Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor
Kita mengenal
demokrasi sebagai sistem universal yang menghargai prinsip-prinsip hak asasi
manusia. Sekalipun lahir di Barat, sesungguhnya dia tumbuh di mana saja: Barat,
Timur, Utara, Selatan. Seperti cinta, demokrasi melewati segala batas. Seperti
sepak bola, demokrasi punya aturan jelas.
Dengan segenap
kekurangannya, risiko sistem demokrasi paling minimal. Salah satunya adalah
pelanggaran terhadap prinsip-prinsipnya. Pelanggaran ini terjadi di mana-mana,
termasuk di negara-negara Barat.
Pelanggaran
Demokrasi
Di Perancis,
Fatimah, gadis kecil keturunan Aljazair, tak diperbolehkan memakai jilbab. Di
Amerika Serikat, Ahmad Zamroni yang asli Kudus berlama-lama di imigrasi bandara
San Francisco karena beragama Islam.
Di Texas, masih
banyak warga yang sinis terhadap perempuan imigran berjilbab asal Timur Tengah.
Sikap tidak demokratis juga sering ditujukan kepada orang- orang hitam dan
imigran hispanik.
Namun, di
Amerika Serikat pula pertumbuhan Islam paling cepat. Bahkan, di Hawaii, 20
Oktober ditetapkan sebagai Hari Islam. Di New York, aliran Thoriqah Haqqani
tumbuh subur. Di Delf, Belanda, dan Montreal, Kanada, banyak pengikut Abdul
Qodir Jailani. Apa yang melindungi tumbuhnya Islam di Barat? Jawabannya:
demokrasi!
Bukan hanya
terhadap Islam. Di Barat, demokrasi melindungi orang Amerika-Afrika yang
berkulit kelam, juga orang-orang Karibia, Asia, bahkan Yahudi yang taat
menjalankan ritualnya. Oleh karena itu, kita perlu mengkaji ulang gambaran
tentang demokrasi yang bengis dan jahat terhadap Islam. Sikap mengecam
demokrasi dan kebebasan sebagai antiagama dan musuh Islam tak dapat dibenarkan.
Justru
sebaliknya, Islam tumbuh karena dilindungi oleh demokrasi. Sikap melanggar
prinsip demokrasi, baik di Barat maupun di Indonesia, justru akan menggerogoti
Islam itu sendiri.
Demokrasi adalah
permainan sepak bola, ada aturan-aturan yang jelas dan fair. Tak boleh
handball, tak boleh off-side, dan aturan-aturan yang lain. Sebuah tim boleh
memainkan tika-taka ala Barcelona atau memasang pertahanan ala tembok
China—dengan menaruh sebanyak-banyaknya pemain belakang seperti yang pernah
dilakukan Chelsea—tetapi pemain tetap tidak dibenarkan menekel lawan, seperti
Balotelli yang pemain City terhadap Alex Song, pemain Arsenal.
Dalam sepak
bola, orang dinilai berdasarkan kemampuan, bukan berdasarkan agama atau rasnya,
seperti dalam kasus Suarez dan Patrice Evra. Semua mesti fair. Mau santri atau
abangan, berambut hitam atau pirang, semua berhak bermain.
Bak Sepak Bola
Oleh karena itu,
kekerasan yang terjadi belakangan ini sungguh memprihatinkan. Pelarangan
kerudung dan atribut agama di Perancis tidak berbeda dengan wasit yang tidak
fair. Demikian pula pembubaran diskusi di Yogyakarta adalah contoh permainan
tidak fair. Persis seperti Shawcross yang menekel Eduardo hingga Eduardo patah
kaki, seperti Adebayor yang menginjak muka Van Persie, atau seperti melarang
Chelsea memainkan sistem pertahanan ketat.
Setiap tim
berhak mempunyai gaya dan siasat, memenangi pertandingan. Demikian pula setiap
kelompok berhak berpendapat dan berdiskusi, berkeyakinan dan beribadah. Jika
berbeda paham, ada jalan adu argumentasi, penelitian, atau membuat permainan
yang lebih indah. Biarkan masyarakat yang menilai.
Sikap eksklusif
dan fundamentalis dalam beragama sungguh membahayakan karena membuat orang
merasa eksepsional: paling benar dan memaksa yang lain mengikuti kebenarannya.
Sikap demikian semakin berbahaya jika kebenarannya berusaha diimplementasikan
dalam sistem masyarakat dan aturan yang menata orang banyak.
Kehidupan
berdemokrasi pun terganggu karena ruang-ruang ekspresi, berpendapat, serta
akses-akses lain mestinya terbagi dan termanfaatkan merata di antara berbagai
individu ataupun kelompok sosial dan budaya. Ancaman kehidupan bermasyarakat
yang demokratis memang masalah besar bagi Indonesia.
Banyak yang
meyakini Islam sebagai jawaban final sehingga mereka berpandangan negara wajib
menginstitusikan hukum Islam, syariah. Hal ini tak bisa lepas dari rumusan para
penafsir konservatif bahwa Islam adalah ad-diin wa al-daulah, sebagai agama dan
negara.
Sikap ekstrem
dalam beragama dan pemaksaan kebenaran ini makin sering muncul sekarang. Orang
lupa bahwa negara dan bangsa Indonesia lahir dari keberagaman: terdiri lebih
dari 17.000 pulau, banyak keyakinan dan cara pandang. Perbedaan adalah fitrah
dan sunatullah.
Maka, menjunjung
tinggi nilai-nilai demokrasi dengan prinsip-prinsip menghargai hak manusia
untuk berpendapat dan beribadah merupakan keharusan. Bhinneka Tunggal Ika wajib
dijaga. Ketidaksetujuan dan perselisihan mesti diselesaikan dengan dialog dalam
semangat kebersamaan.
Jalan damai
selalu diajarkan oleh Islam. Apalagi, Islam juga tidak pernah mengajarkan untuk
memaksakan kehendak pada orang lain. Maka, menutup ruang dialog dan diskusi
merupakan bencana besar, sama saja menutup pendapat setiap orang untuk saling
berbagi. Dialog adalah cara yang diajarkan Islam dalam berdakwah.
Sumber: Kompas,
28 Mei 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!