Pemerhati Masalah Amerika Latin &
Lulusan Universidad Pontificia de Salamanca Spanyol
Lulusan Universidad Pontificia de Salamanca Spanyol
Lider natural (pemimpin alamiah), demikian julukan pas untuk Luis Urzúa.
Pada kedalaman bumi hampir 700 meter, ia menginspirasi 32 rekannya untuk bertahan hidup, demikian ditulis El Mundo (15/10). Tidak hanya itu. Kerja keras Menteri Pertambangan Laurece Golborne, sang insinyur cerdas André Sougarret, dan Presiden Sebastián Piñera (baca Pinyera) pantas diapresiasi sebagai pribadi penuh inspiratif, demikian Piensa Chile (13/10).
Pertanyaannya: apakah itu terjadi secara kebetulan atau hasil dari sebuah pergumulan panjang (baca: reformasi ala Cile)?
Gaya Cile
Cile, negara berpenduduk 17 juta jiwa dan luas 756.096 km², bukan baru sekarang menggugah dunia lewat peristiwa penyelamatan 33 petambang. Dalam dua puluh tahun terakhir, Cile sudah menarik simpati dunia dengan konsistensi dan komitmen (terutama pemimpinnya) menganyam bangsa yang lebih baik.
Saat diktator Augusto Pinochet dilengserkan dari kekuasaan, rakyat Cile tidak emosional dan tenggelam dalam euforia kemenangan. Memang ada trauma tragis yang diwariskan sang jenderal. Akan tetapi, yang lebih penting adalah sejarah menjadi pembelajaran berharga untuk meletakkan landasan kokoh bagi generasi mendatang.
Para presiden sesudahnya pun menyadari perannya sebagai penerus amanah reformasi. Aneka iri, sikut-menyikut, dan dendam karena tersingkir sama sekali absen. Mereka sepakat untuk saling mendukung, yang tampak pada kekompakan Ricardo Lagos, Eduardo Frei Ruiz-Tagle, Michelle Bachelet, dan Patricio Aylwin untuk berfoto bersama. Rakyat Cile menghargai foto itu karena mengatakan segalanya.
Maret lalu, dunia juga terperangah. Sebastian Piñera, pengusaha yang menurut The World’s Billionaires: Forbes (2009) memiliki kekayaan tak kurang dari 1,3 miliar dollar AS, dipercaya jadi presiden. Hal ini aneh mengingat presiden sebelumnya, Michelle Bachelet, dari golongan sosialis, meninggalkan Cile dengan angka popularitas 81 persen. Menurut Leonardo Cáceres dalam Chile gira a la derecha (2009) (Chile Berbelok ke Kanan), kepemimpinan kaum sosialis telah berhasil menurunkan angka kemiskinan dari 40 persen pada dekade 1980-an menjadi 13 persen.
Namun, masyarakat Cile punya gaya lain dalam menentukan pemimpin. Pengusaha, pemilik klub Colo-Colo yang berasal dari golongan konservatif kanan, diberi kepercayaan oleh rakyat menjadi Presiden. Bagi rakyat, pilihan itu selain demi rotasi kepemimpinan (karena kekuasaan memabukkan bila terlampau lama pada sebuah partai), juga karena keyakinan, siapa pun yang memimpin Cile hanya meneruskan amanah rakyat, bukan memerintah sekehendak partai.
Komitmen
Cile tidak hanya bergaya demi tampil anggun atau sekadar tebar pesona. Bagi mereka, kepemimpinan memiliki arah yang jelas, yakni mengupayakan kesejahteraan yang adil dan merata, hal mana termaktub indah dalam program ”Chile Solidario”.
Melalui program ini, siapa pun pemimpinnya harus meneruskan program sosial. Program meliputi jaminan sosial, perlindungan kesehatan selain subsidi keuangan. Akses untuk program promosi sosial, pinjaman, pekerjaan, dan pensiun juga menjadi kesepakatan bersama.
Semua rakyat, terutama yang miskin dan menderita, mendapat tempat istimewa. Keyakinan ini jugalah yang barangkali menjadi kekuatan hidup para petambang selama 69 hari di perut bumi. Mereka yakin, pemerintah tidak akan membiarkan mereka mati terkubur. Mereka hanya perlu menanti dalam optimisme.
Drama San Jose tentu bukan tontonan belaka. Ia menitip pesan yang terlampau bermakna.
Pertama, Keyakinan akan pemerintah yang ikhlas memperjuangkan kepentingan rakyat, sangat menenteramkan rakyat.
Rakyat Cile, misalnya, tak perlu beringas, emosional, bersikutan, apalagi saling berebutan yang kemudian berakhir kematian hanya demi menunggu zakat atau transportasi umum. Mereka tenang karena pemimpinnya memberi ketenteraman dan kepastian.
Kita? Rakyat yang sebenarnya sabar dan punya kepercayaan kepada pemimpinnya terkadang dibuat kecewa. Akibatnya, mereka pun menjadi cepat marah. Aneka kekerasan yang begitu mudah terjadi menjadi contohnya. Hal ini mestinya menjadi alarm bagi para pemimpin agar segera mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Kedua, Cile menghadirkan sebuah kepemimpinan penuh aksi. Di saat rakyat menderita (dan terancam mati terkubur hidup), mereka menyatukan kekuatan. Kepemimpinan pun diarahkan demi menjadikan aksi sebagai hal nyata. Di sini mereka menghayati apa yang disimpulkan Donald H McGannon dalam Leadership is Action, not Position.
Piñera tidak menjadi presiden demi mencari posisi. Bila demi posisi, maka itu dimaksudkan untuk rakyatnya. Ia tidak akan nyaman bila demi posisi rakyat terpaksa dikorbankan. Yang tampak adalah keinginan agar dalam tangannya (sebagaimana dilakukan pendahulunya), upaya menyejahterakan rakyat terwujud.
Model kepemimpinan inilah yang sangat kita rindukan. Wacana sudah terlampau banyak diumbar. Pesona terlampau banyak kita jaga. Yang mestinya kita tampilkan adalah aksi. Dalam konteks ini, tragedi seperti lumpur Sidoarjo mestinya tidak berkepanjangan bila posisi tidak terlalu dipertaruhkan.
Yang kini terjadi justru yang tidak kita harapkan. Rakyat dikorbankan demi posisi. Cile menggugah kita untuk beralih.
Sumber: Kompas, 23 Oktober 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!