Headlines News :
Home » » Gading Gajah: Mahar Kawin yang Membebani Keluarga

Gading Gajah: Mahar Kawin yang Membebani Keluarga

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, December 08, 2010 | 3:38 PM

Proses meminang gadis di kalangan suku Lamaholot, Nusa Tenggara Timur, unik. Meski penduduk wilayah ini tidak memelihara gajah, gading gajah sudah menjadi mahar kawin sejak ratusan tahun lalu.

Dalam masyarakat Lamaholot, mahar kawin (belis) selalu menimbulkan masalah rumit. Pembicaraan paling alot antara pihak keluarga perempuan dan laki-laki adalah soal berapa banyak gading gajah harus diberikan pihak laki-laki sebagai belis bagi calon istri.

Status sosial menjadi ukuran menentukan jumlah dan ukuran gading. Jika calon istri berasal dari keluarga dengan status sosial tinggi, jumlah gading jauh lebih banyak dan lebih panjang. Kalau anak gadis berasal dari keluarga sederhana, jumlah dan ukuran gading bisa dikompromikan.

Elias Laga Kelake (72), pedagang gading gajah dari Waiwerang, Kecamatan Adonara Timur, Flores Timur, menuturkan, bagi suku Lamaholot yang bertempat di Flores Timur daratan, Pulau Adonara, Pulau Solor, Pulau Lembata, dan Pulau Alor Pantar, belis gading gajah tidak bisa diganti dengan barang lain atau uang.

”Di sini sudah tidak ada gajah. Gading kebanyakan ditemukan dari dalam tanah. Umur gading pun sudah ratusan tahun. Sebagian lain dibawa dari luar oleh para perantau,” kata Laga.

Jika perkawinan terjadi antara perempuan asal Lamaholot dan pria dari luar suku dan berlangsung di perantauan, gading bisa dikonversi dengan uang. Namun, kalau pernikahan dilangsungkan di Flores, belis harus berbentuk gading.

Gading gajah dalam bahasa Lamaholot adalah bala. Ada tujuh jenis bala, antara lain bala huut (gading yang panjangnya sesuai rentangan tangan orang dewasa dari ujung jari kanan ke ujung jari kiri), bala lima one (gading sepanjang ujung jari tangan kanan sampai telapak tangan kiri orang dewasa), dan bala lega korok (gading sepanjang ujung jari tangan sampai belahan dada).

Ketua adat desa Demondei, Flores Timur, Philip Laga (57), mengatakan, dalam adat Lamaholot, gading tidak biasa diukur sesuai ukuran resmi seperti meter atau sentimeter. Mereka hanya menggunakan ukuran depa atau rentangan tangan orang dewasa.

Dalam kesepakatan mengenai belis, keluarga perempuan berperan menentukan jumlah dan ukuran gading. Keluarga itu terdiri atas orangtua, saudara laki-laki, dan paman (saudara ibu kandung). Jumlah belis didasarkan pada gading yang dibayarkan ayah si gadis saat ia meminang ibu si gadis.

”Jumlah gading untuk meminang seorang perempuan berkisar antara 3 dan 7 batang. Jumlah tujuh batang biasanya berlaku di kalangan bangsawan atau orang terpandang. Masyarakat biasa umumnya tiga batang,” kata Laga.

Bisa diutang

Saat menikah di gereja, setidaknya satu batang gading harus dilunasi keluarga laki-laki. Sisanya bisa menyusul. Di kalangan suku Lamaholot, utang terkait belis berlangsung turun-temurun. Jika ayah belum melunasi belis akan dibebankan kepada anak, cucu, cicit, dan seterusnya.

Utang belis dari ayah atau kakek ditunda pembayarannya selama belum ada kebutuhan akan gading gajah dari keluarga ibu. Namun, sampai kapan pun pihak yang berutang dan berpiutang tetap mengakui hak dan kewajiban masing-masing.

”Jika salah satu pihak mengelak atau meniadakan utang itu, secara adat ia akan mendapat kutukan atau hukuman leluhur, seperti tidak punya turunan, sakit berkepanjangan, atau cacat bawaan. Utang tetap utang, kecuali kedua pihak secara adat sepakat menghapus utang gading gajah itu,” katanya.

Jika pihak keluarga laki-laki bersikap masa bodoh terhadap utang ini, keluarga perempuan akan bertindak. Hewan peliharaan, seperti babi, kambing, sapi dan kerbau, di sekitar rumah akan dibunuh dan dimakan di halaman rumah sambil menunggu pemilik rumah melunasi mahar kawin.

Diganti saudari

Di kalangan masyarakat yang masih primitif, gading gajah disamakan dengan perempuan. Jika laki-laki itu tidak memiliki gading, tetapi memiliki saudara perempuan, satu atau beberapa saudara perempuan akan diambil keluarga perempuan untuk dijadikan istri atau menjadi budak sesuai keinginan keluarga perempuan.

Nasib perempuan pengganti mahar kawin gading gajah ini tidak menentu. Ia tidak mempunyai hak sama sekali untuk membela diri ataupun menentukan pilihan hidup. Jika nantinya ia berkeluarga tetap akan dikendalikan pihak keluarga perempuan yang berpiutang.

Sebaliknya, pihak keluarga perempuan yang mengambil gading gajah tanpa memerhatikan nasib anak perempuan yang telah bergabung dengan keluarga suami, mereka dipercaya akan mendapat kutukan leluhur.

Mahar kawin tidak boleh diambil tanpa membawa kain tenun ikat berkualitas tinggi yang disebut kewatek lodan (tenun emas). Harga selembar tenun ikat ini bisa sampai Rp 20 juta. Biasanya, saat mengambil gading gajah, keluarga perempuan menyerahkan lebih dari 10 lembar kewatek lodan.

Harga gading gajah bervariasi, yaitu Rp 13 juta sampai Rp 100 juta per batang tergantung ukurannya. Namun, kini tak mudah mendapatkan gading. Di kalangan suku Lamaholot, sebagian besar gading telah dijual ke luar Flores atau dipotong untuk gelang, cincin, dan perhiasan lain.
Sumber: Kompas, 8 Desember 2010
Ket foto: Elias Laga Kelake (72), warga Waiwerang, Adonara, NTT, menyusun dua batang gading gajah yang hendak dijual. Salah satu dari gading gajah ini telah dijual dengan harga Rp 70 juta, tetapi baru dibayar uang mukanya Rp 20 juta. Batang gading gajah ini menjadi maskawin di kalangan suku Lamaholot, NTT.
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger