Headlines News :
Home » » Prof Dr Subroto: Indonesia Terpenjara Tiga Masalah

Prof Dr Subroto: Indonesia Terpenjara Tiga Masalah

Written By ansel-boto.blogspot.com on Saturday, December 04, 2010 | 7:34 PM

Anak-anak Indonesia masih terpenjara tiga masalah dan hanya diatasi melalui pendidikan. “Kita perlu menanamkan pendidikan sejak mereka masih kecil,” ujar Prof Dr Subroto.

TIGA masalah itu adalah kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Semuanya menguras hati dan pikiran Prof Dr Subroto. Pak Broto, sapaan akrabnya, akhirnya terpanggil untuk melakukan sesuatu yang positif bagi kemajuan pendidikan anak-anak Indonesia. Sebagai warga negara, ia menyadari kondisi tak menguntungkan dihadapi banyak anak Indonesia hingga saat ini, terutama akses pendidikan.

“Sebagian besar anak-anak Indonesia masih terkebelakang, tidak sekolah, dan miskin. Satu-satunya cara meningkatkan kesejahteraan mereka, ya, melalui pendidikan,” ujar Pak Broto saat ditemui di Museum Nasional RI, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.

Karena itulah lahir Yayasan Bina Anak Indonesia (YBAI) yang concern di bidang pendidikan. Menurut Ketua Dewan Pembina YBAI itu, ide yayasan tersebut bermula saat ia bertugas sebagai Sekretaris Jenderal Organisasi Pengeskpor Minyak (OPEC) di Wina, Austria. Saat itu, ia ditemani sekretarisnya, Rizal Sikumbang. Dua sosok ini menyaksikan pendidikan anak-anak Indonesia masih jauh dari harapan.

“Kita berdua bertanya satu sama lain. Mengapa Indonesia kok Indonesia tidak bisa makmur seperti Austria? Di Austria, anak-anak dari desa-desa semua bisa sekolah tetapi kenapa kita tidak bisa? Di situlah timbul kesadaran dan keyakinan kita bahwa kita harus berbuat sesuatu,” kenang Subroto.

Pilot Project

Sekembali di Indonesia, tahun 2001 Subroto, Rizal, dan Dina Yanfitria Rahim merealisasikan gagasan dan rencana mulia itu. Akhirnya didirikan proyek percontohan, pilot project pendidikan di Desa Lengkong Wetan, Kecamatan Serpong, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Sebelumnya, sempat pula bingung dengan nama desa ini karena tidak tertera dalam peta.

“Waktu saya cari lokasi itu, ternyata letaknya antara dua metropolitan yaitu Bumi Serpong Damai dan Bintaro Jaya di Kabupaten Tangerang. Meski nama Lengkong Wetan tidak begitu terkenal, kita berharap kelak desa itu menjadi satu icon pendidikan Indonesia yang dimulai dari desa,” jelas Subroto.

Pilot project ini dimulai dengan pemberian buku, pendirian Perpustakaan Anak Medco-YBAI tahun 2002. Kemudian berdiri SMP Plus Berkualitas Lengkong Mandiri. Prosesi pengresmian dilakukan Menteri Pendidikan Nasional RI Bambang Sudibyo. Pada tahun 2004/2005 dimulai proses kegiatan belajar mengajar.

Pada tahun 2009-2010 dibuka TK dan SMK Plus. Dua lembaga pendidikan ini didukung perpustakaan, laboratorium sains, laboratorium teknologi informasi dan bahasa. Tak terasa, sepuluh tahun yayasan ini mengemban misi di bidang pendidikan bagi masa depan anak-anak.

Akses Pendidikan

Kisah anak-anak desa di Austria yang begitu mudah mendapat akses pendidikan yang mudah, menjadi pergumulan Subroto dan Rizal. Namun, Prof Subroto menolak jika dikatakan ia tertantang berbuat sesuatu bagi anak-anak Indonesia seperti anak-anak desa di Austria.

“Mau dikatakan tertantang atau tidak, pokoknya kita ingin berbuat sesuatu agar anak-anak kita berakhlak, cerdas, beriman, dan cinta pada bangsanya. Istri dan anak-anak juga sangat mendukung,” katanya memberi alasan.

Putra-putrinya pun sukses di bidangnya masing-masing. Dua orang mengikuti jejaknya bekerja di perusahaan perminyakan. Seorang yang lain bekerja di bidang perhotelan. Baginya, anak adalah pewaris masa depan. Mereka perlu diberi kesempatan seluas-luasnya mengenyam pendidikan. “Ini adalah contoh kita berbuat sesuatu buat anak-anak,” ujarnya.

Menurut Pak Broto, setiap orang memiliki waktu 24 jam untuk bekerja. Karena itu, mestinya menggunakan waktu sebaik-baiknya agar berguna bagi dirinya dan orang lain. Tak perlu menjadi korban dari waktu tetapi seharusnya mengatur waktu.

Jika itu sudah dilakukan maka tak ada masalah. Hal itu yang membuat ia begitu bersemangat dalam usia menjelang senja karena ia ingin menyumbangkan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya.

“Banyak sekali pengalaman sebagai menteri selama lima dekade. Sekarang saya sudah menjadi rakyat biasa. Saya ingin menjadikan semua ini bentuk pengabdian kepada bangsa. Dan pengabdian itu tidak tergantung sebagai pejabat atau tidak. Setelah menjabat, perjuangan dan pengabdian kita harus tidak boleh berkurang,” tandas Pak Broto.

Sosok Inspiratif

Prof Dr Subroto lahir di Kampung Sewu, Solo, 19 September 1923. Ia lahir dari pasangan Martosuwignyo dan Sindurejo. Saat masih kecil, anak ketujuh dari delapan bersaudara ini dipanggil Ndoro Menggung oleh orangtua dan saudara-saudaranya.

Konon, pemilihan nama Subroto juga memiliki makna. Bahwa kelak diharapkan ia menjadi seseorang yang mau melakukan pengabdian demi memayu-ayuning bawono atau kemaslahatan banyak orang. Meski anak priyai, ia tak memperoleh hak istimewa. Termasuk mengenyam pendidikan di HIS maupun pendidikan luar sekolah seperti Gerakan Kepanduan.

Tamat dari HIS, ia meneruskan studi di MULO dan Sekolah Menengah Tinggi. Kondisi negara saat itu memaksa remaja Subroto mendaftarkan diri masuk PETA. Sayangnya, ia ditolak karena terlalu kurus. Pada 1 November 1945, diterima sebagai kadet (taruna) Militer Academie di Yogya. Ada kebanggaan karena dari 197 angkatan pertama MA Yogya, Subroto lulus dengan predikat Terbaik II dan menyandang pangkat Letnan II.

Sebagai tentara Subroto ikut bertempur melawan penjajah hingga tahun 1950 bersama rekan-rekannya. Antara lain Wiyogo Atmodarminto, Soesilo Soedarman, Himawan Sutanto, Abu Sadikin, Yogi Supardi, dan Sayidiman Suryohadiprodjo.

Selepas medan pertempuran, Subroto kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) hingga meraih gelar Sarjana Muda tahun 1952. Kesempatan terbuka lebar. Subroto melanjutkan kuliah di Mc-Gill University, Montreal, Canada. Pada 1958 meraih gelar doktor ekonomi di UI. Gelar guru besar segera diperoleh.

Berbagai kepercayaan terus diberikan. Pak Broto pernah menjabat Direktur Jenderal Penelitian dan Pengembangan Departemen Perdagangan RI. Tahun 1971-1973 menjabat Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi Kabinet Pembangunan II. Tahun 1978 menjadi Menteri Pertambangan dan Energi. Program Listrik Masuk Desa adalah program yang ia rintis kala itu.

Pada 1988, ia mendapat kepercayaan sebagai Sekjen OPEC yang berkedudukan di Wina, Austria. Dari negeri itu, ia memikirkan nasib anak bangsa yang masih terbelit kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, dan keterpurukan.

“Dulu, yang dicita-citakan ayah dan ibu saya saat saya besar adalah supaya saya dapat berdharma. Berdharma artinya, berbuat sesuatu bagi orang lain. Setelah kita sudah berbuat sesuatu bagi orang lain maka hidup kita baru ada artinya. Itu yang disampaikan ayah dan ibu saya,” katanya.

Mungkin karena itulah melalui yayasan yang dirintis, Prof Subroto bertekad mengabdi bagi anak-anak Indonesia yang dimulai dari desa. Ia beralasan, jika mau membangun negara maka desa adalah pilihan tepat memulai membangun negara.

“Kita harus bisa menggerakkan orang-orang di kota yang sedikit mempunyai kelebihan untuk menyisikan buku-buku yang dulu tidak dipakai lagi. Kita kumpulkan untuk disumbangkan buat anak-anak di desa,” katanya.

Di tengah rutinitas dan pengabdian bagi anak-anak di bidang pendidikan, Prof Subroto tak punya kiat khusus agar tetap sehat dan kuat. “Resepnya bersyukur kepada Allah subhanawataala atas apa yang diberikan. Dalam hati dan pikiran saya ada S-5. Yaitu senyum, salam, sapa, sopan, santum. Semua itu membuat saya selalu semangat,” katanya. (Ansel Deri/naskah asli)
Sumber: HATI BARU edisi Desember 2010
Ket foto: Prof Dr Subroto
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger