Direktur Eksekutif
The Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi
Politik UIN Jakarta
PARTAI Demokrat memasuki fase turbulensi politik. Terjun bebasnya elektabilitas Demokrat yang dirilis Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) memantik relasi antagonistis antarelite Demokrat di ruang publik.
Tentu, hasil riset
hanyalah variabel minor dalam pembacaan dinamika konflik aktual di tubuh partai
pemenang pemilu itu. Sejatinya, relasi kuasa yang mengerucut pada tumbuh
kembangnya faksionalisme di tubuh Demokrat tak pernah usai sejak kongres 2010
di Bandung, Jawa Barat.
Meski para elite
Demokrat selalu membangun kesan solid, fakta politik kekinian yang mengharuskan
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turun gunung menjadi bukti nyata retaknya kapal
Demokrat. Pidato SBY tentang delapan poin solusi penyelamatan partai juga tak
menghasilkan impresi memadai. Substansi wacana yang disodorkan SBY tetap
memiliki sejumlah kerumitan untuk diimplementasikan, terutama terkait dengan
posisi Anas sebagai nakhoda partai.
Pembonsaian Politik
Jika kita
perhatikan secara saksama, 7 dari 8 poin solusi penyelamatan Demokrat secara
eksplisit menegaskan otoritas Majelis Tinggi Partai dengan SBY menjadi
ketuanya. Dengan balutan gaya komunikasi politik yang high context culture SBY
memosisikan kata demi kata terlihat santun, aman, dan tidak terkesan verbal
agresif meskipun substansinya menyuguhkan aroma korporatisme politik yang
kental tak hanya pada kuasa bahasa, tetapi juga pada operasionalisasi
organisasi.
Proses keluarnya
delapan poin solusi itu juga menarik karena SBY memadukan antara teknik icing
device yang menitikberatkan sentuhan-sentuhan emosional dan teknik fear
erousener yang menekankan ancaman hukuman dan tekanan mental.
Teknik pertama,
merupakan prakondisi solusi, saat SBY mengirim pesan layanan singkat (SMS) dari
depan Kabah di Kota Mekah. Isi pesan tersebut membangun hubungan emosional
dengan menyatakan SBY terus memohon petunjuk Allah agar Demokrat dibebaskan dari
cobaan berat, sekaligus meminta agar turut didoakan untuk menemukan solusi yang
tepat, bijak, dan bermartabat. Itu prakondisi khas SBY untuk membangun harmoni.
Teknik kedua fokus
pada bahasa kuasa untuk pengendalian dan penegasan otoritas. SBY memulai solusi
dengan menyatakan ketua majelis tinggi partai berwenang dan bertanggung jawab
untuk memimpin penyelamatan dan konsolidasi partai. Meski delapan poin itu
merupakan satu kesatuan utuh, yang paling inti bisa kita raba pada nomor dua
saat SBY menyatakan segala keputusan, kebijakan, dan tindakan partai ditentukan
dan dijalankan majelis tinggi partai.
SBY sebagai Ketua
Majelis Tinggi Partai Demokrat akan mengambil keputusan dan arahan yang penting
serta strategis. Itu mengunci beberapa poin lain seperti mekanisme
pertanggungjawaban elemen-elemen utama partai, penataan, penertiban dan
pembersihan partai, keputusan majelis tinggi partai yang mutlak diindahkan dan
dijalankan, termasuk poin yang membahas posisi Anas Urbaningrum.
Tekanan mental bisa
kita temukan dalam pernyataan SBY yang mengancam siapa pun yang tak menjalankan
keputusan majelis tinggi partai akan diberi sanksi organisasi secara tegas.
Bahkan SBY eksplisit mempersilakan orang Demokrat yang tak nyaman dengan
kondisi elektabilitas serta misi penyelamatan partai yang dipimpinnya untuk
meninggalkan partai. Hampir seluruh narasi pernyataan SBY bermuara pada
strategi anxiety and uncertainty management (AUM) strategy yang tentunya
dipakai untuk mengurangi ketidaknyamanan dan ketidakpastian sekaligus memosisikan
SBY di puncak hierarki otoritas partai.
Dampak Lanjutan
Secara substansi,
sulit menghindari tafsir politis atas posisi Anas di Demokrat sejak pernyataan
SBY, Jumat (8/2). Diakui atau tidak, telah terjadi pembonsaian politik Anas
sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Secara de jure Anas tetap diposisikan
sebagai ketua umum yang sah, sekaligus sebagai Wakil Ketua Umum Majelis Tinggi
Partai Demokrat. Namun, secara de facto, kewenangan Anas dalam menjalankan
fungsi-fungsi ketua umum dipereteli. SBY eksplisit menyatakan akan memimpin
langsung gerakan penataan, pembersihan, dan penertiban partai serta
mempersilakan Anas untuk fokus menghadapi dugaan masalah hukum.
Itulah langkah dua
tahap (two step flow strategy) yang sangat lazim digunakan pemimpin bercorak
hati-hati. SBY tentu sudah berhitung cermat kemungkinan dukungan nyata di
struktur kepengurusan DPP hingga DPD dan DPC terhadap Anas sehingga tak
mengambil langkah frontal menggeser atau melengserkan Anas. Jika skenarionya
pelengseran Anas, tentu akan muncul geger politik di internal partai karena
hingga sekarang Anas belum menjadi tersangka satu kasus hukum pun. Memaksakan
kehendak pelengseran Anas akan menyebabkan zero sum game yang membuat partai
luluh lantak. SBY secara halus sedang menerapkan mekanisme sirkulasi elite.
Dalam perspektif the circulation of the elite Vilfredo Pareto
(dalam William D Perdue, 1986:95-103), proses sirkulasi elite itu digambarkan
sebagai hubungan resiprokal dan bersifat mutual interdependence (ketergantungan
bersama). Perubahan tidak berada dalam respons institusional yang dramatis,
tetapi dalam tindakan dan reaksi sistem yang menunjukkan proses pengelolaan
keteraturan.
Makanya, strategi
pertama yang di ambil SBY ialah tetap memosisikan Anas sebagai Ketua Umum
Demokrat, tetapi dibatasi, ditakar untuk tak tumbuh kembang di luar kehendak
SBY. Singkatnya, itulah skenario korporatisme politik atau pembonsaian Anas di
tubuh Demokrat. Strategi kedua akan sangat ditentukan status hukum Anas di KPK.
Jika Anas menjadi tersangka, tentu akan menjadi the end of history dalam
konstelasi politik Demokrat karena SBY tentu sudah mengantongi sejumlah nama
potensial untuk didorong ke jabatan tersebut jika Anas nantinya mengundurkan
diri atau dipecat partai.
Situasi Dinamis
Demokrat setelah
pernyataan SBY tentang solusi partai tentu akan melahirkan sejumlah kemungkinan
dampak lanjutan. Kemungkinan pertama mengukuhkan gejala groupthink di tubuh
Demokrat. Situasi itu terkait dengan genealogi Demokrat itu sendiri. Partai itu
lahir, tumbuh, dan berkembang hingga akhirnya menjadi pemenang dengan sebaran
konstituen meyakinkan di Pemilu 2009 tak lepas dari sosok SBY. Risikonya memang
politik figur yang sangat kuat itu biasanya melahirkan gejala groupthink.
Gejala itu oleh
Irving Janis dalam bukunya, Groupthink: Psychological Studies of Policy
Decisions and Fiascoes (1982), digambarkan sebagai kelompok yang memiliki
tingkat kohesivitas tinggi dan sering kali gagal mengembangkan
alternatif-alternatif tindakan yang mereka ambil. Para kader rata-rata berpikir
sama dan menghindari pemikiran berlawanan sehingga sangat sedikit kemungkinan
munculnya ide-ide yang tak populer atau tak serupa dengan elite utamanya, dalam
konteks ini ialah SBY.
Dengan demikian,
sangat mungkin apa yang sudah ditetapkan SBY sebagai solusi akan diikuti meskipun
tidak semua merasa happy. Terlebih SBY hingga 2014 masih mengendalikan kuasa
tak hanya di internal partai, tetapi juga sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan. Jadi, orang-orang di lingkaran SBY, terutama di level elite,
tentu akan berpikir seribu kali untuk berbeda pandangan dengan SBY, meski
dinamikanya bisa saja berbeda jika SBY sudah tak lagi berkuasa.
Kedua, sangat
mungkin juga muncul skenario `perlawanan' Anas dengan cara yang sama seperti
dilakukan SBY. Dalam hal ini Anas dan para pendukungnya menerapkan soft strategy untuk tetap eksis
mengendalikan eksekutif partai.
Anas tidak secara
frontal memberi pernyataan berseberangan dengan SBY, tetapi memberi tafsir yang
tidak tunggal atas pilihan kata dalam poin yang secara langsung berhubungan dengan
posisinya. Misalnya pernyataan Anas di media massa tentang dirinya yang diminta
fokus pada kasus hukum. Anas secara enteng menafsirkan yang dimaksud SBY itu
ialah agar dirinya tidak alpa pada kasus hukum yang dituduhkan padanya sehingga
tetap memungkinkan dia melakukan kerja-kerja kepartaian seperti biasanya.
Bukti tindakan show
must go on itu terlihat dari pilihan aktivitas Anas untuk tetap datang ke DPC
Partai Demokrat Lebak, Banten, Sabtu (9/2). Disengaja atau tidak, momentum
tetap turun ke struktur bawah itu menjadi pesan dari Anas kepada publik bahwa
dirinya tak terpengaruh oleh perubahan apa pun. Bahkan, bisa jadi Anas akan
tetap turun ke bawah (turba) dengan kemasan kata yang sama dengan SBY, yakni
atas nama konsolidasi partai. Sangat mungkin, perlawanan halus Anas itu
memosisikan wacana `garang' SBY hanya pada level kesadaran diskursif, tetapi
tidak kesadaran praktis saat diimplementasikan di lapangan.
Terlepas dari
berbagai kemungkinan dinamika internal Partai Demokrat, satu hal yang
dikhawatirkan publik ialah tersedotnya energi kreatif SBY sebagai presiden.
Pernyataan SBY yang akan memimpin langsung gerakan penataan, pembersihan, dan
penertiban partai tentu akan membagi fokus perhatian SBY di 1,5 tahun masa
akhir kekuasaannya. Muncul paradoks, di satu sisi SBY telah meminta dengan
tegas agar para menterinya yang berasal dari partai untuk tetap fokus bekerja
di kabinet meski memasuki tahun politik, tetapi di sisi lain SBY justru
mengambil alih peran utama konsolidasi partai Demokrat. Artinya, SBY akan
berada dalam titik episentrum persoalan-persoalan internal partai sehingga
sulit menghindar dari peran ganda kekuasaan.
Padahal, para
pemimpin kita kerap diingatkan dengan ucapan terkenal dari mantan Presiden
Filipina Manuel L Quezon (1878-1944), “Loyalitas kepada partai berakhir saat
loyalitas kepada negara dimulai.“ Tentu, masyarakat akan mengkritisi jika
pemimpin yang diberi mandat berkuasa lebih mendahulukan loyalitas kepada diri
dan kelompoknya.
Sumber: Media Indonesia,
11 Februari 2013

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!