Headlines News :
Home » » Sultan: Saya Tak Tahu Monarki Yang Dimaksud

Sultan: Saya Tak Tahu Monarki Yang Dimaksud

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, December 02, 2010 | 6:44 PM

Sutan Hamengku Buwono X menegaskan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sama dengan provinsi lainnya di Indonesia. Karenanya, ia mempertanyakan apa yang dimaksud sistem monarki yang disebutkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Penegasan itu disampaikan Sultan saat bertemu Dewan Kasepuhan Masyarakat Adat Tatar Sunda yang sengaja menemuinya di Hotel Savoy Homan, Bandung Kamis (2/12). Sultan di Bandung dalam acara pertemuan Asosiasi Gubernur seluruh Indonesia.

Sultan menegaskan, draft RUU Keistimewaan Yogyakarta yang disodorkan pemerintah pusat bertentangan dengan konsitusi. Dia mencontohkan, salah satu isinya menyebutkan dia dan Paku Alam mendapat hak imunitas.

”Biarpun saya korupsi, tidak bisa ditangkap, apa itu malah tidak bertentangan dengan konstitusi yang dikatakan setiap warga negara tunduk pada hukum,” kata Sultan.

Karenanya, ia mempertanyakan soal hak impunitas itu. ”Kalau saya sendirian dikurung di atas begitu, apakah yang dimaksud dengan monarki malah kelihatan. Saya nggak tahu tahu monarki yang bagaimana, ini konteksnya seperti itu,” kata Sultan.

Di depan sejumlah perwakilan masyarakat adat sunda, Sultan menceritakan duduk perkara kisruh yang terjadi. Dia memulai dengan sejarah bergabungnya Kesultanan Yogyakarta dengan Republik Indonesia.

Semua berawal dari Amanat Presiden 5 September 1945. Amanat itu yang menyatakan pemerintah kerjaan yang berdautal di Yogyakarta telah menyatakan diri bagian dari Rebublik Indonesia sebagai Daerah Istimewa. ”Sri Sultan dan Sri Paku Alam itu menjadi kepala daerah dan bertanggungjawab langsung pada presiden, dan itu sesuai denagn bunyi konstitusi,” katanya.

Soal daerah keistimewaan daerah itu juga disebutkan dalam di Pasal 18, UUD 1945 yang menyeutkan soal hak-hak istimewa. Pada 18 Agustus 1945, Presiden Soekarno kala itu meneken piagam kedudukan yang mengakuui pemerintahan yang tadinya kerajaan menjadi bagian dari Rebublik Indoensia. Piagam kedudukan itu baru diberikan pada Sultan Hamengku Buwono IX oleh Dr Soekiman pada 6 September 1945.

Sultan mengatakan, Amanat Presiden 5 September 1945 itu sengaja dikeluarkan agar sejalan dengan bunyi Pasal 18 UUD 1945. ”Kalau (amanat) tidak dikeluarkan malah tidak konstitusional, makanya keberadaan DIY sebagai wilayah otonom ada dalam konstitusi,” katanya.

”Itu yang saya maksud dengan ijab qobul, ya setuju tidak setuju, mau tidak mau ya bunyinya itu. Lah sekarang masalahnya hanya pemerintah pusat mau mengakui nggak, bukan aspek historis saja, tapi juga aspek konstitusional,” kata Sultan.

Sultan menuturkan, sebagai pemerintahan provinsi, DIY tidak berbeda dengan provnsi lain. Dia bertanggungjawab dengan DPRD juga pemerintah pusat. Dia mengaku juga memegang Surat Keputusan presiden yang mengangkatnya setiap 5 tahun sekali menjadi gubernur. ”Saya punya SK Presiden untuk jadi gubernur, baik yang ditandatangani Presiden Habibie atau Presiden Megawati,” kata Sultan.

Dia menjadi gubernur, paparnya, juga lewat mekanisme DPRD provinsi yang memintakan penetapannya setiap 5 tahun sekali pada presiden. Sultan membandingkannya dengan walikota di Jakarta yang juga sama-sama tidak dipilih tapi ditentukan lewat mekanisme Baperjakat.

”Siapa yang cocok jadi calon walikota, begitu dipilih, ditandatangani gubernur tapi tidak ada orang Jakarta yang mengatakan itu tidak demokratis, kami justru lewat DPRD,” katanya.
Sumber: Tempo Interaktif, 2 Desember 2010
Ket foto: Sutan Hamengku Buwono X
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger