Headlines News :
Home » » Muhaimin Iskandar: Lebih Besar Manfaat ketimbang Mudaratnya

Muhaimin Iskandar: Lebih Besar Manfaat ketimbang Mudaratnya

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, November 29, 2010 | 1:30 PM

Sungguh memilukan nasib Sumiati, tenaga kerja wanita asal Nusa Tenggara Barat. Pergi jauh-jauh ke negeri orang untuk menambal nafkah keluarga, dia malah mendapat siksaan tak terperi dari majikan di Arab Saudi. Sekujur tubuhnya penuh luka, dan yang paling mengerikan: bibir bagian atasnya hilang digunting majikan yang telengas.

Demi mengais rezeki pula, Kikim Komalasari, tenaga kerja asal Cianjur, Jawa Barat, harus kehilangan nyawa. Lagi-lagi kisah nestapa itu terjadi di Arab Saudi. Lantaran sering terjadi penganiayaan terhadap tenaga kerja kita di sana, pemerintah pernah melarang pengiriman tenaga kerja atau melakukan moratorium pada 2006.

Reda sesaat, keran pengiriman tenaga kerja kembali dibuka tanpa ada perbaikan sistem. Tak mengherankan bila kasus kekejaman terhadap "pahlawan devisa" kembali berulang. Menghadapi situasi terbaru, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar memilih mengetatkan pengawasan ketimbang menghentikan sama sekali pengiriman tenaga kerja baru.

Moratorium, menurut Muhaimin, malah mengundang pekerja ilegal dengan alasan umrah dan wisata. Pemerintah juga akan dianggap tak adil terhadap pekerja yang sukses dan diterima dengan baik oleh majikannya. Dia menunjuk contoh Malaysia: tenaga kerja asal Indonesia masih ada yang bisa pergi dengan alasan wisata.

Di tengah kesibukan kerja dan upaya memantau perkembangan kasus Sumiati, Selasa pekan lalu, Muhaimin menerima Yandi M. Rofiyandi, Ninin Damayanti, Istiqomatul Hayati, Akbar Tri Kurniawan, dan fotografer Jacky Rachmansyah dari Tempo di kantornya. Wawancara yang berlangsung hangat berlanjut di perjalanan menuju Bandar Udara Soekarno-Hatta karena Muhaimin harus melakukan kunjungan ke Yogyakarta.

Penyiksaan terhadap tenaga kerja di luar negeri kembali terulang....
Setiap hari, bulan, dan tahun kita melakukan upaya tiada henti menyempurnakan sistem perlindungan, pelayanan, dan penanganan kasus. Kami perlu mendalami, apakah kasus ini muncul karena ada masalah atau kuantitasnya terlampau besar sehingga tak mungkin tidak ada kasus. Sejak 2002, saya sudah berpikir harus ada langkah revolusioner karena terjadi terus-menerus. Di Malaysia, sudah kita lakukan moratorium. Langkah ini berhasil mengurangi jumlah, tapi tak bisa menutup total.
Mengapa tak melakukan moratorium pengiriman tenaga kerja ke Arab Saudi seperti halnya di Malaysia?
Kita belum tahu detailnya. Malaysia itu lalu lintas dan kulturnya sangat dekat sehingga tak bisa jadi ukuran. Di Yordania, evaluasi terakhir cukup efektif, tapi migrasi ilegal tetap berlangsung karena ada visa on arrival. Jumlahnya turun drastis sehingga banyak perusahaan pengelola tenaga kerja bangkrut, termasuk di Kuwait. Di Saudi permintaan dan penawaran kuat, sehari bisa 2.500 tenaga kerja. Jadi masyarakat tak boleh emosional. Moratorium juga bisa memicu munculnya pekerja ilegal melalui umrah. Pembenahan persoalan ini harus ekstrasistemik. Saya belum memutuskan apakah jadi melakukan moratorium atau tidak.

Apa kendala dalam melakukan moratorium?
Moratorium lebih pada sisi pembenahan. Harus ada kepastian waktu dan bisa dirahasiakan kepada negara serta pelakunya. Selama proses ini juga harus memperketat penjagaan semua pintu keluar. Di Malaysia, banyak yang masuk dengan alasan wisata. Selama moratorium juga harus mencari solusi dalam negeri mengenai pembenahan dan alternatif kerja. Saya pernah bertemu dengan bupati yang penduduknya banyak bekerja di luar negeri. Setiap hari transaksi di bank di daerah itu mencapai Rp 1 miliar.

Mengapa pemerintah tak memiliki kerja sama bilateral dengan Arab Saudi mengenai tenaga kerja ini?
Pemerintah Arab Saudi menganggap penyaluran tenaga kerja ditangani sektor swasta. Persoalan tenaga kerja di bawah Kementerian Tenaga Kerja dan Dalam Negeri. Saya berkali-kali ketemu minta dilakukan pembahasan dan mereka selalu menjawab akan dipertimbangkan. Kami bertemu dengan Menteri Tenaga Kerja Saudi di Jenewa pada acara International Labour Organization. Ia berkata, "Sudahlah, percayakan pada undang-undang kami tanpa harus ada MOU." Arab Saudi tak memiliki nota kesepahaman dengan negara lain. Kalau Indonesia meminta MOU, Filipina dan negara lain akan minta. Mereka berkomitmen membantu pengawasan dan lain-lain.

Mengapa percaya pada jaminan Saudi padahal banyak kasus di sana tak ada penyelesaian hukumnya dan majikan malah dilindungi pemerintahnya?
Kami sedang melakukan investigasi apakah sinyalemen itu benar. Semua kejahatan di sana juga ada hukumannya. Saya berkali-kali ketemu dengan orang Arab. Katanya, 50 persen orang yang dipenggal di sana itu orang Arab dan sisanya orang asing dari berbagai negara. Saya terus terang kesulitan memperoleh data signifikan. Untuk itulah selama masa pengetatan ini akan dilakukan investigasi.

Pengawasan tenaga kerja di Arab Saudi terkesan lebih susah ketimbang di negara lain....
Ini sektor domestik. Rumah tangga di sana tertutup. Masalah lain, akses tenaga kerja kita. Padahal, dalam setiap pembekalan akhir, selalu diberikan nomor telepon Kementerian Tenaga Kerja, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, serta kedutaan setempat. Tapi sampai di sana tak bisa bawa telepon seluler.

Apa alasan di balik rencana pemerintah membekali tenaga kerja dengan ponsel?
Makna di balik kebijakan ponsel ini adalah agar dalam setiap perjanjian kerja, TKI berhak memiliki dan memegang ponsel. Kalau kita tak berusaha membuat perjanjian kerja seperti itu, apa lagi usaha kita. Masak kita biarkan. Kalau dibilang tak ada solusi, lalu bagaimana solusinya? Kalau masuk perjanjian kan paling tidak ada akses. Solusi idealnya, bisa saja membuat asrama khusus tenaga kerja. Tapi pemerintah di sana belum menyetujuinya.

Ada pula usul melakukan fit and proper test calon majikan?
Kita sedang berpikir memperketat majikan pengguna tenaga kerja kita. Misalnya peta rumah dan jumlah keluarga yang ada di rumah itu harus diketahui sebelum berangkat. Tidak boleh berpindah di luar kontrak itu. Dalam fit and proper test di Saudi juga harus ada informasi tentang majikan dan dilampirkan dalam perjanjian kerja. Kalau tak ada informasi tentang calon pengguna, jangan disetujui.

Diplomasi kita dengan Arab Saudi juga terlihat sangat lemah....
Sebetulnya tidak lemah. Kita bisa saja bilang sekarang TKI tidak usah berangkat ke Arab. Maka kita menunggu hasil investigasi lalu diputuskan melalui rapat kabinet. Kalau memang tutup total, pengawasan harus diperketat. Bisa saja biro travel yang memberangkatkan dihukum mati karena masuk kategori jual-beli manusia. Biro travel umrah harus dibuatkan peraturan pemerintah. Tapi saya mengajak semua pihak berpikir komprehensif. Pemerintah akan betul-betul melakukan kalkulasi. Saya masih percaya tenaga kerja lebih besar manfaat daripada mudaratnya.

Jadi pemerintah berpendapat tenaga kerja di Arab Saudi masih lebih banyak manfaatnya?
Pemerintah berusaha mencari kesimpulan adil terhadap tenaga kerja yang bermasalah dan yang berhasil. Untuk itu, harus ada data manfaat dan mudaratnya. Bayangkan kalau ternyata hanya ada 0,8 persen kasus, artinya banyak orang baik dirugikan. Kita akan betul-betul melarang pekerja luar negeri sebagai pembantu kalau itu menjadi solusi untuk menghambat perdagangan manusia. Jadi posisi sekarang masih menghitung.

Pemerintah sepertinya berpendapat kita lebih butuh Arab Saudi ketimbang sebaliknya?
Saya setiap hari berdiskusi, mengkalkulasi kebutuhan masyarakat Arab Saudi akan pembantu rumah tangga kita. Ini menjadi pertimbangan negosiasi kita. Kalaupun sampai dilakukan moratorium total, bisa diketahui dampak buat mereka. Kita belum sampai pada satu kesimpulan. Terus terang titik lemah birokrasi saya adalah data. Hambatan cukup berat dalam pekerjaan ini adalah updating data. Misalkan berapa yang benar-benar membutuhkan tenaga kerja kita, termasuk seberapa besar ketergantungan Saudi. Data kita lemah sehingga saya tak mau berdebat soal data. Saya berpikir apa perlu pihak ketiga membantu investigasi, terutama soal pendataan.

Pemerintah dianggap tak memiliki konsep pembinaan tenaga kerja....
Kita tak ingin disalahkan seolah tak memiliki konsep. Pada zaman saya, ada beberapa langkah. Pertama, kewajiban mengikuti pelatihan 200 jam dan kontrol penuh. Ini menjadi solusi atas keputusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus pasal pendidikan minimal tenaga kerja. Lalu koordinasi pemerintah pusat dan daerah. Pembinaan terhadap tokoh masyarakat yang menjadi bagian resmi perusahaan penyedia tenaga kerja. Di daerah embarkasi juga kami berusaha meningkatkan pendidikan tenaga kerja selama di sana. Titik lemah memang masih di pengawasan, seperti pemalsuan dokumen pelatihan.

Apa evaluasi dari kasus-kasus penyiksaan terhadap tenaga kerja?
Tak bisa kita hindari bahwa arus dan manfaatnya masih besar. Bayangkan, dengan pendidikan rendah, bisa mendapatkan pendapatan besar. Sulit mendapatkan upah seperti itu di sini. Pemerintah tak memiliki hak menghambat atau melarang bermigrasi. Itu prinsip pertama. Warga negara dengan kapasitas apa pun tak boleh dihambat bekerja di suatu tempat. Kita terus berbenah sehingga tak ada ruang yang bisa dimanfaatkan oleh perusahaan nakal.

Apa upaya pemerintah untuk mengurangi jumlah pekerja sektor informal?
Kita sedang mengarah untuk mengurangi pekerja sektor informal, seperti pembantu rumah tangga, dan memperbanyak sektor formal. Profesi pembantu rumah tangga ini penting. Prinsipnya kan sama seperti pegawai di hotel yang membersihkan kamar dan sebagainya. Pasti dibutuhkan, apalagi oleh orang kaya. Pekerjaan itu ada pasarnya dan pasar tak bisa dihambat siapa pun. Kalau pasar dihambat, akan terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Penghambatan itu juga bisa menjadi bumerang karena akan menghasilkan ilegalitas pasar.

Sejauh mana implementasi perlindungan berupa asuransi tenaga kerja?
Dalam Undang-Undang Nomor 39 disebutkan tenaga kerja harus dilindungi asuransi. Jenis dan model ditentukan menteri. Zaman Pak Erman, ada sembilan konsorsium. Satu konsorsium 10 jenis asuransi. Saya tak mampu mengelola karena data tersebar di sembilan konsorsium itu, klaim susah dikejar, TKI tak mengerti cara mengurus klaim, dan ada kongkalikong perusahaan penyedia tenaga kerja dengan asuransi. Peraturan menteri mengatur soal asuransi lebih ketat. Saya lalu memilih satu konsorsium.

Mengapa hanya menunjuk satu konsorsium tanpa tender?
Karena ini bukan uang negara dan kita hanya meregulasi. Sudah terbentuk September lalu. Belum saya cek yang melakukan klaim. Kita melakukan evaluasi setiap tiga bulan. Asuransi yang dipilih mempermudah klaim, tak berbelit-belit, dan kalau ada kecelakaan langsung dibayar. Untuk mengarah ke sana, perusahaan harus sehat. Preminya kan US$ 40 dibayar TKI ketika mau berangkat selama dua tahun. PJTKI marah-marah hingga ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Lho, yang seharusnya marah kan yang tidak saya tunjuk, sehingga memperkuat sinyalemen adanya kongkalikong pengusaha dan asuransi.

Bagaimana menjawab tuduhan bahwa asuransi ini sarat kepentingan menteri?
Saya tak masuk dalam tim. Tapi bisa dicek dan publik boleh tahu bahwa ada kriteria dari masing-masing penilaian. Sebetulnya semacam tender, tapi karena bukan uang negara, menjadi semitender atau beauty-contest melalui tim seleksi. Semua prosesnya terbuka.

Bagaimana memberikan informasi kepada TKI di luar negeri tentang asuransi baru ini?
Justru ini yang membuat saya marah berbulan-bulan. Perusahaan asuransi sembilan konsorsium yang saya bubarkan itu mendapat untung tapi tak mau melakukan sosialisasi. Kewajiban asuransi melakukan sosialisasi tentang hak TKI. Kalau asuransi tak memberikan klaim, saya kejar ke mana pun. Sekarang ini lebih sehat, transparan, dan online. Saya juga jadi tahu data tenaga kerja yang berangkat dan pulang. Banyak manfaat asuransi ini.

Bagaimana pengaturan tenaga kerja informal dalam negeri melalui Undang-Undang Pembantu Rumah Tangga?
Memang kita terus-menerus melakukan penyempurnaan undang-undang. Tapi belum ketemu standardisasinya, misalnya gaji minimum. Pengguna pembantu rumah tangga itu gajinya terbatas. Ada juga yang memandang soal ini bisa masuk dalam KUHP dan Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga. Kami belum memutuskan menolak. Kami akan menunggu inisiatif DPR dan kami belum berinisiatif.

A. Muhaimin Iskandar, MSi
Tempat dan tanggal lahir: Jombang, 24 September 1966

Pendidikan
:
Madrasah Tsanawiyah Negeri Jombang, 1979-1982
Madrasah Aliyah Negeri I Yogyakarta, 1982-1985
Fisip Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1985-1992
Komunikasi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996-1998

Karier:
Staf pengajar Pesantren Denanyar, Jombang, 1980-1983
Sekretaris Lembaga Kajian Islam dan Sosial, Yogyakarta, 1989
Kepala Divisi Penelitian Lembaga Pendapat Umum, Jakarta, 1992-1994
Kepala Lembaga Penelitian dan Pengembangan Tabloid Detik, 1993
Hellen Keller International, 1998
Wakil Ketua DPR RI, 1999-2009
Sekretaris Jenderal DPP PKB, Jakarta, 1998-2005
Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB, 2005-2010
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2009-sekarang.
Sumber: Tempo, edisi 29 November 2010
Ket foto: Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar (1) bersama para TKW (gbr 2)

SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger