MERAYAKAN
Natal & Tahun Baru di kampung bagi kebanyakan kami yang di rantau, selalu
jadi kerinduan karena membawa kenangan, kedamaian, dan kebahagiaan tersendiri.
Saling berjabatan tangan di antara kaka ade, orangtua dan saudara serta saudari
umat Katolik sekampung memaknai arti Natal sebagai kelahiran kami semua menjadi
"manusia baru" dalam sikap dan tindakan selanjutnya dalam relasi
sosal sebagai orang kampung di kaki gunung Labalekan. Pastor Kepala & Dewan
Pimpinan Pusat Paroki St Joseph Boto dalam beberapa kebijakan paroki, kerap
menetapkan Misa Malam Natal & Hari Natal bisa terpusat di Boto, sebagai
pusat paroki. Bisa juga diselenggarakan di stasi lain yang ditetapkan bersama
dalam Rapat Pleno Paroki yang di-handle langsung Pastor Kepala dan Ketua Dewan
Paroki.
Tahun 1980-an,
Pastor Lamber Paji Seran SVD dan pelayannya, Adrianus Abu Uran (kini diganti
koster) akan terlihat sangat sibuk berkoordinasi dengan panitia perayaan.
Berikut Ketua Dewan & umat stasi lain bila perayaan Malam Natal & Natal
diarahkan (tepatnya dipusatkan) ke/di stasi di luar Boto. Koordinasi ini
terkait dengan tugas-tugas pokok para petugas liturgi, koor, dan juga kesiapan
umat stasi yang akan menjadi tuan rumah kegiatan perayaan Natal. Umat stasi
bersangkutan akan menerima tamu dari stasi-stasi lain yang akan hadir mengikuti
Misa Malam Natal & Natal.
Dua atau tiga hari
sebelum 24 Desember, Pastor Lamberus Paji Seran SVD, imam asal Adonara akan
menyiapkan barang-barang keperluannya untuk mempersembahkan Misa. Kuda miliknya
akan stand by di samping pastoran untuk membawa sebagian barang sang pastor.
Selebihnya akan dibawa para anggota serikat grejani seperti Santa Ana atau
Konfreria. Umat yang juga berasal dari stasi-stasi lain juga akan bersiap-siap
menuju stasi bersangkutan dan bergabung dengan umat lain.
Urusan ke stasi,
selalu membuat bapa dan ibu saya paling peka. Kami semua -kadang beberapa dari
kaka ade saya- juga tak ketinggalan untuk ikut Misa Natal. Seminggu sebelumnya,
kami semua akan mencuci bersih serbet, pengganti tas untuk mengisi baju atau
makanan selama perayaan Misa di stasi. Serbet menjadi wadah paling efektif dan
murah meriah. Apakah tak ada tas pakaian? Kala itu tas adalah barang langka.
Memiliki klombu (kantong terigu) sudah sangat wah. Tas masih sebatas di para guru
tua, guru agama, konfereria atau koster. Barang mewalah. Orang seperti bapa dan
ibu saya, kata anak gaul saat ini, bisanya apa?
Serbet itu
multifungsi. Ia bisa dipakai mengisi baju baru (yang baru diseterika dengan
besi setrika berkepala ayam jantan), bedak viva, jagung titi, beras,
kacang-kacang, buku orasi kecil, kontas (rosario), dan kertas lagu natal yang
ditulis pake bolpoin. Kadang sandal, sepatu kets baru atau koskaki (kaos kaki)
biasanya di serbet lain untuk menjaga baju di serbet lain tidak kotor.
Menelusuri hutan kemiri dan kelapa antara stasi satu dengan stasi lain adalah
pengalaman mengasyikkan.
Kami anak-anak,
biasanya diberi tugas tambahan. Alat musik dan tetek bengek stasi kami selalu
berebutan untuk bawa. Jadi, selain kami junjung serbet secara bergantian, kami
akan pikul gitar, toa, kabel atau string bass (strembas, dalam dialek kami).
Suasana Natal terasa di hutan-hutan sepanjang jalan. Senang kalau jalan
berbarengan dengan tukang pijit gitar listrik atau tukang pukul mat (dirigen)
dari stasi kami. Belum lagi kalau ada penyanyi solo yang bersuara alami.
Pemandangan ini akan kian membuat suasana Natal di stasi terasa. Tuan rumah pun
akan bahagia menerima sementara para kerabat di rumahnya sebelum dibawa ke KUB
yang menerima. Kalau pun tamu memilih menahan untuk tinggal di rumahnya, maka
mereka perlu koordinasi dengan ketua KUB di stasinya agar tak tumpang tindih
dan juga menjaga kemudahan koordinasi.
Tiba di stasi,
sambutan tuan rumah sudah terasa. Masing-masing ketua kelompok umat basis (KUB)
stasi bersangkutan akan menyambut hangat. Sembari bisik-bisik, para tamu akan
diarahkan ke mana KUB yang akan menerima. Semua sudah diatur ala pejabat
melakukan kunjungan resmi di desa. Para aparat keamanan (hansip) desa mengawal
kita untuk memastikan tamu sudah terdistribusi di KUB stasi bersangkutan. Natal
menjadi perayaan suka-cita bersama menyambut Sang Bayi di Betlehem, Kota Daud,
ala kampung saya. Tak ada perasaan was was berada dalam intaian intimidasi
kelompok-kelompok intoleran atau dalam bayang-bayang teroris atau sejenisnya.
Tak ada gangguan kantibmas karena saat itu tak ada teroris. Kalaupun ada
sebutan "teroris" pun, bisa saja kami anggap itu sejenis ubi kayu,
keladi atau petatas yang bergizi di ladang petani di kaki gunung di kampung
kami.
Paroki St Joseph
Boto, Lembata, NusaTenggara Timur merupakan salah satu paroki tua di Keuskupan
Larantuka. Di paroki ini juga Susteran SSpS Boto melebarkan sayap karya
kerasulannya. Komunitas SSpS Boto melayani umat di bidang kesehatan dengan
Poliklinik St Rafael Boto. Juga pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan, dan
karya sosial lainnya. Saya ingat dua suster misionaris asing: Sr Amaria SSpS
dari Amerika Serikat dan Sr Dorothildis SSpS dari Belanda. "Kalau melekat
sudah bunyi, cepat berdiri sudah dan ikut sembahyang. Nanti besok-besok hidup
agama kamu bagus. Kalau tidak ikut sembahyang artinya dalam hati kamu ada
benih-benih setan," kata ayah saya.
Melekat sudah
bunyi? Maksudnya? Setiap pukul 12.00 WITA kalau Sr Amaria atau Dorothildis
membunyikan lonceng, itulah, kata bapa saya, tandanya malaikat sudah bunyi.
Lonceng itu berbentuk tabung gas kosong. Tabung gas kosong produk Pertamina itu
diletakkan di samping kiri pintu masuk Gereja (lama) St Joseph Boto. Setiap
kali yang dibunyikan tepat pukul 12.00 siang, kami anak-anak SDK Boto maupun
SMP Lamaholot Boto (kini SMPN 2 Nagawutun) akan berdiri dan sembahyang malaikat
Allah. Biasanya guru akan ponta (tunjuk) siapa saja yang akan pimpin
sembahyang. Dari samping lonceng itu, lolongan Boto, anjing kesayangan susteran
akan menggonggong sepanjang lonceng dibunyikan.
Kehidupan sosial
keagamaan kami kala itu biasa-biasa saja. Apalagi jauh dari sentuhan hal-hal
berbau modern. Para imam maupun biarawati yang melayani umat bekerja dalam
kondisi yang serba minim. Partisipasi umat juga biasa-biasa saja. Ambil bagian
dalam perayaan Misa di stasi lain dengan menyimpan baju dalam serbet susah
bergeser dari kepala. Nama Pastor Jan Knoor SVD bahkan Pastor Nicholas Strawn
SVD, misionaris asing juga melekat. Tuan Niko (begitu sapaan akrab Pastor
Nicholas Stawn SVD) pernah 17 tahun melayani umat Paroki Boto, setelah lama
menjadi Pastor Paroki Lerek, Atadei, sejak tiba di Indonesia tahun 60-an. Ia
bahkan mengundang kerabatnya, jauh-jauh dari Iowa, Amerika Serikat ke Boto sekadar
melihat dari dekat karya pelayanannya.
Sebagai orang
kampung, saya selalu bersyukur kepada Tuhan. Kehidupan kami yang pas-pasan kala
itu berbuah berkat melimpah. Banyak putra-putri Paroki Boto dipanggil menjadi
Pelayan Sabda. Beberapa biarawati seperti Sr Vinsensia Pukan, SSpS, Sr Kristin
Kopa SSpS, Sr Erenbertha SSpS adalah pelayan Sabda asal kampung yang
menginspirasi banyak anal muda menjawabi panggilan hidup membiara. Berikut
banyak anak muda yang memenuhi panggilan menjadi pewarta Kabar Baik di seluruh
dunia. Begitu pula banyak awam yang mengabdi sebagai pewarta di tengah dunia
melalui karya dan pengabdiannya. Saya tentu percaya, baju mereka-mereka ini
pernah diisi dalam serbet tempo doeloe.
Haryatmoko, dosen
Universitas Sanata Dharma Jogjakarta, dalam Harian Kompas edisi 24 Desember
2019, menulis refleksi inspiratif Natal dalam judul "Sejarah Tuhan Kisah
Manusia". Ia menulis, sejarah Tuhan mewahyu Diri masuk ke dunia nyata
dalam rangkaian kisah manusia. Namun, kisah-kisah sederhana gagap menerjemahkan
wahyu Tuhan karena keterbatasan bahasa. "Tuhan terlalu kaya dan sangat
tidak terbatas sehingga suatu tradisi religius, yang tentu saja memiliki
keterbatasan, tidak akan menimba secara tuntas kesempurnaan dan kepenuhan
Tuhan" (Schillebeeckx, 1992:225).
Begitu juga Pastor
Gabriel Possenti Sindhunata SJ dalam Petruk Jadi Guru (2007:32) melalui judul feature, 'Membuat
Manusia Menjadi Mawar Natal' melukiskan tentang pesta Natal. Imam Jesuit analis
bola ini menulis dengan asyik tentang Natal. "Dan bagi orang Kristen, di
antara segala macam pesta, Natal-lah pesta paling dapat menyentuhkan cinta
ilahi pada perasaan manusiawi. Joy the world, dengan lagu Natal ini orang dapat
membayangkan, Tuhan itu adalah a dancing God. Tuhan dapat menari-bari dalam
kegembiraan manusia. Yang Mahakuasa itu bukan penguasa yang jauh dan acuh tak
acuh terhadap ihwal dunia insani."
Di sini, dari dua
catatan makna Natal di atas, saya tak lupa serbet tempo doeloe di kampung, di
kaki gunung, menyambut Natal. Tahun 2019, Natal wilayah dipusatkan di Gereja St
Rafael Stasi Atawai. Tentu tak lagi serbet di tangan umat stasi. Jalanan akan
ditaburi umat dan sepeda motor. Lagu-lagu Natal akan berkumandang di Atawai,
kampung di tengah kepungan panorama alam nan indah. Suasana kota Betlehem tentu
tak sama tapi sama dalam nuansa Natal: sederhana ala orang-orang kampung, umat
yang bersahaja. Serbet sudah tanggal, tentunya.
Akhirnya, Selamat
Natal 2019 & Bahagia Tahun Baru 2020. Semoga berkat Tuhan melimpah bagi
kampung halaman dan kita semua -terutama bapa, mama, kaka ade- dalam tugas
perutusan. Selamat siang. Doa dan salam saya sekeluarga. Satu dalam doa dan
kurban.
Ansel Deri
Ket foto: Perarakan Misa Konselebrasi 25 Tahun Pastor Petrus Payong SVD di Gereja Paroki Santo Joseph Boto, Keuskupan Larantuka ( gambar 1).
Panorama
alam Boto dari samping kiri kantor Desa Belabaja, dusun Kluang (gambar 2).
Umat stasi Boto ambil bagian dalam tarian lokal untuk memeriahkan Misa di Gereja St Joseph Boto (gambar3).
Umat stasi Boto ambil bagian dalam tarian lokal untuk memeriahkan Misa di Gereja St Joseph Boto (gambar3).
Dok
foto: Ansel Deri
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!