Headlines News :
Home » » Kecerdasan Politik

Kecerdasan Politik

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, December 08, 2010 | 3:34 PM

Oleh Thomas Koten
Direktur Social Development Center

PERIHAL kecerdasan politik kembali dimunculkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, saat memberi pembekalan kepada jajaran Fraksi Partai Demokrat di Jakarta, Sabtu (27/11). Dalam acara itu Presiden SBY mengatakan, legislator atau politisi harus bersikap kritis dan konstruktif dalam berpolitik. Kritis berarti bukan sekadar melahirkan kegaduhan politik, harus bersikap rasional dan obyektif dalam perjuangan politik. Jernih berpikir dan berwacana.

Memang, berpolitik berlandaskan sikap yrasional dan obyektif serta kejernihan dalam berpikir dan berwacana, merupakan keindahan dan keterhormatan dalam politik. Itulah yang termaktub dalam buku klasik Nichomachean Ethics, karya filsuf Yunani kuno, Aristoteles. Artinya, keindahan sebagai cermin kecerdasan politik itu termaktub dalam tujuan utama dari politik. Yaitu menggapai kesejatian hidup bersama, dengan meletakkan etika dan moral politik di atas segala-galanya.

Maka, benar kata filsuf sekaligus sosiolog Max Weber, bahwa seorang politikus itu harus menyadari, politik ist Beruf und Berufung. Artinya, politik adalah tugas jabatan dan panggilan hidup untuk mewartakan kebenaran yang obyektif dan memperjuangkan kepentingan bersama. Jika itu terabaikan dan mengutamakan kepentingan dan mencari perutungan diri, para politisi hanya akan menjadi apa yang dikatakan Aldous Huxely, sebagai political marchendiser, pedagang atau tengkulak politik. Esai ini mengelaborasi soal kecerdasan politik secara lebih luas.

Politik tanpa tanggung jawab

Tesis Aldous Huxely ini bukan saja sesuai perilaku politik yang disitir SBY, tetapi senantiasa membenarkan fenomena politik di panggung politik Indonesia mutakhir. Permainan politik yang diperagakan para politisi bukan sekadar melahirkan kegaduhan politik. Juga lebih pada pencarian peruntungan diri dan kelompok. Inilah yang membuat perhelatan politik di negeri ini lebih beraroma kepentingan yang dibalut uang. Contoh lain, dalam setiap lahir Undang-undang (UU) di DPR, banyak atau tidak duit menjadi takaran kelolosan UU. Hingga, seperti kata Diamond (1995), kehidupan demokratik hanya sebagai ladang perburuan rente ekonomi. Bukan kegiatan produktif politik demi kemaslahatan rakyat.

Panggung politik pun hampir tidak pernah menjadi tempat menunjukkan perilaku negarawan seseorang. Melainkan hanya mencari peruntungan ekonomi atau menjadi bursa pekerjaan, tempat orang mencari pekerjaan, meningkatkan karier dan meraih prestise dan mencari popularitas. Menjadi politisi pun tidak ubahnya dengan seorang pekerja profesional ‘“dalam hal ini profesional politik dengan bekerja meraih hasil-hasil ekonomi yang menggiurkan. Tak heran jika panggung politik mutakhir baik dalam pemilu Presiden maupun pilkada di seluruh pelosok tanah air, menjadi magnet yang makin menyedot orang-orang dari berbagai profesi atau dari segenap lapisan kehidupan masyarakat (from all walks of life). Mereka berpindah pekerjaan menjadi aktor-aktor politik, dengan mencoba meraih peruntungan-peruntungan baru, seperti meraih kekuasaan, yang diyakini lebih menggiurkan dan lebih prestisius.

Kondisi ini lalu membenarkan pula penilaian politik di negeri ini baru sebatas menempatkan rakyat sebagai pijakan untuk berkuasa, alat dan bukan tujuan politik, serta memanfaatkan keuangan negara demi menumpuk kekayaan. Ujungnya, kadar kepercayaan rakyat kepada politisi dan penguasa bertambah rendah, dan politik itu sendiri pun dinilai sebagai arena perjudian politik. Rakyat akhirnya cenderung memperlakukan diri sebagai massa mengambang yang bergerak oleh kekuatan uang, kepentingan diri dan kelompok.

Pertanyaan pun muncul di tengah esai ini, yakni mengapa perilaku politisi membuat panggung politik seperti itu? Jawabannya, karena para politisi tak memiliki nurani politik yang jernih dan obyektif dengan berlandaskan pada etika dan moral politik. Dalam bahasa SBY, yaitu hanya melahirkan kegaduhan politik minus tanggung jawab politik. Hingga, politisi makin kehilangan keteladanan. Pada tataran ini, patahlah seluruh substansi teori politik dan sosial klasik tentang manusia sebagai makhluk politik dan sosial yang bermartabat dan terhormat.

Padahal, dalam Political Ethics and Public Office, Dennis F. Thompson (1987), secara tegas menekankan adanya tanggung jawab moral dalam memperjuangkan kebenaran sebagai bagian tidak terpisahkan dari politik. Atau, seperti yang ditekankan Max Weber di atas, bahwa politik adalah tugas jabatan dan panggilan hidup ‘“Politik ist Beruf und Berufung. Hingga, semua itu membutuhkan tanggung jawab moral dalam berpolitik.

Dalam setiap jabatan terkandung secara inheren tanggung jawab moral untuk berbuat sesuai tuntutan jabatan, misal, sebagai politisi. Seorang politisi tidak dibenarkan bertindak semata-mata atas dasar dan untuk kepentingan individu dan kelompok, tetapi harus memusatkan perhatian politik pada kesejatian hidup bersama.

Cermin kecerdasan politik

Seorang politisi yang selalu menjalankan tugas-tugas politik dengan memerhatikan etika dan moral politik, dan bersikap kritis serta konstruktif dalam berpolitik, bukan saja menunjukkan itikad baik dalam berpolitik. Melainkan dinilai memiliki nurani jernih, hati bersih, dan jiwa putih-suci. Politisi yang memiliki tanggung jawab moral tinggi dengan hati nurani dan jiwa yang demikian, bukan saja menjalankan politik secara cerdas, juga akan menjadi politisi-politisi cerdas. Politisi cerdas akan melahirkan kecerdasan-kecerdasan politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Betapa indah republik ini jika memiliki politisi-politisi cerdas, kritis dan selalu berpikir konstruktif. Bangsa dan negara ini bukan hanya tumbuh subur kecerdasan politik, tetapi kemajuan peradaban akan mudah terwujud. Karena, praksis politik yang kurang cerdas dan minus tanggung jawab moral akan mempercepat kehancuran demokrasi dan melahirkan negara gagal. Negara gagal adalah negara yang dalam perkembangannya makin mengkhianati cita-cita awal bernegara, yaitu menciptakan Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera seperti yang termaktub dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945.
Sumber: Jurnal Nasional, 8 Desember 2010
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger