Headlines News :
Home » » Membaca Pertemuan Lewolein

Membaca Pertemuan Lewolein

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, August 30, 2012 | 8:32 AM

Oleh Ansel Deri
Orang Kampung asal Lembata;
tinggal di Halim Perdana Kusuma, Jakarta

LUKAS Onek Narek, seorang aktivis LSM dan politisi di Lewoleba, kota Kabupaten Lembata, NTT, menulis info kecil namun menarik. Dalam group: Ini Baru Lembata jejaring sosial Facebook (Fb) yang di-posting Sabtu, 15 Juli 2012, Lukas mengabarkan kehadiran Gubernur Frans Lebu Raya dalam pertemuan dengan ribuan petani dan nelayan serta undangan di Desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan, Lembata, pada Jumat,  14 Juli 2012.

Kehadiran Gubernur untuk membuka pelaksanaan Musyawarah Besar (Mubes) VI Petani dan Nelayan Flores dan Kepulauan Tahun 2012, persis di teluk Lewolein, Dikesare. Mubes selama tiga hari tersebut menyedot lebih dari 212 peserta yang terdiri dari petani dan nelayan. Mereka berasal dari Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, Nagekeo, Ende, Sikka, Flores Timur, dan Lembata selaku tuan rumah yang menyetor 120 orang peserta.

Selain didamping Ibu Lucia Adinda Lebu Raya, dalam pertemuan tersebut hadir pula Sony Keraf dan Ibu, Bupati Lembata, dan Wakil Bupati Lembata, Anggota DPRD Kabupatern Lembata serta Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Lembata, Kepala Badan Ketahanan Pangan Provinsi Alex Sena, Kepala Dinas Sosial Provinsi Petrus Manuk, Kepala Biro Kesra Setda NTT Andreas Kia Nuhan dan tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama serta ribuan masyarakat Lembata dalam mendukung ketahanan pangan serta kampaye komsumsi pangan lokal hasil keringat sendiri (www.suarapembaruan.com, 14 Juli 2012).

Politis?

Ada yang menarik dalam kunjungan Gubernur dalam Mubes Lewolein. Dalam pertemuan yang dihadiri ribuan undangan, hadir juga Sony Keraf. Meski tak mewakili partai politik atau lembaga/organisasi manapun, tentu panitia dan peserta sepakat. Namun, suka tidak suka, dapat pula dibaca secara politis. Kehadiran Sony bisa saja dilihat sebagai bentuk dukungan kepada Frans Lebu Raya, calon petahana pilkada NTT 2013 dari PDI-P.

Di lain sisi, dapat pula dibaca sebagai salah satu cara sederhana Sony menyapa masyarakat (konstituen) di Daerah Pemilihan NTT 1 sebelum bertarung menuju kursi DPR pada Pemilihan Legislatif 2014 (jika ia mencalonkan diri). Tapi, lepas dari itu Sony tentu hanya undangan biasa. Seperti diketahui, Sony pernah jadi pembantu Presiden di pos Kementerian Lingkungan Hidup dan belakangan masih tercatat sebagai politisi PDI-P yang ngepos di kantor pusat.

Mungkin itulah tak berlebihan bila saat pertemuan, Sony (yang lahir dari kampung nelayan Lamalera) disebut (dipuji?) Gubernur Lebu Raya bisa jadi menteri karena dulu makan jagung karena nasi sulit didapat. Benar. Kebutuhan makanan sehari-hari nelayan Lamalera saat itu tergantung juga dari jagung dan padi milik petani Imulolong, Puor, Boto, Atawai, dan desa-desa di kaki Gunung Labalekan. Nah, apa urgensinya Sony Keraf hadir dalam Mubes, tentu panitia lebih tahu.

Selain itu, Gubernur juga menyertakan Kepala Badan Ketahanan Pangan Provinsi Alex Sena, Kepala Dinas Sosial Provinsi Petrus Manuk, dan Kepala Biro Kesra Setda NTT Andreas Kia Nuhan. Ketiga pejabat tersebut tentu melihat bagaimana kondisi pangan petani dan nelayan, kondisi sosial-ekonomi hingga tingkat kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan sehingga dapat diambil langkah-langkah strategis membantu mereka.

Pada saat bersamaan, menurut Onek Narek, terbetik keinginan Gubernur melanjutkan Program Desa Mandiri Anggur Merah (DeMAM). Sekadar tahu. DeMAM tak lain adalah program pasangan Frans Lebu Raya dan Esthon Foenay (Fren) saat maju menjadi calon Gubernur-Wakil Gubernur tahun 2009. Karena itu, ada keinginan dilanjutkan ke Fren Jilid 2.

Dalam pertemuan Lewolein, Gubernur menyerahkan uang untuk lima koperasi dan tujuh kelompok nelayan. Masing-masing menerima antara Rp. 20-100 juta dari jumlah Rp. 544.395.000. Sedangkan kontribusi untuk panitia Mubes Rp. 150.000.000 sehingga totalnya Rp. 694.395.000.

Ada pertanyaan retoris. Pertama, mengapa anggaran DeMAM yang melimpa ruah itu tidak diberikan merata kepada petani dan nelayan di kampung-kampung atau desa-desa sejak awal program itu digulirkan sebagai salah satu bukti penghargaan telah memilih gubernur menuju tampuk kekuasaan?

Kedua, apakah gubernur tidak tahu kondisi riil kelompok-kelompok petani dan nelayan peserta Mubes (juga petani-petani lain di NTT) berikut persoalan yang melilit mereka? Selama lima tahun menjadi gubernur, apa tanda terima kasih kepada masyarakat? Ketiga, apa saja tanggungjawab gubernur terhadap kondisi petani dan nelayan yang sebagian besar belum mendapat perhatian serius (selain bupati/walikota di era otonomi)?

Jalan di sebagian perkampungan dan desa di Lembata, misalnya, kondisinya sangat memprihatinkan. Maaf, kalau lebih tepat disebut layaknya kubangan kerbau (sekalipun di Lembata jarang ada kerbau). Ini belum lagi di perkampungan atau desa-desa lain di pedalaman NTT. Aneh. Di Lembata, misalnya, jalan dari Boto menuju Desa Atawai belum pernah diaspal sejak Indonesia merdeka.

Padahal, jalan tersebut menghubungkan dua desa penghasil komoditi yang potensial. Uniknya, Desa Atawai yang berada di sisi rimba tersebut mampu secara mandiri menghasilkan anak kampungnya hingga strata pendidikan master dan doktor (S-2 dan S-3). Desa-desa ini pun komit mengantar duet Frans Lebu Raya-Esthon Foenay menjadi gubernur dan wakil gubernur tahun 2009 (Fren Jilid 1).

Jika saja kondisi jalan tak serius diperhatikan, misalnya, maka masyarakat perlu mempertimbangkan pilihannya pada sosok calon pemimpin dalam pilkada/pileg mendatang. Sekurang-kurangnya, mempertimbangkan calon pemimpin yang tak gemar obral janji atau selalu alpa berterima kasih kepada masyarakat setelah jabatan diraih.

Kekuasaan dan Uang

Dalam bukunya, Demokrasi Pilihan Aku (2009), analis politik Universitas Nasional Alfan Alfian mengemukakan, politik (kekuasaan) dan uang adalah dua hal yang tidak bisa dilepaskan. Dalam pemilihan umum modern, di mana sirkulasi elit politik ditentukan, legitimasi rakyat diperebutkan, “uang” (atau apapun variasinya) menempati posisi yang tak bisa disepelekan. Hanya mengandalkan ideologi dan kharisma semata, kerap tidak cukup.

Pembagian uang kepada kelompok-kelompok petani dan nelayan dalam Mubes Lewolein tentu tidak dilihat dalam konteks pilkada NTT 2013. Meski banyak pula yang melihatnya dalam konteks politik merujuk ajakan master of ceremony (MC) kepada petani dan nelayan agar segera membentuk kelompok-kelompok untuk mendapat bantuan uang dari gubernur.

Tentu “kedermawanan” Gubernur Lebu Raya juga tidak serta merta dikaitkan dengan kandidasi menjelang pilkada 2013 (sekalipun bisa dibaca sebaliknya). Kata Ketua Panitia Vian Burin di group: Ini Lembata Baru jejaring sosial Fb, gubernur hadir atas undangan panitia. Tidak ada rekayasa politik atau mempolitisasi kehadiran gubernur dengan pilgub yang akan datang. Vian benar. Idealnya, hajatan kelompok petani dan nelayan dalam Mubes tidak boleh baku tabrak dengan politik sekalipun ada warga Lembata, misalnya, punya persepsi lain. Soal bantuan itu merupakan hak kelompok tani dan nelayan karena mereka sudah lama mengajukan proposal. Jadi, tidak ada kepentingan Fren Jilid 2.

“Kedermawanan” seperti itu kerap pula diperlukan dari seorang gubernur guna memacu rakyatnya. Tanpa dibumbuhi embel-embel lain, tentunya. Karena itu sudah menjadi kewajibannya selaku pemimpin yang lahir dari rahim rakyat. Dalam Asal Omong (2012), Edu Dosi menegaskan, gubernur NTT yang rakyat butuhkan adalah gubernur yang memiliki hati untuk NTT. Tak syak lagi seorang gubernur yang diharapkan rakyat NTT adalah gubernur yang memperhatikan kepentingan rakyatnya, berprakarsa memanusiakan manusia NTT dan membuka dirinya bagi rakyat NTT.

Meski pertemuan Lewolein jauh dari urusan politik, peringatan M. Sobary relavan dilihat terutama menjelang pilkada NTT 2013. Dalam artikel opini, “Mencari Gubernur Sungguhan” (Seputar Indonesia, 9 Juli 2012), budayawan ini mengingatkan agar jangan lupa, kita ingin memilih gubernur beneran. Gubernur yang memikirkan rakyatnya dengan sikap politik yang jelas: gubernur itu abdi rakyat, mengabdi pada konstitusi dan segenap aturan yang berlaku.

Gubernur tak boleh mengabaikan rakyatnya. Peduli, dan sok murah hati, sok ramah-tamah, sok “care” terhadap rakyat, hanya di masa kampanye, itu sikap politik yang penuh kebohongan. Meski peringatan ini dalam konteks pilkada DKI, toh ada sedikit pelajaran bagi rakyat di kampung-kampung maupun desa-desa di NTT yang tengah bersiap menghadapi pilkada 2013.
Sumber: Pos Kupang, 30 Agustus 2012
SEBARKAN ARTIKEL INI :

2 comments:

  1. Kaka,coba bayangkan nanti sprt apa jadinya Fren Jilid 2 klw skrg sdh diawali dgn money politic ky gt..Prediksi sy NTT akan sprt Lembata saat ini, Executif di tgn Cina, Legisltf jg di tgn Cina (NB;Mereka identik dgn Org Berduit)..sdh kaya,Lembata ngasi gaji,ngasi tunjangan ini itu,hangout sj dibayarin dgn uang rakyt Lembata..knp kemudahan itu tdk dikasi untk sodara2 misalny yg jd guru honor di Atawuwur ke di Lemanu sana,dsb..BUKANKAH INI AKIBAT DR UANG YG BERKUASA DI LEMBATA WKT ITU(WKT SUKSESI LEMBATA I)..Makasih Kaka.,Salam dr Lembata

    ReplyDelete
  2. Ama, saya heran pola-pola pendekatan pembangunan dalam bentuk paling kecil dengan bagi-bagi program kecil itu mengibuli masyarakat. Dalam konteks Mubes Lewolein, saya mau ingatkan saja bahwa Gubernur Lebu Raya sedang berlagak seperti Sinterklas yang bagi-bagi hadia menjelang Natal. Masyarakat kita nampaknya kurang jeli melihat ini sebagai bentuk pelecehan politik pembangunan. Mereka tidak tahu 50 bulan lebih berada dalam balutan ketertinggalan, terutama fisik pembangunan. Nah, apa perlu mempertahakan pemimpin dengan gaya seterti Sinterklas? Terpulang kepada masyarakat, tetapi ini hanya bentuk kecil mengingatkan mereka mewaspadahi pemimpin yang gemar obral bantuan insidental seperti ini.

    ReplyDelete

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger