Headlines News :
Home » » Setahun Lembata Baru

Setahun Lembata Baru

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, August 24, 2012 | 7:23 PM

Oleh Ansel Deri
Orang Kampung asal Lembata;
Tinggal di Halim Perdana Kusuma Jakarta

PADA Sabtu, 25 Agustus 2012, kepemimpinan Bupati Lembata Eliaser Yentjie Sunur dan wakilnya, Viktor Mado Watun genap setahun. Keduanya resmi dilantik Gubernur Frans Lebu Raya atas nama Mendagri Gamawan Fauzi di Lewoleba, Kamis, 25 Agustus 2011. Mereka memimpin Lembata hingga 2016. Tentu belum saatnya mengevaluasi perjalanan kepemimpinan “Lembata Baru” karena masih balita. Namun, kepemimpinannya penting direfleksikan dan didiskusikan guna ikut mencari strategi lainnya memajukan Lembata. Termasuk melihat sejauh mana program seratus hari pertama yang sudah berjalan sejak dilantik.

Mengapa diskusi itu penting karena yang mencolok dan menjadi rahasia publik Lembata yakni keretakan hubungan bupati/wakil bupati. Juga informasi perjalanan dinas bupati yang sudah menelan biaya Rp. 3-5 miliar memasuki satu tahun jabatannya. Perjalanan dengan angka yang terbilang besar seperti itu sah-sah saja. Bisa dimaklumi karena jabatan yang melekat. Pun tak ada klausul dalam regulasi yang membatasi intensitas perjalanan dinas bupati keluar daerah. Begitu pula berhasil atau tidaknya perjalanan dinas tersebut, itu soal berbeda.

Di lain pihak, bupati sepertinya alpa melangkah bersama wakilnya. Berbagai keluhan masyarakat lebih disampaikan kepada wakil karena dalam sebulan bupati lebih banyak di luar daerah dengan alasan dinas. Sejumlah anggota birokrat pun tahu sekalipun ogah bicara. Bahkan bisik-bisik di segelintir anggota DPRD, ada oknum DPRD tanpa malu-malu berperan seperti staf ahli bahkan asisten pribadi. Kemana-mana selalu berada di samping bupati. Hal-hal kecil dilakukan sejumlah oknum anggota DPRD dengan dalil konsultasi namun di balik itu hanya bertujuan menambah uang saku.

Masyarakat di pedalaman malah dijanjikan bupati untuk bangun ini itu, ternyata selalu teriak tentang persoalan yang dihadapi namun tak pernah didengar. Kita lihat salah satu keluhan masyarakat berikut. “Mat siang, ama. Saya mau sampaikan penyesalan. Pak Bupati turba ke desa-desa beliau janji masyarakat untuk aspal jalan mulai Mei 2012. Ternyata tidak jadi, katanya dana tidak ada. Kami sangat kecewa.” Itu bunyi pesan singkat yang masuk ke telepon selular saya belum lama ini.

Pesan Manahan

Ada hal yang aneh menyaksikan gelagat kepemimpinan seperti itu. Juga melahirkan kekhawatiran kepemimpinan politik tidak didedikasikan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Kekuasaan dan jabatan masih sekadar alat mendulang fulus daripada pemahaman atas esensi jabatan sebagai pemimpin rakyat. Fatsun dan kesantunan kekuasaan (politik) bergeser seratus delapan puluh derajat. Peran komunikasi menjadi tali pengikat dengan rakyat untuk mendengar suka-duka, susah-senang luntur seketika. Padahal, komunikasi memainkan peranan penting dalam efektivitas kepemimpinan. Seorang pemimpin tidak hanya bisa bicara atau minta didengar orang lain, tetapi juga bisa mendengar suara rakyat.

Peringatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi sinyal bagi pelaksanaan tugas para pemimpin/pejabat pemerintahan. Kepala Negara meminta dan mengingatkan pejabat mulai dari menteri, gubernur hingga bupati dan wali kota agar di samping menjalankan kegiatan politik, jangan meninggalkan tugas pemerintahan. Permintaan disampaikan di hadapan 34 ribu lebih kader GP Anshor dan Nahdlatul Ulama (NU) pada puncak peringatan hari lahir ormas kepemudaan di Stadion Manahan, Solo, Senin, 16 Juli 2012. Kata Presiden, para pejabat harus menjalankan sumpah jabatan, yaitu menomorsatukan tugas dan kewajiban melayani rakyat. Pesan Mahahan masih relevan di tengah menurunnya kualitas pelayanan pejabat publik.

Masalah Lama

Saya sempat meliput acara penandatangan nota kesepahaman (MoU) untuk Fajar Bali, Denpasar. MoU antara Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-jakti (kala itu), Pemprov NTT, dan International Labour Organization berlangsung di Auditorium Departemen Keuangan, Lapangan Banteng, Jakarta. MoU terkait pelaksanaan kegiatan percontohan pengembangan infrastruktur pedesaan terintegrasi.

Dalam laporan tertulis dibeberkan potensi dan problematika pembangunan infrastruktur dan potensi Lembata. Problem kabupaten/pulau seluas 126.638 hekter dan berpenduduk tidak kurang dari 116.000 jiwa tersebut, secara umum yaitu kondisi jalan yang buruk. Tak kurang dari 85% masuk kategori rusak dan rusak parah. Jalan bergelombang dan berlubang besar tertutup debu. Aspal tipis pelapis jalan yang telah hancur berkeping-keping menjadi saksi bisu manipulasi pembangunan jalan. Jalan raya yang hanya selebar 4 meter kondisinya mirip “sungai kering”.

Anehnya, memasuki usia 13 tahun otonomi pada 15 Oktober 2012, wajah buram itu masih terlihat. Setiap berganti rezim, bupati minim strategi memajukan daerahnya. Masalah-masalah lama tersebut masih membelit sebagian besar wilayah Lembata. Bupati lebih sering keluar daerah seperti turis. Masyarakat ditinggalkan berkubang dengan persoalannya. Perencanaan pembangunan juga serampangan, asal jadi.

Sri Palupi dalam www.ecosocrights.blogspot.com, mencatat, ada yang aneh tapi nyata. Pertama, Lembata memiliki satu bupati dengan tiga kantor bupati. Selain kantor pertama yang berdiri sejak 1960-an, dua kantor lain dibangun dengan anggaran miliaran rupiah. Satu di antaranya ditelantarkan karena terindikasi korupsi dan satu lagi masih diteruskan dan sudah menghabiskan miliaran rupiah. Bersamaan itu pula dibangun juga gedung DPRD yang menghabiskan biaya sedikitnya Rp. 2,3 miliar. Padahal, kantor DPRD lama pun masih berdiri megah di samping kantor bupati peninggalan tahun 1960-an.

Kedua, banyak gedung dibangun dan kemudian ditelantarkan. Misalnya, rumah dinas ketua dan para wakil ketua DPRD yang kosong dan terlantar; rumah dinas bupati yang kini jadi tempat merumput ternak kambing; tempat pelelangan ikan yang kini mulai rusak; pabrik es; kantor kecamatan, dll. Pemkab Lembata telah menghabiskan miliaran rupiah untuk mendirikan seluruh bangunan baru yang kini dibiarkan terlantar itu. Padahal, sekali lagi, Lembata tergolong kabupaten miskin.

Ketiga, banyak dinas pemerintah belum memiliki kantor. Keanehan ketiga ini terkait dengan keanehan pertama dan kedua. Ketika bupati dan DPRD tengah membangun kantor baru dan di saat banyak bangunan-bangunan baru ditelantarkan, hampir 50 persen dinas di belum memiliki kantor sendiri. Mereka masih menyewa rumah-rumah warga untuk dijadikan kantor.

Persoalan-persoalan yang tertinggal pemimpin terdahulu seperti di atas mesti juga ikut diselesaikan segera. Pada 25 Agustus 2012 Lembata Baru genap berusia setahun. Pada 13 Oktober 2012, Lembata juga memasuki 13 tahun otonomi. Dua momentum itu menjadi kesempatan refleksi para pemimpin serta pelayan masyarakat lainnya bersama masyarakat melanjutkan pengabdian untuk Lembata yang lebih baik. Bupati dan wakil harus kembali ke visi dan misi awalnya menjadi pemimpin tanah lepanbatan membawa masyarakat lebih sejahtera. Para pemimpin, seperti diingatkan presiden, mesti menjalankan sumpah jabatan, yaitu menomorsatukan tugas dan kewajiban melayani rakyat.

Masyarakat juga mesti mengawal sekaligus mengawasi pemimpinnya (termasuk DPRD) agar tidak bermental saudagar yang punya kalkulasi untung-rugi. Saudagar punya watak dasar mengejar keuntungan secepat kilat namun dengan modal seupil. Mereka adalah “binatang ekonomi” atau homo economicus.
Sumber: Flores Pos, 24 Agustus 2012
SEBARKAN ARTIKEL INI :

2 comments:

  1. Profisiat ama.. atas sumbangan idemu demi kemajuan Lewo Tanah tercinta.. harap para pejabat kita membaca tulisan ama.. dan berusaha membenah diri... Salam dari tanah Misi...

    ReplyDelete
  2. Terima kasih, tuan. Kita semua berdoa dan berusaha dengan cara kita masing-masing ikut membangun kampung kita, lepanbatan. Semoga kita semua, masyarakat dan anak kampung ini lebih mencintainya.

    ReplyDelete

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger