Headlines News :
Home » » Natal dan Serbet

Natal dan Serbet

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, December 26, 2019 | 12:55 PM

MERAYAKAN Natal & Tahun Baru di kampung bagi kebanyakan kami yang di rantau, selalu jadi kerinduan karena membawa kenangan, kedamaian, dan kebahagiaan tersendiri. Saling berjabatan tangan di antara kaka ade, orangtua dan saudara serta saudari umat Katolik sekampung memaknai arti Natal sebagai kelahiran kami semua menjadi "manusia baru" dalam sikap dan tindakan selanjutnya dalam relasi sosal sebagai orang kampung di kaki gunung Labalekan. Pastor Kepala & Dewan Pimpinan Pusat Paroki St Joseph Boto dalam beberapa kebijakan paroki, kerap menetapkan Misa Malam Natal & Hari Natal bisa terpusat di Boto, sebagai pusat paroki. Bisa juga diselenggarakan di stasi lain yang ditetapkan bersama dalam Rapat Pleno Paroki yang di-handle langsung Pastor Kepala dan Ketua Dewan Paroki.

Tahun 1980-an, Pastor Lamber Paji Seran SVD dan pelayannya, Adrianus Abu Uran (kini diganti koster) akan terlihat sangat sibuk berkoordinasi dengan panitia perayaan. Berikut Ketua Dewan & umat stasi lain bila perayaan Malam Natal & Natal diarahkan (tepatnya dipusatkan) ke/di stasi di luar Boto. Koordinasi ini terkait dengan tugas-tugas pokok para petugas liturgi, koor, dan juga kesiapan umat stasi yang akan menjadi tuan rumah kegiatan perayaan Natal. Umat stasi bersangkutan akan menerima tamu dari stasi-stasi lain yang akan hadir mengikuti Misa Malam Natal & Natal.

Dua atau tiga hari sebelum 24 Desember, Pastor Lamberus Paji Seran SVD, imam asal Adonara akan menyiapkan barang-barang keperluannya untuk mempersembahkan Misa. Kuda miliknya akan stand by di samping pastoran untuk membawa sebagian barang sang pastor. Selebihnya akan dibawa para anggota serikat grejani seperti Santa Ana atau Konfreria. Umat yang juga berasal dari stasi-stasi lain juga akan bersiap-siap menuju stasi bersangkutan dan bergabung dengan umat lain.

Urusan ke stasi, selalu membuat bapa dan ibu saya paling peka. Kami semua -kadang beberapa dari kaka ade saya- juga tak ketinggalan untuk ikut Misa Natal. Seminggu sebelumnya, kami semua akan mencuci bersih serbet, pengganti tas untuk mengisi baju atau makanan selama perayaan Misa di stasi. Serbet menjadi wadah paling efektif dan murah meriah. Apakah tak ada tas pakaian? Kala itu tas adalah barang langka. Memiliki klombu (kantong terigu) sudah sangat wah. Tas masih sebatas di para guru tua, guru agama, konfereria atau koster. Barang mewalah. Orang seperti bapa dan ibu saya, kata anak gaul saat ini, bisanya apa?

Serbet itu multifungsi. Ia bisa dipakai mengisi baju baru (yang baru diseterika dengan besi setrika berkepala ayam jantan), bedak viva, jagung titi, beras, kacang-kacang, buku orasi kecil, kontas (rosario), dan kertas lagu natal yang ditulis pake bolpoin. Kadang sandal, sepatu kets baru atau koskaki (kaos kaki) biasanya di serbet lain untuk menjaga baju di serbet lain tidak kotor. Menelusuri hutan kemiri dan kelapa antara stasi satu dengan stasi lain adalah pengalaman mengasyikkan.

Kami anak-anak, biasanya diberi tugas tambahan. Alat musik dan tetek bengek stasi kami selalu berebutan untuk bawa. Jadi, selain kami junjung serbet secara bergantian, kami akan pikul gitar, toa, kabel atau string bass (strembas, dalam dialek kami). Suasana Natal terasa di hutan-hutan sepanjang jalan. Senang kalau jalan berbarengan dengan tukang pijit gitar listrik atau tukang pukul mat (dirigen) dari stasi kami. Belum lagi kalau ada penyanyi solo yang bersuara alami. Pemandangan ini akan kian membuat suasana Natal di stasi terasa. Tuan rumah pun akan bahagia menerima sementara para kerabat di rumahnya sebelum dibawa ke KUB yang menerima. Kalau pun tamu memilih menahan untuk tinggal di rumahnya, maka mereka perlu koordinasi dengan ketua KUB di stasinya agar tak tumpang tindih dan juga menjaga kemudahan koordinasi.

Tiba di stasi, sambutan tuan rumah sudah terasa. Masing-masing ketua kelompok umat basis (KUB) stasi bersangkutan akan menyambut hangat. Sembari bisik-bisik, para tamu akan diarahkan ke mana KUB yang akan menerima. Semua sudah diatur ala pejabat melakukan kunjungan resmi di desa. Para aparat keamanan (hansip) desa mengawal kita untuk memastikan tamu sudah terdistribusi di KUB stasi bersangkutan. Natal menjadi perayaan suka-cita bersama menyambut Sang Bayi di Betlehem, Kota Daud, ala kampung saya. Tak ada perasaan was was berada dalam intaian intimidasi kelompok-kelompok intoleran atau dalam bayang-bayang teroris atau sejenisnya. Tak ada gangguan kantibmas karena saat itu tak ada teroris. Kalaupun ada sebutan "teroris" pun, bisa saja kami anggap itu sejenis ubi kayu, keladi atau petatas yang bergizi di ladang petani di kaki gunung di kampung kami.

Paroki St Joseph Boto, Lembata, NusaTenggara Timur merupakan salah satu paroki tua di Keuskupan Larantuka. Di paroki ini juga Susteran SSpS Boto melebarkan sayap karya kerasulannya. Komunitas SSpS Boto melayani umat di bidang kesehatan dengan Poliklinik St Rafael Boto. Juga pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan, dan karya sosial lainnya. Saya ingat dua suster misionaris asing: Sr Amaria SSpS dari Amerika Serikat dan Sr Dorothildis SSpS dari Belanda. "Kalau melekat sudah bunyi, cepat berdiri sudah dan ikut sembahyang. Nanti besok-besok hidup agama kamu bagus. Kalau tidak ikut sembahyang artinya dalam hati kamu ada benih-benih setan," kata ayah saya.

Melekat sudah bunyi? Maksudnya? Setiap pukul 12.00 WITA kalau Sr Amaria atau Dorothildis membunyikan lonceng, itulah, kata bapa saya, tandanya malaikat sudah bunyi. Lonceng itu berbentuk tabung gas kosong. Tabung gas kosong produk Pertamina itu diletakkan di samping kiri pintu masuk Gereja (lama) St Joseph Boto. Setiap kali yang dibunyikan tepat pukul 12.00 siang, kami anak-anak SDK Boto maupun SMP Lamaholot Boto (kini SMPN 2 Nagawutun) akan berdiri dan sembahyang malaikat Allah. Biasanya guru akan ponta (tunjuk) siapa saja yang akan pimpin sembahyang. Dari samping lonceng itu, lolongan Boto, anjing kesayangan susteran akan menggonggong sepanjang lonceng dibunyikan.

Kehidupan sosial keagamaan kami kala itu biasa-biasa saja. Apalagi jauh dari sentuhan hal-hal berbau modern. Para imam maupun biarawati yang melayani umat bekerja dalam kondisi yang serba minim. Partisipasi umat juga biasa-biasa saja. Ambil bagian dalam perayaan Misa di stasi lain dengan menyimpan baju dalam serbet susah bergeser dari kepala. Nama Pastor Jan Knoor SVD bahkan Pastor Nicholas Strawn SVD, misionaris asing juga melekat. Tuan Niko (begitu sapaan akrab Pastor Nicholas Stawn SVD) pernah 17 tahun melayani umat Paroki Boto, setelah lama menjadi Pastor Paroki Lerek, Atadei, sejak tiba di Indonesia tahun 60-an. Ia bahkan mengundang kerabatnya, jauh-jauh dari Iowa, Amerika Serikat ke Boto sekadar melihat dari dekat karya pelayanannya.

