Anggota Dewan Redaksi Media Group
'Mafia hukum' sedang menjadi buah bibir. Istilah itu intinya merujuk ke persekongkolan kriminal demi uang yang sekarang sedang marak. Namun bila ditelusuri sejarahnya, konsep 'mafia' tidak sedatar dan sesederhana itu.
Menurut Encyclopaedia Britannica, gerakan mafia mulai bangkit di Pulau Sisilia, di lepas pantai ujung selatan Italia, pada abad ke-13. Waktu itu Italia sedang dalam pendudukan asing. Sisilia relatif dibiarkan berjalan sendiri, diwarnai sistem mafia mereka yang bersifat rahasia, orang-orangnya tidak banyak bicara, mandiri, dan dilarang meminta perlindungan atau bekerja sama dengan pihak berwajib. Baru pada abad ke-19, setelah terbebas dari pendudukan asing, pemerintah Italia berusaha membersihkan Sisilia dari organisasi kriminal yang tujuan utama mereka menumpuk kekayaan dan kekuasaan itu. Tetapi, tidak gampang. Sistem tersebut telah merajut ke dalam jaringan sosial masyarakat.
Walaupun sejak abad ke-19 upaya menumpas mereka terus-menerus dilakukan, hasilnya tidak memuaskan. Malahan dalam abad ke-19-ke-20, ketika ada bagian dari gerakan itu pindah ke Amerika, sistem tersebut dikembangkan di negara baru mereka. Mafia kemudian menjadi bagian integral dari kejahatan terorganisasi yang tersebar di seluruh Amerika. Menurut para pengamat, baru 1970-an peran mereka di Amerika mulai melemah seiring dengan pudarnya sistem kepemimpinan mafia yang kuno dan terserapnya anggota mafia ke masyarakat biasa.
Apakah mafia hukum di Indonesia meniru gaya mafia Sisilia? Istilah mafia hukum di kita menjadi sangat populer sejak pencanangan 'program ganyang mafia hukum'. Bukan sekadar dramatisasi situasi, tentunya. Suasana tak elok itu sudah lama membayangi. Ada penjelasan di Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka hampir 15 tahun lalu, yang berbunyi: "'Mafia peradilan' - kelompok advokat yang menguasai proses peradilan sehingga mereka dapat membebaskan terdakwa apabila terdakwa dapat menyediakan uang sesuai dengan jumlah yang diminta mereka...". Itu mengindikasikan mafia hukum sudah ada jauh sebelum Reformasi.
Mafia menggurita
Sistem mafia sebenarnya ada di mana-mana, bukan terbatas pada mafia hukum dan pajak saja; bisa terjadi di organisasi politik, bisnis, mahasiswa, media, bahkan di organisasi ibu-ibu. Daftarnya bisa amat panjang. Selera, nuansa, dan kadarnya yang mungkin beda, tetapi unsur-unsur persamaan di kalangan 'mafia' cukup kuat: ada persengkongkolan untuk bisa mengungguli yang lain-lain, sekalipun tidak harus bersifat kriminal. Namun, keinginan untuk unggul seakan menghalalkan segala cara, termasuk menyingkirkan yang dipersepsikan sebagai saingan.
Memang celakalah kita kalau harus menghadapi penganut Machiavelli sebab sekalipun banyak ditulis tentang siasat dan taktik-taktik gaya Machiavelli, sebaliknya tidak pernah ditulis kiat menanggulanginya. Kenyataan itu diperkuat argumen bahwa di dunia modern yang serbakompleks ini, tidak ada hitam-putih. Siapa bilang yang salah itu pasti tidak benar? Alasannya, mungkin, demi kepentingan yang lebih besar. Sekalipun bisa saja sikap itu sebenarnya semata-mata demi kepentingan masing-masing.
Kepekaan penegak hukum
Mengingat sejarah mafia Sisilia yang merentang lebih tujuh abad, dan belum pupus dari muka bumi sampai saat ini, negara kita yang usianya belum genap tujuh dasawarsa patut waspada akan makin maraknya gejala mafia. Walaupun belum meruak menjadi tradisi yang mencengkeram, sekarang pun rasanya kita sudah lelah dengan 'permainan' mafia yang terkesan tidak tersentuh oleh kekuatan atau kekuasaan mana pun. Sebenarnya tidak ada yang lebih ampuh dari kalangan hukum sendiri untuk menumpas mafia. Mereka tahu liku-liku taktik dan strategi mafia. Kalau kalangan hukum berniat menumpas mereka, ibaratnya 'Rinso mencuci sendiri'. Sejujurnya, hal itu bukannya belum pernah dicoba. Tersebutlah advokat dan pengacara tersohor Adnan Buyung Nasution, perintis bantuan dan reformasi hukum di Indonesia, yang pada 1970 mendirikan kantor bantuan hukum dan HAM pertama di Indonesia, bernama Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Ada yang kemudian menyebut lembaga itu sebagai lokomotif demokrasi di Indonesia. Karena jasa-jasanya di bidang HAM dan penegakan keadilan di Indonesia itu, Bang Buyung (panggilan akrabnya) memperoleh penghargaan internasional untuk bantuan hukum pada 1976 dan 1977, di Stockholm dan London. Pada 1992 dia memperoleh gelar doktor dari Rijksuniversiteit Utrecht, Belanda, dengan desertasi bertopik Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia yang mengandung pesan bahwa Indonesia memerlukan reformasi konstitusional secepat mungkin dengan cara mengamendemen konstitusi. Setelah masa reformasi, pada 2000, dia memperoleh anugerah Bintang Maha Putra Republik Indonesia.
Hari Kamis, 25 November minggu lalu, Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Iluni FHUI) menyelenggarakan syukuran untuk Profesor Dr Adnan Buyung Nasution yang telah dianugerahi Guru Besar Kehormatan oleh Melbourne Law School, Universitas Melbourne, pada 20 Oktober 2010. Pidato sambutan dalam penganugerahan gelar itu diberinya judul Menuju Demokrasi Konstitusional di Indonesia. Pidato tersebut memuat pencerahan tentang bagaimana demokrasi Indonesia menjadi seperti sekarang, terutama ditinjau dari pengawalan hukumnya. Antara lain disebutkan, di masa reformasi berhasil dibuat empat amendemen konstitusional, dari 1999 sampai 2002. Walaupun amendemen-amendemen itu menegaskan eksistensi negara konstitusional yang secara formal telah memberikan jaminan yang lebih kuat untuk HAM dan kebebasan bagi rakyat, dalam implementasinya timbul berbagai masalah serius.
Masalah mafia hukum tidak secara spesifik disebut dalam pidato itu. Tetapi berkaitan dengan itu, dinyatakan bahwa ke depan, Indonesia menghadapi tugas berat membasmi penyakit kronis korupsi yang sudah sangat lama menggerogoti masyarakat ini. Kita tahu masalah korupsi diperparah mafia hukum. Untuk menghadapinya, antara lain, perlu dilakukan reformasi lembaga-lembaga penegak hukum. Komisi-komisi yang mengawasi lembaga kepolisian, kejaksaan, dan yudisial tidak mampu menuntaskan tugas pengawasan antara lain karena kewenangan mereka terbatas. Seharusnya, jangan ada lembaga penegak hukum yang lepas dari pengawasan. Banyak politikus yang salah menafsirkan demokrasi. Vox populi vox dei, yang artinya suara mayoritaslah yang berlaku, bisa keliru sebab mendasarkan demokrasi pada mayoritarianisme pasti akan menimbulkan masalah serius. Demokrasi prosedural bisa disalahgunakan untuk merealisasikan aspirasi-aspirasi kelompok. Sebaliknya, dalam demokrasi yang penting substansinya, bukan prosedurnya.
Dari isi pidato Profesor Dr Adnan Buyung Nasution dan berbagai seminar dan dialog televisi, kita berkesimpulan banyak penegak hukum yang amat peduli agar perjalanan demokrasi kita mendapat pengawalan hukum yang tepat. Namun sayangnya, ada saja oknum-oknum yang memilih posisi sebagai mafia hukum. Nila setitik merusak susu sebelanga. Bukan hanya citra kalangan penegak hukum yang rusak; kepatuhan masyarakat terhadap hukum pun terganggu.
Sumber: Media Indonesia, 3 Desember 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!