Headlines News :
Home » » Negara dan Krisis Biopolitik

Negara dan Krisis Biopolitik

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, October 14, 2010 | 10:53 AM

Oleh Max Regus
Alumnus Pascasarjana Sosiologi UI;
Direktur Parrhesia Institute Jakarta

Harian Kompas menurunkan dua berita yang mencolok penting pada 4 Oktober lalu. Pertama, di bawah judul ”Negara Seakan Tak Hadir” dengan mengutip pendapat Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi, bahwa ada jarak yang kian lebar antara komitmen politik dan pilihan tindakan kekuasaan (negara) dalam pengurusan kehidupan publik.

Rakyat berada dalam situasi batas menakutkan dengan ketidakpastian perlindungan sosial, politik, dan ekonomi memadai dari negara. Selama sebulan terakhir kesaksian kritis ini mendapatkan pembenaran yang tidak terelakkan.

Kedua, dengan judul ”Karena Tertidur, Masinis Kereta Api Argo Bromo Anggrek Jadi Tersangka”, yang menghadirkan permenungan penting lain bahwa ada sesuatu yang berlaku umum dalam pengurusan kebijakan publik. Pihak paling bawah dari keseluruhan penanggung jawab kebijakan, seperti M Halik Rudianto, masinis KA Argo Bromo Anggrek itu, akan dengan mudah menjadi ”simbol” kelalaian. Sang masinis menjadi gambaran kesalahan. Dia tidak bisa mengelak meski hanya bagian yang sangat kecil dari keseluruhan sistem kebijakan publik.

Lalu, di mana negara yang seharusnya memberikan jawaban-jawaban lengkap atas semua kejadian tragis yang mengancam kehidupan sosial?

”Elusive”

Seperti yang terjadi di Pemalang, dalam kecelakaan kereta api itu, ada bahaya yang sangat besar bahwa mereka yang kecil dalam keseluruhan jaringan kekuasaan yang mengurus kehidupan publik, seperti M Halik Rudianto, akan menjadi tumbal dari keseluruhan kenyataan konkret ketidakhadiran negara.

Apa yang dikatakan JA Caporaso (1989) tentang elusive state bisa menjadi kristalisasi kondisi budaya politik kekuasaan (negara) kita.

Kejadian kasuistik seperti kecelakaan kereta api di Pemalang mungkin tidak akan pernah bisa menjadi titik tolak untuk membongkar ketidakjelasan mekanisme tanggung jawab politik negara. Sebab, di sana sudah ada pihak yang bertanggung jawab secara penuh: sang masinis yang mengantuk dan lalai menjalankan tugas!

Tidak ada ruang yang aman dan nyaman! Barangkali ini menjadi kulminasi krisis sosial politik kehidupan kita sekarang ini. Bukan saja di jalan raya, di ruang pengadilan, bahkan di rumah ibadat, kekerasan terus menindas rasa tenteram dan kebersamaan sosial di negeri ini. Keberingasan sudah sedemikian kuat merusak wilayah kesadaran sosial politik.

Atmosfer kehidupan beraroma ketakutan. Mereka yang tidak berdaya secara sosial, politik, dan ekonomi terus meratap dalam sepi. Sementara yang kuat dan memiliki sumber daya sosial akan mengunggulkan pendekatan yang mereka rancang untuk dipaksakan kepada pihak lain.

Dalam keadaan semacam ini, manakala pemegang wewenang tertinggi kekuasaan (negara) tidak menunjukkan ketegasan politik, masyarakat akan terkurung dalam ketakutan dan kekerasan berkepanjangan. Ketidakberdayaan negara dalam beberapa waktu belakangan menghadirkan implikasi yang berdampak buruk bagi kehidupan bersama. Kelalaian politik dan kekerasan sosial semakin merajalela.

Biopolitik

Kondisi yang terus merapat ke garis ”darurat” memang membutuhkan negara yang mampu menunjukkan tanggung jawab dan ketegasan politik untuk mengurus kehidupan publik.

Setelah mengalami betapa negara goyah menghadapi dinamika sosial yang ada, anjuran yang disampaikan Jens Bartelson (2001) dalam apa yang disebutnya recycling the state, juga Gabriel A Almond (2001) dalam gagasan The Return to the State, merupakan langkah-langkah yang paling mendesak untuk melihat kembali negara yang mampu mewujudkan komitmen politik yang kuat dan efektif. Negara yang, dalam ungkapan Michael Dillon (2007), mampu membangun ”biopolitik” yang beradab dan manusiawi!

Namun, sampai pada titik ini, kita tidak lagi berbicara tentang segala wewenang yuridis-formal yang merupakan domain negara (kekuasaan). Yang dibutuhkan pada level ini adalah nilai keutamaan yang mampu mendorong keteguhan memihak pada kepentingan bersama. Terutama bagaimana menunjukkan perlindungan sosial politik terhadap kelompok lemah.

Ini hanya bisa mengalir dari ruang kekuasaan. Joo Heung Lee (2005) menuliskan itu dengan indah bahwa di atas ”kontrol” politik yang menjadi hak negara dan seperangkat tanggung jawab yang menjadi kewajibannya, harus ada ”kemurahan hati” untuk menggerakkan semua itu ke arah kehidupan yang semakin sejahtera.

Kombinasi antara wewenang politik dan keutamaan moral akan memampukan negara mengawal biopolitik yang adil dan demokratis!
Sumber: Kompas, 14 Oktober 2010

SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger