Headlines News :
Home » » Democrazy Gayus

Democrazy Gayus

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, December 01, 2010 | 10:36 AM

Oleh Umbu TW Pariangu
Mahasiswa Pascasarjana Fisipol UGM:
Dosen Fisp Undana, Kupang

Aksi Gayus, sang 'petualang fulus', yang dalam status tahanan bisa berpelesir bersama istri, anak, dan nonton pertandingan tenis internasional di Bali membuktikan kenyataan (plenitude) keramat yang pernah ditiup Susno Duadji jauh-jauh hari bahwa institusi hukum kita menjadi tempat berkumpul para mafia. Operatorshipnya jelas, yakni para 'penegak hukum' yang idealnya matanya selalu tertutup untuk pertimbangan subjektif, parokial, dan fulus dan aktor-aktor di lingkaran kekuasaan politik-ekonomi.

Mereka yang seharusnya terpanggil menegakkan kebenaran dan keadilan selaku panglima tertinggi di negara demokrasi kok bisa-bisanya meludahi hukum itu sendiri. Lebih-lebih lagi terkuak lewat opera imunitas seorang anak muda, staf di Kementerian Keuangan Golongan III A yang bisa menggelontorkan ratusan juta rupiah total harta Gayus menurut ICW sebanyak Rp114 miliar ke komandan dan sipir untuk menghirup udara luar. Sayang, di usia idealisme yang membara, Gayus tega mengikhlaskan reputasi, masa depan, harga diri, dan keluarganya menjadi konsumsi tragis yang menggelisahkan sukma bangsa Indonesia. Gelisah, karena terindikasi kuat di dalam institusi sakral yang mempromosikan kebenaran dan keadilan yang harus diraih dengan pertaruhan integritas nurani telah terkontaminasi sosok-sosok hipokrit yang melacuri pasal-pasal hukum dengan syahwat sesaat. Kita jadi mafhum ternyata tidak sedikit aparat hukum (di kepolisian, pengadilan, kejaksaan) yang bekerja dengan setengah kebenaran (to work in half-truth).

Mereka tidak bekerja sesuai hati nurani, tapi menurut pesanan kepentingan. Mereka ibaratnya hanya memiliki kehendak natural Hobbesian, yaitu nafsu (appetite) berupa: kekuasaan, kekayaan, dan keengganan (aversions) untuk hidup sengsara karena mempertahankan prinsip kejujuran. Jika intensi sphere of necessity ini yang menonjol di kalangan elite maupun aparat/petinggi hukum, hasrat demikian berpotensi terjadi pada level di mana saja pada sebuah negara (Hobbes dalam Imam, 2010). Makanya, tidak mengherankan kalau ada selentingan bahwa ada praktik suap dalam beperkara di MK yang kini sedang diinvestigasi oleh Adnan Topan Husodo dkk. Terlepas benar atau tidak pembuktiannya kelak, ia tetap sebuah keprihatinan bahwa perilaku suap/korupsi sedang membombardir institusi hukum dengan kekuatan rezim monetisme yang kian tajam.

Democrazy

Memasygulkan, di saat kita sedang memperjuangkan reformasi (politik, hukum) yang diinisiasi dengan darah martir mahasiswa dan pemuda: membawa negara lebih dekat kepada rakyat (bringing the state closer to the people) kita malah bertemu dengan kenyataan paradoks, saat keadilan dan kebenaran gagal menjadi roh utama yang menapasi pergulatan demokrasi sehingga membuat negara ini kehilangan arah, menjadi tempat pemalak rente dan kekuasaan unjuk gigi. Kita seperti di negara democrazy yang sarat persekongkolan kepentingan jaringan kelompok tertentu yang dengan gila-gilaan menjadikan negara bak mesin pemburu kenikmatan, menyingkirkan rakyat dari arena kontestasi keadilan sosial. Konsistensi di tataran elite bangsa kian melangka. Ini pula alasannya kenapa advokat muda memprotes sikap pengacara senior Adnan Buyung Nasution yang semula berjanji akan mengundurkan diri sebagai pengacara Gayus jika terbukti ia ke Bali. Namun, belakangan ia mengurungkan niatnya mengundurkan diri dengan alasan normatif, ingin mengungkap siapa aktor-aktor besar di balik fenomena Gayus.

Logika normatif ini sama klasiknya dengan istilah tua 'kasih uang, habis perkara (KUHP)' atau 'membela yang bayar' sebagai sinisme publik yang sudah mencapai ujung lidah rakyat namun tidak pernah dibereskan, melainkan malah mengakar makin dalam (deep rooted). Tegasnya, konsistensi dan integritas pro-yustisia para pengabdi hukum sedang dalam titik nadir yang membuat hukum dengan segala atributnya kehilangan pamor dan kredibilitas.

Padahal, institusionalisasi hukum yang gagal alias koruptif memiliki risiko yang fatal bagi masa depan demokrasi. Nilai-nilai demokrasi bukanlah suatu 'imajinasi' yang taken for granted, tetapi tatanan yang hidup dalam system of needs: keinginan, selera, insting, kebutuhan ekonomis, sehingga demokrasi selalu menuntut eksplorasi dan internalisasi sikap-sikap kenegaraan yang disiplin, dewasa, menghargai moralitas, dan menjaga prinsip-prinsip hukum berdasarkan kebaikan bersama demi tercapai tujuan ideal negara, keadilan, dan kesejahteraan.

Di sini substrat dasar demokrasi dalam bahasa Herbert Mercuse adalah kekuasaan moral yang digunakan untuk mempromosikan sebuah perilaku demokrasi yang membebaskan termasuk politik yang mencerdaskan dan hukum yang membebaskan. Sayang, semua kemewahan yustisial ini tinggal hiasan politis yang terus berkarat di jantung kekuasaan kita. Tumbalnya seperti Prita, Nenek Minah, dan kaum sandal jepit lainnya. Mestinya saat ini sudah terbangun konsolidasi kekuatan bangsa untuk menancapkan tiang reformasi yang progresif dan menyeluruh terutama di bidang hukum. Sayangnya, justru bangunan Indonesia masih dibangun oleh materialitas rapuh: individualisme, manipulasi, dan kekerasan demokrasi yang mengarah pada kapitalisme sehingga futurologi negara hukum yang demokratis tak tampak.

Keistimewaan kekuasaan menjadi segala-galanya yang dicapai dengan berbagai cara baik melalui politik perkusional uang dan relasi, politik korupsi masif bahkan dengan memanipulasi ayat-ayat hukum yang menyebabkan benih-benih radikalitas pemerintahan (victorian government) kembali tumbuh seperti fenomena Anggodo yang mampu mengendalikan dinamika pemberantasan korupsi hingga menyebabkan KPK dan Bibit-Chandra dikriminalkan. Contoh serupa terjadi di Bekasi. Bupatinya yang sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi pada tiga kasus (Adipura, dana APBD, dana pemerintah) oleh KPK, justru mengadakan perlawanan balik melalui pengerahan 3.000 pendukungnya. 

Semua kegawatan ini menghasilkan pemerintahan yang bingung (confused government) kalau tidak mau dibilang tak bergigi. Bukankah aneh, ketika ICW telah mengungkap modus pengurangan pajak yang dilakukan Gayus terhadap tiga perusahaan Grup Bakrie, aparat hukum tetap belum mau memeriksa orang-orang Bakrie tersebut (Media Indonesia, 20/11). Ini memunculkan kecurigaan bagi rakyat sekaligus pertanyaan. Ketika hukum didikte, dikemplang, diobok-obok karena ada jaringan transaksional-ekonomis yang bekerja, lalu di mana peran negara? Padahal kemunculan negara yang diwariskan founding fathers--kita tidak semata demi menjamin kedaulatan atas masyarakat, tetapi juga jaminan hukum dan kebebasan untuk peradaban yang adil dan demokratis (Alain Touraine, What is Democracy, 1997). 

Negara mesti tegas menunjukkan power-nya, dalam hal ini aparat hukum secepat mungkin mengungkap orang-orang kuat di belakang skandal mafia pajak yang merugikan negara sekitar US$184,10 juta. Tidak saja mengungkap, tetapi juga membawa mereka ke pengadilan dan menjatuhkan hukuman secara adil sebab, seperti kata Dante Alighieri, pujangga Italia abad ke-14, tidak mungkin sebuah perkara selesai tanpa diambil tindakan (the secreet of getting things done is to act). Ketegasan pemerintah diperlukan bukan hanya untuk merestorasi wajah kusut hukum bangsa ini, tetapi juga menyelamatkan bangsa ini dari ancaman democrazy, bahwa pemerintah masih punya moral.
Sumber: Media Indonesia, 1 Desember 2010
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger