebalan perilaku cinta kaum adam. Itu
tersurat dalam syair 'dasar kau keong racun, baru kenal ngajak tidur. Ngomong
gak sopan santun, kau anggap aku ayam kampong'. Sebagian pria baik mungkin
protes, terminologi keong racun terlalu sarkastis. Tapi, itulah faktanya di
mata Shinta dan Jojo. Bahwa lelaki sering kali merendahkan perempuan, bahkan
dalam UU Pornografi, No 44/2008, disudutkan sebagai sumber maksiat. Begitu juga
dalam 66 perda bernuansa agama. Bahkan oleh sebagian pria, nikah siri yang suci
dasarnya dijadikan alat legalisasi pelacuran. Seperti sulit membedakan
laki-laki keong racun dan keong baik, begitu juga kita sulit membedakan mana
politikus keong racun dan mana politikus baik dalam kancah politik. Tapi yang
jelas, politikus keong racun cenderung pragmatis, bahkan tak mengenal ideologi
lain selain pragmatisme. Mereka menjual rakyat untuk suara dalam pemilu.
Konstitusi ditabrak untuk harta dan kuasa. Dalam kamus politik mereka,
demokrasi hanya judul untuk membungkus kerakusan irasional yang mengorbankan
bangsa dan negara. Karena itu, berbicara perubahan dalam konteks ini adalah
berbicara tentang bagaimana mengurangi, kalau tak bisa menghabisi, politikus
keong racun agar negara ini bisa benar. Kepemimpinan yang kuat, atau sebagian
ahli bilang negara yang kuat, adalah kondisi ideal yang bisa membatasi jumlah
keong racun. Pendidikan politik untuk masyarakat juga langkah yang tepat untuk
membasmi keong racun dimulai dari bilik suara dalam pemilu. Tanpa kesadaran
politik, masyarakat tak bisa mandiri menilai calon pemimpin, malah negeri ini
pun bisa menjadi sarang keong racun.
Sumber: Media
Indonesia, 13 Oktober 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!