Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X memberi sinyal bahwa tidak tertutup kemungkinan orang yang menjabat gubernur dan wakil gubernur Yogya adalah orang-orang di luar Keraton Ngayogyakarta maupun Puro Pakualaman.
Kondisi itu dimungkinkan terjadi jika Sultan dan Pakualam masih di bawah umur atau belum memenuhi persyaratan sebagai gubernur dan wakil gubernur. "Karena kalau keraton ada perwalian, tapi negara kan enggak mengenal perwalian," kata Sultan saat ditemui di Kepatihan, Selasa 4 Oktober 2011.
Berdasarkan paugeran (aturan keraton), raja yang masih kecil akan digantikan oleh perwalian, yakni meliputi paman, saudara laki-laki, dan kiai penghulu. Sedangkan dalam jabatan pemerintahan, jika gubernur yang dipilih tidak mampu menjalankan jabatannya, akan digantikan oleh pelaksana tugas. "Mosok gubernur yo arep kaya ngono (perwalian). Jadi model keraton seperti apa dan pemerintah yang mau dicapai seperti apa. Ada modifikasinya," kata Sultan.
Jika pejabat gubernur dan wakil gubernur berasal dari orang di luar keraton dan puro, mungkin yang akan ditunjuk adalah pejabat negara yang mempunyai jabatan sebagai direktur jenderal atau sekretaris jenderal.
Ada-tidaknya orang di luar keraton dan puro, menurut Sultan, tergantung apakah Dewan Perwakilan Rakyat membuka peluang atau tidak untuk mereka. Peluang itu dimungkinkan diatur dalam Undang-Undang Keistimewaan DIY. "Itu terserah DPR. Kalau (DPR) konsisten, mestinya tidak (membuka peluang)," kata Sultan.
Sikap konsisten DPR tersebut, menurut Sultan, adalah apabila DPR tetap mengakui bahwa sultan adalah gubernur dan gubernur adalah sultan serta Pakualam adalah wakil gubernur dan wakil gubernur adalah Pakualam. "Legislasi kan di tangan DPR. Meskipun pejabat itu diangkat presiden, harus sepengetahuan keraton dan puro. Jadi clear," kata Sultan.
Sementara itu, jika keraton, puro, dan masyarakat tetap konsisten pada proses suksesi melalui penetapan, Sultan meminta agar keraton dan puro berubah. Sultan yang bertakhta haruslah menyesuaikan untuk memenuhi syarat sebagai gubernur. Semisal, jika sultan masih di bawah umur, apakah walinya bisa diangkat sebagai pejabat gubernur.
Begitu juga jika yang menjadi sultan adalah adiknya yang sudah dewasa. Masyarakat dipastikan tidak akan memprotes karena pemilihan sultan adalah prerogatif internal keraton. "Tapi, kalau kemudian dia diajukan sebagai gubernur dan fraksi di DPRD ora gelem, terus piye?" kata Sultan.
Perubahan yang dimaksud Sultan adalah perubahan pada paugeran keraton dan puro yang dibakukan secara internal. Sultan pun tak membantah jika dimungkinkan terjadi dialog panjang.
Lantaran sifatnya adalah penyesuaian paugeran keraton dan puro dengan persyaratan sebagai kepala dan wakil kepala daerah. "Itu konsekuensi penetapan. Kalau jabatan sultan match dengan gubernur, pemerintah pusat kan tidak khawatir lagi," kata Sultan.
Wakil Ketua DPRD DIY dari Fraksi PAN, Tutiek Widyo, menilai perubahan paugeran keraton adalah hal yang wajar. Apalagi, untuk menjadi pejabat pemerintah, ada persyaratan harus lolos uji kelayakan dan kepatutan. "Peraturan daerah saja harus disesuaikan dengan undang-undang. Jadi perubahan paugeran itu sikap reformatif," kata Tutiek.
Sumber: Tempo Interaktif, 5 Oktober 2011
Ket foto: Sri Sultan Hamengku Buwono X
Ket foto: Sri Sultan Hamengku Buwono X
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!