Ketua Fraksi PKB DPR RI
Kesejukan dan ketenangan Kota Temanggung tiba-tiba terkoyak oleh kerusuhan. Tiga gereja dirusak massa sehingga menimbulkan kerugian material lainnya. Lagi-lagi negeri kita diuji kembali dengan berbagai aksi anarkistis baik antarsesama internal kelompok agama maupun antaragama lain.
Tampaknya tren konflik antarumat beragama terus meningkat. Penelitian menunjukkan toleransi antarumat beragama belakangan beringsut luntur. Angka perusakan rumah ibadah dan tindak anarkistis meningkat. Konflik sejenis itu agaknya masih rawan terjadi di negeri yang majemuk ini.
Fakta miris itu menunjukkan pula bahwa visi kebangsaan yang telah dibangun founding fathers kita seakan menjadi berantakan. Kebangsaan sebagai penyatu bagi kemajemukan bangsa seolah hanya menjadi 'ornamen' yang dengan mudah dihapuskan. Bagi kalangan pemeluk agama, sepertinya masih ada 'ganjalan' dalam menyikapi emosi keagamaannya dengan semangat kebangsaan. Buktinya, sebagian umat beragama rentan dari gejolak amuk yang berpotensi memicu kekerasan atas nama agama. Apalagi, ditengarai negeri kita saat ini 'panen' kemunculan kelompok-kelompok Islam yang mengampanyekan konsep-konsep keislaman yang puritan dan 'kaku' yang mempertentangkan Islam dengan keindonesiaan. Tudingan-tudingan tagut dan istilah sarkastis lainnya bisa menjadi 'bara' yang setiap kali mudah meledak.
Islam dan kebangsaan
Bagaimana Islam memandang kebangsaan? Istilah bangsa sendiri sebagai akar kata kebangsaan dalam kosakata bahasa Arab sering dipakai dengan kata qaum, syu'ub atau ummah. Dalam Alquran, istilah qaum disebutkan sebanyak 283 kali, syu'ub dua kali dan ummah 64 kali.
Dari ratusan ayat tersebut, paling tidak ada empat petunjuk dasar yang kita bisa tarik sebagai karakter suatu bangsa. Pertama, bahwa bangsa berarti komunitas manusia secara keseluruhan, seperti petunjuk firman Allah, 'manusia itu adalah umat (bangsa) yang satu' (al-Baqarah: 213). Artinya kesatuan manusia dalam satu wadah 'bangsa' ini karena satunya asal usul mereka berasal dari Adam dan Hawa.
Kedua bahwa bangsa berarti hanya khusus kaum muslimin saja seperti dalam al-Baqarah ayat 143, 'dan demikian kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia'. Ketiga, umat berarti seorang diri saja, misalnya firman Allah dalam al-Nahl ayat 120: 'sesungguhnya Ibrahim adalah umat yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif (lurus dan terbuka menerima kebenaran'. Keempat, bangsa (ummat) meliputi seluruh makhluk di muka bumi sebagaimana dalam firman Allah, 'tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan bangsa-bangsa (umat-umat) seperti kamu' (al-An’am: 38).
Dari keempat karakter bangsa itu, dapat disimpulkan bahwa hakikat kebangsaan tidak terlepas dari suatu generasi (al-jiil) dan komunitas. Semua komponen tersebut awalnya berasal dari satu komunitas yang sama. Manusia bermula dari Adam, sedangkan Adam dari tanah, sedangkan tanah berujung dari realitas Tuhan. Hal itu seperti pula dikemukakan Ibnu Arabi dalam Fushush al-Hikam (1987) bahwa hakikat dari kebinekaan manusia serta alam seisinya merupakan bentuk dari penampakan (tajalli, theopany) Tuhan Yang Maha Esa.
Persaudaraan keberadaban
Agama sesungguhnya memiliki misi pengayoman terhadap umat manusia. Dalam Islam, misi itu terkristalisasi dalam lima prinsip universal (kulliyah al-khams), yakni menjamin kebebasan beragama (hifdz al-din), memelihara nyawa (hifdz al-nafs), menjaga keturunan dan profesi (hifdz al-nasl wa al-‘irdh), menjamin kebebasan berekspresi (hifdz al-‘aql), dan memelihara harta benda (hifdz al-mal). Kelima prinsip ini amat relevan dengan prinsip-prinsip HAM yang menjadi pilar penegakan demokrasi.
Di masa Nabi Muhammad, kondisi masyarakat sudah plural. Waktu itu, ada sejumlah suku dominan seperti suku Aus, Khazraj, Qainuqa', Quraidlah, dan Bani Nadhir. Penduduknya pun menganut beragam agama, yaitu Islam, Yahudi, dan sebagian kecil Kristen Najran. Di masyarakat Islam sendiri terdapat kaum migran (sahabat Muhajirin) dan penduduk lokal (sahabat Anshar). Sementara itu, kaum Yahudi berasal dari suku Nadhir, Qainuqa, dan Quraidlah. Nabi lantas membangun apa yang kemudian dikenal dengan Negara Madinah. Konsep Negara Madinah tertuang dalam al-Shahifah (Piagam Madinah) yang mengandung nilai universalitas, yakni keadilan, kebebasan, persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan yang sama di mata hukum.
Yang menarik, dalam Piagam Madinah itu tidak ditemukan teks-teks apa pun yang menunjukkan superioritas simbol-simbol Islam. Seperti kata 'Islam', 'ayat Alquran', 'syariat Islam'. Atau sesuatu yang menunjukkan perlakuan khusus terhadap umat Islam. Demi mewujudkannya, Nabi mengembangkan konsep 'ukhuwah madaniah'. Yakni, komitmen bersama untuk hidup dalam sebuah kota atau negeri yang berperadaban.
Ketika mendengar ada penduduk Madinah beragama Yahudi terbunuh, Nabi segera memobilisasi dana masyarakat untuk kemudian diberikan kepada pihak keluarganya. "Barang siapa yang membunuh nonmuslim, ia akan berhadapan dengan saya," tegas beliau. Ketika melaksanakan haji, Nabi berkhotbah di hadapan sekitar 15.000 orang Islam di Mekah. Yang menarik, dalam khotbah itu, seruan Nabi ditujukan kepada seluruh umat manusia (ya ayyuhan naas), bukan muslim saja.
Nabi Muhammad juga menyampaikan pesan-pesan akhir melalui mimbar khotbah haji Wada' di Padang Arafah. Nabi menandaskan bahwa ada tiga hak yang harus dijunjung tinggi agar menjadi muslim yang sempurna, yaitu hak hidup yang jauh dari pertumpahan darah dan kekerasan (al-dima’), hak kepemilikan (al-amwal) serta hak untuk terjaga kehormatan, martabat dan harkat (al-‘irdh).
Nah, jelas sudah, penolakan terhadap kekerasan telah diteladankan Nabi Muhammad. Nilai-nilai Islam itu juga berakar kuat dari petunjuk Alquran yang menyatakan bahwa pembunuhan tidak adil terhadap seorang manusia setara dengan pembunuhan seluruh umat manusia. Oleh karena itu, membunuh orang karena alasan beda keyakinan berarti sama dengan membunuh muslim, karena mereka adalah makhluk Tuhan. Membakar gereja sama dengan membakar masjid, karena semua itu diberikan Tuhan untuk mendukung kehidupan manusia.
Ada kaidah fikih, umurul muslimin mahmulun 'ala al-sadadi wa al-shalah. Maksudnya, dalam semua hal, umat Islam harus senantiasa bersikap saling melengkapi dan berperilaku positif. Pesan kaidah itu hendak menegaskan bahwa umat Islam haruslah senantiasa bersikap dan berperilaku positif, baik terhadap mereka yang berbeda agama maupun untuk internal mereka.
Sikap toleran dan kesadaran akan kemajemukan ibarat air dan makanan. Jika tanpa air dan makanan dapat menghilangkan nyawa seseorang, toleransi dapat menghilangkan jiwa kebangsaan di Indonesia. Sebab kemajemukan merupakan identitas bangsa Indonesia. Karenanya, apa pun alasannya, kekerasan yang berbau agama harus dihindari. Negara kita adalah negara hukum. Konstitusi menjamin kepada setiap warga negara untuk memeluk dan beribadah menurut agama kepercayaannya.
Kebangsaan Indonesia merupakan anugerah Tuhan yang harus disyukuri dan dilestarikan. Semua upaya eksklusifitas dan kekerasan apa pun bentuknya berarti telah menginjak-injak perjanjian luhur bangsa sekaligus memudarkan keagungan nilai-nilai spiritualitas dan agama yang senantiasa peduli terhadap harmoni peradaban kemanusiaan.
Sumber: Media Indonesia, 11 Februari 2011

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!