Sebagai orang kampung, saya selalu bersyukur kepada Tuhan. Kehidupan kami yang pas-pasan kala itu berbuah berkat melimpah. Banyak putra-putri Paroki Boto dipanggil menjadi Pelayan Sabda. Beberapa biarawati seperti Sr Vinsensia Pukan, SSpS, Sr Kristin Kopa SSpS, Sr Erenbertha SSpS adalah pelayan Sabda asal kampung yang menginspirasi banyak anal muda menjawabi panggilan hidup membiara. Berikut banyak anak muda yang memenuhi panggilan menjadi pewarta Kabar Baik di seluruh dunia. Begitu pula banyak awam yang mengabdi sebagai pewarta di tengah dunia melalui karya dan pengabdiannya. Saya tentu percaya, baju mereka-mereka ini pernah diisi dalam serbet tempo doeloe.

Haryatmoko, dosen Universitas Sanata Dharma Jogjakarta, dalam Harian Kompas edisi 24 Desember 2019, menulis refleksi inspiratif Natal dalam judul "Sejarah Tuhan Kisah Manusia". Ia menulis, sejarah Tuhan mewahyu Diri masuk ke dunia nyata dalam rangkaian kisah manusia. Namun, kisah-kisah sederhana gagap menerjemahkan wahyu Tuhan karena keterbatasan bahasa. "Tuhan terlalu kaya dan sangat tidak terbatas sehingga suatu tradisi religius, yang tentu saja memiliki keterbatasan, tidak akan menimba secara tuntas kesempurnaan dan kepenuhan Tuhan" (Schillebeeckx, 1992:225).

Begitu juga Pastor Gabriel Possenti Sindhunata SJ dalam Petruk Jadi Guru (2007:32) melalui judul feature, 'Membuat Manusia Menjadi Mawar Natal' melukiskan tentang pesta Natal. Imam Jesuit analis bola ini menulis dengan asyik tentang Natal. "Dan bagi orang Kristen, di antara segala macam pesta, Natal-lah pesta paling dapat menyentuhkan cinta ilahi pada perasaan manusiawi. Joy the world, dengan lagu Natal ini orang dapat membayangkan, Tuhan itu adalah a dancing God. Tuhan dapat menari-bari dalam kegembiraan manusia. Yang Mahakuasa itu bukan penguasa yang jauh dan acuh tak acuh terhadap ihwal dunia insani."

Di sini, dari dua catatan makna Natal di atas, saya tak lupa serbet tempo doeloe di kampung, di kaki gunung, menyambut Natal. Tahun 2019, Natal wilayah dipusatkan di Gereja St Rafael Stasi Atawai. Tentu tak lagi serbet di tangan umat stasi. Jalanan akan ditaburi umat dan sepeda motor. Lagu-lagu Natal akan berkumandang di Atawai, kampung di tengah kepungan panorama alam nan indah. Suasana kota Betlehem tentu tak sama tapi sama dalam nuansa Natal: sederhana ala orang-orang kampung, umat yang bersahaja. Serbet sudah tanggal, tentunya.

Akhirnya, Selamat Natal 2019 & Bahagia Tahun Baru 2020. Semoga berkat Tuhan melimpah bagi kampung halaman dan kita semua -terutama bapa, mama, kaka ade- dalam tugas perutusan. Selamat siang. Doa dan salam saya sekeluarga. Satu dalam doa dan kurban. 
Ansel Deri
Ket foto: Perarakan Misa Konselebrasi 25 Tahun Pastor Petrus Payong SVD di Gereja Paroki Santo Joseph Boto, Keuskupan Larantuka ( gambar 1). 
Panorama alam Boto dari samping kiri kantor Desa Belabaja, dusun Kluang (gambar 2).
Umat stasi Boto ambil bagian dalam tarian lokal untuk memeriahkan Misa di Gereja St Joseph Boto (gambar3).
Dok foto: Ansel Deri
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger