Headlines News :
Home » » Jejak Terjal Pekerja Sosial di Tanah Papua

Jejak Terjal Pekerja Sosial di Tanah Papua

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, August 30, 2012 | 8:04 PM


  Oleh Ansel Deri
Orang Kampung asal Lembata, NTT;
Pernah bertugas di Jayapura & Timika

TUGAS seorang pastor tak sebatas kotbah di mimbar atau pelayanan pastoral lainnya. Justru lebih dari itu. Sebagai gembala umat, ia dituntut berada dan ikut merasakan perjuangan bahkan penderitaan umatnya. Misalnya di Tanah Papua. Maklum. Medan pelayanan pulau paling timur Indonesia itu selalu didera berbagai persoalan sosial kemasyarakatan. 

Juga terkait ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Situasi tak menggembirakan yang terjadi belakangan seperti penembakan misterius, bentrok antarwarga, bahkan perang tanding sejumlah kelompok kecil warga, misalnya, menuntut perhatian ekstra tak hanya pemerintah dan masyarakat luas tetapi juga lembaga-lembaga keagamaan melalui para pemimpinnya.

Sebagai imam diosesan Keuskupan Jayapura, Papua, Pater Johanes Djonga Pr, menyadari posisinya tak hanya sebagai gembala umat dalam pelayanan pastoral. Namun, ia dituntut memberikan advokasi kepada masyarakat yang mengalami intimidasi, teror, penindasan, dan bahkan pembunuhan. Dia getol menentang ketidakadilan dan tindakan sewenang-wenang aparat keamanan.

Pieter Sambut, dalam Melawan Penindasan & Diskriminasi di Papua (2012) yang merupakan biografi Pater John mengetengahkan, imam kelahiran Nunur, Manggarai Timur, Flores (Pulau Bunga), Nusa Tenggara Timur, itu aktif melakukan advokasi terhadap perempuan. 

Sambut mengisahkan, Pater John juga ingin meningkatkan harkat dan martabat perempuan yang sering menjadi korban dominasi pria dan adat istiadat yang tidak suportif. Meski demikian, karya kemanusiaan yang diemban bukan tanpa resiko. Imam ini malah sangat dibenci pihak-pihak terkait, terutama aparat. 

Karya kemanusiaan John Jonga itu justru dibalas dengan teror, intimidasi bahkan ancaman pembunuhan. Toh, ia tidak gentar bahkan surut langkah memperjuangkan hak-hak rakyat Papua, termasuk umatnya sendiri. Dia malah berdiri di garda terdepan menyuarakan suara ‘kaum tak bersuara’ atau voice of voiceless

Tipikal gembala seperti Pastor John, juga dengan mudah dilihat dari sosok seorang Socratez Sofyan Yoman. Gembala umat yang sehari-hari menjabat Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, ini juga meroket namanya di Papua dan Indonesia bahkan dunia internasional. Selain memberikan pelayanan rohani bagi jemaatnya, juga dikenal “kepala batu” bila menyaksikan umatnya mengalami penindasan dan diskriminasi. 

Kotbahnya pun tak hanya di mimbar. Ia mewartakan Sabda Tuhan melalui buku-buku: tradisi intelektual yang mulai dilakukan sejumlah pelayan Sabda lainnya di Tanah Papua. Sekadar menyebut beberapa buku di antaranya Suara Gereja Bagi Umat Tertindas, Suara Bagi Kaum Tak Bersuara, Otonomi, Pemekaran, dan Merdeka/OPM, Integrasi Belum Selesai, Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri, Gereja dan Politik di Papua Barat,West Papua: Persoalan Internasional, dan (yang akan terbit) Suara Gereja di Tengah Kejahatan Kemanusiaan

Namanya kian bersinar seterang gembala lainnya kelahiran Papua seperti Ketua Sinode Gereja Kemah Injil Papua (Kingmi) Pdt Dr Benny Giyai, Ph.D atau Ketua Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Fajar Timur Pastor Dr Neles Kebadabi Tebay Pr. 

Pengalaman teror dan intimidasi seorang John Jonga pertama dihadapi usai ditahbiskan tahun 2001 dan ditugaskan sebagai Pastor Paroki St Michael Waris, Dekanat Keerom, Keuskupan Jayapura. Wilayah paroki ini berbatasan langsung dengan negara tetangga, Papua New Guinea. 

Saat itu umatnya ketakutan dengan banyaknya pos dan pasukan tentara di wilayah perbatasan. Kehadiran aparat bersenjata lengkap meresahkan masyarakat. Banyak warga yang juga umatnya diintimidasi, diteror bahkan dibunuh dengan tuduhan OPM tanpa bukti. 

Pater John tak terima. Tugas aparat seharusnya mengayomi rakyat, bukan menindas dan memperkosa mereka. Pengalaman ini dilaporkan langsung kepada Gubernur Barnabas Suebu saat turun kampung (turkam) di Workwana, Distrik Arso, Kabupaten Keerom, pada 23-24 Juli 2007. 

Laporan kepada Gubernur Bas disampaikan atas desakan warga dan kepala suku Distrik Waris, Yetti Kriku, Wembi, Arso, Senggi, dan Web, yang merasa terancam keselamatannya dengan kehadiran aparat. Maksudnya, agar gubernur bisa meminta tindakan teror dan intimidasi dihentikan. “Saya malah diancam untuk dibunuh dan dikuburkan dalam tanah sedalam 700 meter,” kata Pastor John

Penulis buku ini merekam berbagai tindakan penindasan dan diskriminasi yang terjadi baik terhadap warga masyarakat dan pengelolaan serta penguasaan sumber daya alam. Rekaman itu diperoleh dari testimoni Pater John selama 26 tahun baik sebagai katekis dan imam sekaligus pembela HAM di Papua. 

Pasalnya, tanah Papua yang kaya sumber daya alam menyajikan fakta memilukan. Pada 2005, misalnya, penduduk miskinnya mencapai 80 persen. Kemiskinan telanjang. Dalam Dari Kampung ke Kampung (2009), tim wartawan Suara Perempuan Papua juga pernah merekam jelas kemiskinan dan ketertinggalan setiap kabupaten/kota.

Di Arso, keterisolasian, kemiskinan, keterbelakangan, kondisi kesehatan dan pendidikan memprihatinkan. Masyarakat hidup dalam kondisi tertekan, teror, intimidasi, dan kondisi keamanan yang kurang kondusif. Situasi ini identik dengan kehidupan masyarakat. Pengalaman teror dan intimidasi juga dialami Pater John saat bertugas di Keuskupan Timika tahun 1985. 

Sebanyak enam tokoh adat Amungme berusaha mempertahankan tanah ulayat miliknya. Tapi, para tokoh adat itu malah dituding anggota OPM dan penghambat pembangunan. Setelah diancam ditangkap dan dibunuh, mereka dipaksa menandatangani surat pembebasan tanah adat untuk pembangunan Kompleks Timika Indah, Hotel Sheraton Inn, dan infrastruktur jalan tanpa ganti rugi.

Di bawah pimpinan Kelly Kwalik dan Kamangki Kemong, warga melakukan protes terhadap PT Freeport dan pemerintah. Dua pihak ini dianggap memiskinkan mereka sebagai pemilik sah atas tanah dan isinya. Aparat keamanan yang difasilitasi Freeport menembak warga membabi buta. Belasan orang tewas dan luka-luka.

Sebagasi pastor ia menghadapi realitas pahit umatnya yang termarginal dan hidup dalam penderitaan karena intimidasi, teror, penindasan dan bahkan pembunuhan oleh aparat keamanan yang ditugaskan pemerintah untuk membela Freeport. Ia pun turun ke jalan melakukan aksi demo bersama warga.

Perjuangan panjang ini mendapat perhatian pekerja HAM. Pada 10 Desember 2009, ia menerima Yap Thiam Hien Award. Pada 1999, rekannya sesama pembela HAM asli Papua Mama Yosefa Alomang juga menerima penghargaan serupa. Sosok Pater John di mata Mama Yosefa seperti anak kandung merasa terindas dan ikut memperjuangkan hak-hak ulayat leluhurnya. 

“Melanggar HAM kalau sungai dicemari oleh limbah Freeport, hutan kami dibabat, tanah kami dicaplok dan semua kekayaan alam kami dirampas hanya untuk kepentingan Jakarta,” ujar Mama Yosefa.

Menurut peneliti senior LIPI Muridan Widjojo dalam pengantarnya, buku ini menyuguhkan pelajaran hidup. John adalah Pater ‘ipoleksosbudhankam’ bagi masyarakat. Ia mengurus semua aspek masyarakat mulai dari ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya hingga pertahanan dan keamanan. Ia juga amber (pendatang) teladan dan unik bagi amber lainnya dan semua orang asli Papua yang mengenalnya. 

Buku ini memberi pelajaran berharga. Hidup adalah suatu panggilan untuk saling menolong satu sama lain dalam rangka terwujudnya solidaritas yang kuat dalam masyarakat. Dengan demikian tercipta perdamaian dan kerukunan di tengah masyarakat, sebuah bentuk kehidupan bersama yang menjadi dambaan setiap orang.

Menurut anggota DPR asal Papua Paskalis Kossay, Pater John telah memainkan peran di atas panggung kehidupan sebagai gembala umat sekaligus pejuang HAM yang ulet dan konsisten. Sebagai gembala umat dia telah menjadikan altar imam sebagai altar umat. 

Ia tidak saja berdiri di mimbar gereja, tetapi turut merasakan denyut kehidupan umatnya yang tertindas dan menderita. Poengky Indarti dari Imparsial menambahkan, semangat Pater John akan mengilhami kawan-kawan muda di tanah air, khususnya di Papua untuk tidak kenal lelah terus memperjuangkan HAM dan keadilan di negeri ini. 

Judul Buku            : Melawan Penindasan & Diskriminasi di Papua
Penulis : Pieter Sambut
Pengantar : Muridan S Widjojo
Kata Sambutan         : Paskalis Kossay
Penerbit : Yayasan Teratai Papua, Juni 2012
Tebal : 254
Harga : -
Sumber: Papua Pos, 25 Agustus 2012
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger