Dosen Universitas
Malikussaleh, Lhokseumawe
UNTUK memahami
gerakan teroris yang terjadi akhir akhir ini di Surakarta dan Jakarta, kita
harus menilik beberapa kejadian teror yang melibatkan kalangan radikal dan
fundamentalis Islam sejak 1999.
Gerakan Jamaah
Islamiyah (JI), yang pada awalnya Darul Islam (DI) atau Negara Islam Indonesia
(NII), membuat sebuah doktrin gerakan yang disebut dengan `Doktrin Hambali'.
Doktrin tersebut memerintahkan serangan pada Syawal terhadap orang-orang atau
lembaga yang dianggap sebagai hegemoni bukan muslim. Jika Hari Raya Idul Fitri
secara kebetulan berdekatan dengan 17 Agustus, serangan akan ditujukan kepada
aparat atau orang-orang yang dianggap sebagai wakil dari momen nasional. Maka,
polisi pun diserang pada 17, 18, dan 19 Agustus 2012 di Surakarta, Jawa Tengah.
Doktrin itu mulai dipraktikkan sejak 2000 dengan menyerang simbol-simbol dan
lembaga yang diwakili simbol yang bukan muslim. Pada 2000, perayaan Idul Fitri
kebetulan berdekatan dengan Hari Natal dan serangan dilakukan ke gereja di 17
kota pada malam Natal.
Teroris dengan
muatan target lokal tidak meninggalkan target tradisional mereka, yaitu Amerika
Serikat dan sekutu Baratnya. Serangan 11 September 2001, dan pengeboman di
Casablanca, Istanbul, Riyadh, Madrid, London, Mumbai, dan tempat lain telah
meningkatkan kekhawatiran tentang ancaman teroris dan panggilan baru untuk
lebih memahami akar atau penyebab terorisme.
Secara historis,
ada pandangan berbeda tentang pertanyaan tersebut dan terorisme telah
dinyatakan disebabkan peningkatan populasi, peningkatan kemiskinan, urbanisasi
yang cepat, penurunan otoritas globalisasi, tradisional, dll. Terorisme
menunjukkan adanya perspektif yang berbeda, yang mencerminkan filsafat, agama,
politik, dan perbedaan lainnya, tidak hanya akademik, karena mereka dapat
memengaruhi pemahaman kita baik tentang ancaman maupun tanggapan terhadap
terorisme.
Penciptaan Dukungan
Membicarakan
fenomena terorisme terlalu kompleks dan beragam penyebab. Setiap manifestasi
dari terorisme harus dipahami dalam konteks dan kondisi yang mendasari, faktor
yang berkontribusi terhadap risiko terorisme dan bahkan mung kin penyebab
munculnya tindakan tertentu. Terkait dengan penyebab (nyata dan dirasakan)
kasus terorisme, salah mengatasi penyebab bisa menjadi kontraproduktif. Respons
terhadap munculnya ancaman akan terpengaruh oleh paham penyebab terorisme,
termasuk kondisi yang menciptakan dukungan terhadap terorisme dan bantuan
perekrutan.
Sejumlah serangan
lain setelah 11 September 2001 telah meningkatkan kekhawatiran tentang ancaman
teroris dan panggilan baru untuk lebih memahami akar lebih memahami atau
penyebab terorisme. Secara historis dan hari ini, ada pandangan berbeda pada
pertanyaan itu, yang mencerminkan filsafat, agama, perbedaan politik, dan
lainnya.
Kita mungkin dapat
membedakan terorisme dengan kondisi yang mendasari, kontribusi terhadap risiko
terorisme, dan bahkan mungkin penyebab tindakan tertentu. Tanggapan terhadap
ancaman yang timbul mungkin tidak dipengaruhi pengetahuan kita tentang motivasi
teroris, tetapi pemahaman kita tentang terorisme determinan. Kondisi yang
menciptakan dukungan terhadap terorisme dan perekrutan bantuan pun sangat
penting.
Jika, misalnya,
seseorang percaya bahwa terorisme memiliki akar politik yang muncul dalam
kondisi politik tertentu seperti konflik etnik atau nasionalis, untuk
memeranginya butuh pengubahan kondisi politik dari mana ia muncul. Demokrasi
sering dipandang sebagai solusi dalam konteks tersebut. Jika seseorang percaya
terorisme tumbuh subur di tengah kemiskinan, pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi merupakan pusat solusi. Dengan demikian, kita harus melakukan segala
kemungkinan untuk memahami alasan terorisme dilakukan, termasuk serangan oleh
jihadis global pada 11 September 2001 dan akibatnya.
DI, suatu komunitas
keagamaan Islam yang bersifat tertutup dan radikal di Indonesia, memang tidak
mengakui pemisahan kegiatan manusia dalam domain-domain kegiatan keagamaan di
satu pihak, dengan domaindomain kegiatan sekuler (duniawi) di pihak lain. Islam
mewujudkan dirinya sebagai dien atau cara hidup yang seimbang dengan konsepsi
yang komprehensif mengenai ibadah, meliputi keseluruhan aspek kehidupan
individu dan sosial, berdasarkan prinsip-prinsip tauhid, mulkiyah, khilafah,
risalah, syariah, dan ijtihad.
Jihad dan Ijtihad
Di dalam Islam ada
dua istilah yang menjadi pilar kemajuan dan kekuatan Islam. Keduanya berasal
dari kata yang sama, yakni jihad dan ijtihad. Kedua-duanya berasal dari kata
jahada, yang bermakna bersungguh-sungguh, memaksimalkan daya dalam melaksanakan
sesuatu. Pada masa awal pergerakan DI di 1940-an dan 1950-an, jihad mereka
berdasarkan ijtihad melalui proses diskursus yang panjang.
Dalam perkembangan
gerakan DI berikutnya (1962 hingga 1998), kata jihad dan ijtihad digunakan
untuk lapangan yang berbeda. Jihad bermakna bersungguh-sungguh bekerja bekerja
keras, memaksimalkan daya, dana, dan cara untuk menegakkan ajaran Islam. Adapun
ijtihad bermakna bersung bersungguh-sungguh bekerja cerdas, memaksimalkan daya,
dan cara untuk mengilmui ajaran Islam. Jihad diaplikasikan di bidang amal,
sedang ijtihad diterapkan di bidang ilmu. Keduaduanya diklaim komunitas DI jadi
prasyarat bagi kejayaan Islam. Namun secara bawah sadar, mereka telah
meninggalkannya. Faktor-faktor dan situasi-situasi fungsional dan struktural
apa yang telah memengaruhi proses devaluasi tersebut?
Terorisme yang
berbasis agama sangat banyak dan beragam. Dari kalangan umat Islam, dikenal
beberapa kelompok teroris yang umumnya terdiri dari kelompok radikal dan kaum
fundamentalis. Kaum fundamentalis terlibat dalam konflik dengan musuh-musuh
sekuler yang dicurigai membuat kebijakan-kebijakan yang bertentangan secara
frontal dengan agama. Kaum fundamentalis tidak menganggap pertentangan frontal
itu sebagai sebuah `arena bermain' (play ground), melainkan sebuah `medan
perang' (battle field) yang serius, yang bukan sekadar sebuah perlawanan
politik konvensional, melainkan menganggapnya sebagai sebentuk `perang kosmis'
(cosmic war) antara kekuatan-kekuatan yang hak dan batil.
Untuk menghindarkan
diri mereka dari `dunia buruk' dan menutup diri dari kontaminasi `perang
kosmis' itu, kaum fundamentalis sering kali mundur dan menyempal dari
mainstream masyarakat untuk menciptakan budaya tandingan (counter culture); dan
kaum fundamentalis bukanlah kaum yang bermimpi di siang bolong. Mereka menyerap
rasionalisme pragmatis dari modernitas, dan, di bawah bimbingan para pemimpin
kharismatik kharismatik mereka, menyaring apa yang diperlukan dari dunia teknis
un tuk membuat rencana aksi yang sering kali bersifat destruktif.
Kaum fundamentalis
merasa mereka berperang melawan kekuatan-kekuatan yang mengancam nilai-nilai
yang sangat suci dari komunitas mereka dan reaksi mereka akan bersifat teror
politik. Adapun kaum radikal Islam justru memandang memahami agama secara
mengakar jauh lebih penting sebelum membuat rencana aksi yang cenderung
bersifat kekerasan.
Garis Perjuangan
Kaum radikal Islam
yang bangkit dengan garis yang berbeda, bahkan secara diametral berlawanan
dengan fundamentalis, merupakan taksonomi pergerakan Islam yang mesti dilihat
secara berhati-hati. Fakta bahwa fundamentalisme telah muncul dalam
ledakan-ledakan kecil dan besar di semua budaya, baik budaya agama monoteis
maupun politeis, mengindikasikan sebuah kekecewaan yang meluas terhadap
masyarakat modern tempat banyak di antara kita malah merasakannya sebagai
sesuatu yang membebaskan, menyenangkan, dan memberdayakan. Proyek-proyek yang
secara kasatmata dipandang baik oleh kaum liberal, tempat kaum radikal Islam
juga termasuk di dalamnya--seperti demokrasi, penciptaan perdamaian, kepedulian
terhadap lingkungan, pembebasan wanita, atau kebebasan berbicara--dapat
dipandang buruk, bahkan haram, oleh kaum fundamentalis.
Kaum fundamentalis
sering kali mengekspresikan diri dengan kekerasan. Kekerasan itu ialah cara
atau jalan paling sederhana yang memancar dari ketakutan mereka yang mendalam
akan hancurnya komunitas, tradisi, nilai, dan budaya yang mereka anggap luhur.
Bila dilihat dari latar belakang pendidikan, mereka adalah kaum
intelektual--yang oleh Bruce Hoffman disebut sebagai violent intellectual--yang
berusaha mencapai tujuan karena dimotivasi doktrin-doktrin agama yang mereka
persepsikan secara berbeda (out of mainstream).
Menurut Scott
Appleby, kemapanan kaum sekuler bertujuan menghapuskan keberadaan mereka
sebagai kaum beragama dari muka bumi ini, sekalipun di AS sendiri. Kaum
fundamentalis yakin respons mereka dengan kekerasan merupakan sebentuk
perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan yang telah menakut-nakuti mereka selama
ini.
Mustahil untuk
menggeneralisasi bentuk-bentuk ekstrem kelompok agama karena mereka bukan hanya
berbeda di tiap-tiap negara, tapi juga berbeda di tiap-tiap kota bahkan di tiap-tiap
kampung dan desa. Hanya sebagian kecil kelompok fundamentalis yang setia dengan
aksi-aksi teror, sedangkan banyak kaum radikal Islam bahkan sangat bersahabat,
menginginkan perdamaian, berpengharapan pada hukum dan tata aturan, dan
menerima nilai-nilai positif dari masyarakat modern.
Kaum teroris
sebenarnya bukanlah kelompok baru dalam dunia pergerakan radikal dan
fundamentalis di Indonesia. Kaum teroris merupakan gabungan dari inti ajaran
fundamentalis dan radikal yang bertemu dalam satu titik perencanaan perang
melawan apa yang mereka persepsikan sebagai `kezaliman'. Di Indonesia, kelompok
yang dianggap teroris berjumlah kecil, yaitu Jamaah Islamiyah dan Darul Islam
(terbatas pada faksi tertentu).
Ilustrasi pada
naskah ini bisa menjelaskan hal tersebut. Dari ilustrasi itu, jelas terlihat
bahwa terorisme Islam terbentuk dari overlapping of interest dari
fundamentalisme dan radikalisme Islam. Dengan demikian, cara mengatasi
terorisme pun, secara ideologis, ialah dengan memisahkan antara fundamentalisme
Islam dan radikalisme Islam untuk tidak bertemu dalam satu wadah yang utuh.
Jika pemisahan itu bisa dilakukan, terorisme akan mengalami kematian secara
pelan-pelan.
Terorisme akan
tumbuh subur ketika simbol dan hakikat bertemu. Jamaah Islamiyah pada awalnya
bukanlah organisasi teroris, sedangkan Darul Islam yang mempraktikkan terorisme
hanyalah sebagian kecil. Bagi kaum fundamentalis Islam di Indonesia, mereka
merasa kultur liberal yang umumnya berasal dari Barat telah begitu
menghancurkan entitas nilai-nilai luhur yang hidup dan bersemi di dalam
komunitas mereka sejak lama.
Komando Jihad
(1978), Usroh (1982), Teror Warman (1984), Peledakan Candi Borobudur (1985),
Cicendo (1986), Pembajakan Pesawat Woyla (1987), Talangsari Jamaah Warsidi
(1989), Bom Malam Natal (2000), Bom Bali, hingga Bom Hotel JW Marriott
merupakan ekspresi emosi keagamaan kaum fundamentalis dan radikal Indonesia.
Di Indonesia, kaum
fundamentalis berkembang ke arah kaum skripturalis. Mereka diidentifikasi
dengan adanya literal interpretation terhadap teks-teks agama dan penajaman
doktrin-doktrin inti tertentu seperti jihad dan syariat. Dua inti ajaran itu
ternyata sangat berpengaruh terhadap problem disharmoni antara kaum
fundamentalis dan kaum sekuler, yang bisa berubah menjadi medan perang.
Pada
gerakan-gerakan kaum fundamentalis Islam tertentu, yang di antaranya sangat
tersohor dan berpengaruh seperti kaum Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
(DI-TII), respons global terhadap kultur modern itu ditunjukkan dengan motivasi
yang bersifat patologis-psikologis.
Sumber: Media Indonesia, 10
September 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!