Headlines News :
Home » » Lusikawak dan Peran Wakil Rakyat

Lusikawak dan Peran Wakil Rakyat

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, July 24, 2012 | 9:48 PM

Oleh Ansel Deri
Eks warga Ur Mitem, Waikomo;
tinggal di Halim Perdana Kusuma, Jakarta

Sebanyak 45 keluarga di Lusikawak, Nubatukan, Lembata, diberitakan terpaksa meninggalkan lokasi tempat tinggalnya, yang tak jauh dari “Peten Ina” (baca: Gedung DPRD).

Selama ini, untuk sementara mereka menghuni lahan 20 hektar yang sudah diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata. Keluarga-keluarga itu dijanjikan lahan baru bersertifikat untuk membangun rumah mereka.

Setelah lahan 20 hektar tersebut diserahkan secara resmi, ternyata Pemkab alpa menunaikan janjinya. Kini, mereka dipaksa keluar dari tanah sendiri. Perlakuan yang tak mengenakkan tersebut membuat Camat Nubatukan, Gewura Fransiskus, kesal. "Pemerintah jangan abaikan hak 45 keluarga yang diusir dari lokasi Lusikawak itu. Ini menyangkut hak masyarakat," kata Gewura (Pos Kupang, 4 Juli 2012).

Camat Gewura pantas kesal. Kekesalan itu tak hanya soal janji lahan baru bersertifikat untuk membangun rumah yang perlu penyelesaian. Sekitar 36 masalah di wilayahnya yang sudah diinventarisir dan belum terselesaikan. Kini, masalah-masalah tersebut, termasuk lahan Taman Ria Swaolsa Tite, perlu mendapat perhatian.

Mengapa? Ada warga yang memiliki sertifikat resmi di taman tersebut. Juga sengketa kepemilikan persawahan di Uru (Ur) Mitem. Intinya, masalah tanah harus mendapat prioritas penyelesaian agar pemerintah memiliki legitimasi.

Tamparan

Mencuatnya persoalan Lusikawak dan puluhan kasus di wilayah Nubatukan, merupakan tamparan bagi Pemkab Lembata. Bagaimana pun kasus tersebut dan sejumlah kasus lain di Nubatukan mencerminkan rendahnya perhatian dan sensitivitas pemerintah selaku pelayan masyarakat.

Kondisi ini diperburuk lagi dengan minimnya kepedulian DPRD terhadap persoalan masyarakat yang nota bene bermukim di beranda “Peten Ina”. Direktur Social Development Center Thomas Koten menyebut, tata laku politikus (wakil rakyat) seperti ini memancarkan sebuah kesimpulan bahwa tabiat mereka lekat dengan katastrofe kemanusiaan. Nilai-nilai agung kemanusiaan yang melekat pada dirinya sebagai makhluk beradab runtuh (Sinar Harapan, 4 Juni 2012).

Karena itu, keluhan camat pantas lahir. Keluhan itu lahir tak hanya untuk Pemkab Lembata dan dan jajarannya selaku pemegang otoritas kekuasaan di wilayahnya. Keluhan tersebut tidak langsung menjadi tamparan atas peran DPRD secara kelembagaan dan para anggota legislatif selaku pemegang mandat rakyat. Mengapa? Para politikus “Peten Ina” mestinya berpaling dan ikut memikirkan jalan keluar yang tengah membelit masyarakat.

Pengajar Ilmu Politik Universitas Paramadina Djayadi Hanan menilai, kadang politikus yang mengemban tugas sebagai wakil rakyat hanya memikirkan diri sendiri, egois.

Para politikus tak peduli rakyat. Padahal, mereka adalah orang-orang terseleksi. Mereka memiliki komitmen mengabdi, bukan mencari penghidupan. Mereka juga memiliki keterampilan yang cukup untuk membuat kebijakan yang menguntungkan rakyat (Republika, 15 Mei 2012).

Fungsi DPRD

Menjelang pelantikan 25 anggota DPRD Lembata periode 2009-2014 pada 1 September 2009, penulis sempat menguraikan sekilas tugas dan fungsi wakil rakyat. Pertama, fungsi legislasi yaitu kewenangan penyusunan peraturan daerah, yaitu menginisiasi lahirnya rancangan peraturan daerah (Ranperda) dan juga membahas dan menyetujui/menolak Ranperda yang diusulkan eksekutif.

Kedua, fungsi anggaran (budgeting), yaitu menyusun dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ketiga, fungsi pengawasan (controlling) yaitu melakukan pengawasan terhadap implementasi perda dan peraturan lainnya, pengawasan pelaksanaan APBD, mengawasi kebijakan dan kinerja pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan daerah (Pos Kupang, 31 Agustus 2009).

Sepintas, tugas wakil wakil rakyat jelas. Namun, mengapa mereka kurang peka terhadap tugas pokoknya? Analis politik UI kelahiran Manggarai, Boni Hargens, menyebut beberapa alasan. Pertama, ada tendensi wakil rakyat memandang jabatannya sebagai sesuatu yang istimewa sehingga ia harus menjadi manusia istimewa atau (istilah Iwan Fals) “manusia setengah dewa”.

Kedua, para wakil rakyat sebenarnya bingung dengan tugas dan peran yang harus dijalankan. Si wakil rakyat tidak jelas mengerti apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan.

Ketiga, lemahnya ikatan emosional antara wakil dan yang terwakil. Perubahan sistem pemilihan, dari proporsional ke proporsional-terbuka, yang diatur UU No. 12 Tahun 2003 dimaksudkan untuk menjamin kedekatan emosional antara wakil dan yang terwakil dengan asumsi rakyat mengenal wakilnya.

Kenyataannya, kedekatan emosional tak terbangun karena yang maju ke gelanggang kontestasi pemilu adalah figur-figur yang memiliki uang dan jaringan sehingga rakyat mudah dimobilisasi untuk datang ke tempat pemungutan suara meski nuraninya mungkin tidak menginginkan si calon.

Proaktif

Persoalan yang dihadapi 45 keluarga di Lusikawak (barangkali) merupakan sebuah masalah sederhana jika Pemkab dan DPRD Lembata mau proaktif menyelesaikannya. Begitu juga persoalan-persoalan masyarakat lainnya sepert Ur Mitem dan di seluruh wilayah di Lembata.

Misalnya, sengketa tapal batas antara warga Uruor dan Puor yang sempat mencuat beberapa waktu lalu. Pun protes pemilik tanah di Bandara Wunopito yang kini belum tuntas diberikan ganti rugi. Dalam konteks ini, sesungguhnya pemerintah sedang diingatkan tentang bom waktu konflik pertanahan yang sekali-kali bisa meletus jika tidak dikelola dengan cerdas.

Kita tentu ingat kasus Mesuji di Lampung, kasus Sape di Nusa Tenggara Barat maupun kasus di Deli Serdang, Sumatera Utara. Kasus tersebut telah memompa semangat komunal warga berseberangan dengan pelaku bisnis gara-gara urusan tanah tidak jelas atau dicaplok begitu saja tanpa ganti rugi.

Dalam konteks Lusikawak, misalnya, siapa pun tentu tidak ingin persoalan itu berlarut-larut karena akan mengganggu jalannya pembangunan. Pemkab dan DPRD Lembata beserta semua pemangku kepentingan, terutama Camat Nubatukan dan perangkat di bawahnya, perlu segera duduk bersama melakukan pendekatan, terutama masyarakat yang merasa dirugikan untuk ikut mencari jalan tengah penyelesaiannya.

Hal ini penting dan diperlukan sebagai bukti kehadiran negara (pemerintah) di tengah masyarakat agar mendapat legitimasi. Sedangkan bagi DPRD, duduk bersama ini sekaligus menegaskan posisinya menjalankan politik bermartabat dan tetap menjadikan rakyat kiblat pengabdian.

Politik bermartabat, meminjam F. Budi Hardiman (Kompas, 15 Oktober 2010), mengubah rakyat dari sekadar ”hidup belaka” (bare life) menjadi ”hidup yang baik” (good life). Martabat politik sang pemimpin memancar dari keberanian, komitmen, dan konsistensinya dalam menggerakkan suatu kelompok menjadi suatu bangsa yang berdaulat.
Sumber: Flores Pos, 25 Juli 2012
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger