Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia;
Saat Ini Tinggal di Berlin, Jerman
Saat Ini Tinggal di Berlin, Jerman
Judul ini terinspirasi kolom gaya hidup Berliner Zeitung (9/12/2010). Tajuknya, ”Wann ist ein Mann ein Mann?” (Kapan Pria itu Pria?), Von Beate Scheder mengangkat cuilan fenomena kosmetik modern yang berhasil meminggirkan konsepsi pria klasik yang macho, tegar, dan berotot dengan kehadiran pria metropolitan yang bening dan lembut.
Scheder tak berkesimpulan. Namun, ia dan seluruh kaum posmodernis tahu bahwa yang terutama bukan determinasi pria-wanita, melainkan kontribusi dari kepriaan maupun kewanitaan terhadap peradaban. Maka, perubahan visual tak ada urusannya dengan substansi.
Seperti konstruksi jender, politik sebagai fakta sosial pun berubah. Akan tetapi, yang dibutuhkan adalah perubahan positif agar mendekatkan konsepsi luhur politik dengan kenyataan. Sayang, ini belum terjadi. Bahkan ketika melihat perkembangan yang buruk, para ahli politik—sebagaimana Joseph Schumpeter (1947)—resah dengan batasan klasik tentang politik sebagai struktur nilai yang mendasarkan visi dan misi pada postulat moral. Schumpeter sendiri meragukan kandungan moral ketika ia melihat politik bekerja seperti pasar yang sekadar meraup untung.
Sekarang kita layak cemas karena sintesis berani Schumpeter tampaknya menjadi kenyataan. Polemik panjang Sultan Hamengku Buwono X dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bukanlah perkara keistimewaan Yogyakarta an sich. Mungkin ada yang tersentak dengan wacana ”monarki di negara demokrasi” menyusul disputasi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kalau mau jujur, ini benturan politik kekuasaan yang ditransendensi ke tataran luas dengan memakai bahasa demokrasi dan monarki untuk memperlihatkan adanya masalah. Agak naif karena terminologi monarki bukan istilah yang tepat menggambarkan kondisi DI Yogyakarta. Kesultanan, seperti dipahami Presiden juga, adalah keistimewaan yang khas seperti halnya syariat Islam di Aceh atau wali kota yang ditetapkan, tidak dipilih, di DKI Jakarta.
Dalam praktik otonomi yang asimetris, Yogyakarta bukanlah masalah, apalagi histori kekhususan Yogyakarta sudah lama. Pada zaman kolonial, privilese Yogyakarta diakui pemerintah Hindia Belanda dan Nippon.
Dengan demikian, mempersoalkan kekhususan DI Yogyakarta tak mudah diterima akal. Kalau intensi kita luhur, ketika membahas status kultural dan politik Sultan, maka yang dipikirkan adalah bagaimana menegakkan otoritas kultural dan politik Sultan agar berdiri di atas segala perbedaan dan mengayomi seluruh keragaman kelompok dan pandangan politik. Konkretnya, boleh atau tidak Sultan berpartai politik?
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, itu hak Sultan sebagai warga negara. Ia boleh berpartai karena ia bukan pegawai negeri. JK tidak salah, tetapi memahami Sultan tak bisa memakai Undang-Undang Partai Politik.
DI Yogyakarta perlu dilihat secara komprehensif, terutama dari aspek sosio-kultural dan politik. Akan lebih bijaksana kalau Sultan tak bergabung dengan partai politik apa pun. Bukan karena banyak elite partai yang resah dengan keberpihakan Sultan pada partai tertentu. Bukan pula karena melihat larangan itu setimpal dengan privilese yang dimilikinya. Pertimbangannya adalah keutuhan Yogyakarta sebagai Gesselschaft, paguyuban kultural yang melampaui segala bentuk pengelompokan politik. Sultan sebagai pemimpin politik sekaligus kultur wajib berdiri di atas pluralisme pandangan politik.
Tesis ini tidak untuk menyenangkan siapa pun atau memberi peluang kelompok politik tertentu mencaplok DI Yogyakarta pada pemilu berikutnya, tetapi untuk menjaga kewibawaan Sultan dan kesultanan, sekaligus memelihara keistimewaan Yogyakarta agar tidak rusak oleh gesekan kekuasaan temporal yang cuma lima tahun, maksimal 10 tahun.
Pasar obral
Sampai di sini, tampak bagi kita bahwa wacana politik yang kelihatannya logis dan demokratis tak selamanya mengandung motivasi luhur. Maka, refleksi tertinggi kita, kapan politisi itu (benar-benar) politisi?
Pertanyaan ini mengandung dua implikasi logis. Pertama, politisi kita belum menjadi politisi dalam makna yang sesungguhnya. Kedua, politik sudah berubah menjadi pasar obral: obral wacana, obral kebohongan, obral manipulasi, obral penampilan.
Dalam The Virtues of Mendacity: On Lying in Politics (2010), Martin Jay dari Universitas California mengatakan, berbohong dibolehkan dalam politik untuk menghindari orang tak bersalah menjadi korban, untuk melindungi negara dari bahaya yang lebih besar, untuk mencegah kebangkrutan ekonomi negara, dan alasan transendental lainnya.
Di sini, berpolitik berbohong sekadar untuk berbohong, tidak karena dan untuk tujuan luhur. Maka benar apa yang dikatakan Mary Alice Gaston dalam The Values of Politics (1998), sambil mengutip omongan ayahnya ketika ia kecil, bahwa tak ada yang salah dengan politik, tetapi dengan orang-orang yang berpolitik.
Dasarnya politik dan moral sulit dipisahkan dan jangan pernah dipisahkan (Vittorio Hoesle, Moral und Politik, Grundlagen einer Politischen Ethnik: 1997). Politik bernilai dan bisa dinilai selama ada kandungan moral sehingga seorang politisi patut disebut politisi kalau ia bermoral.
Sumber: Kompas, 17 Desember 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!