Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
“Sebuah peradaban demokrasi akan menyelamatkan dirinya sendiri hanya jika
ia membuat bahasa gambar menjadi stimulus bagi refleksi kritis–bukan undangan
untuk hipnosis.” (Umberto Eco)
Ketika membaca kabar komikus RA Kosasih yang wafat pada usia 93 tahun bulan
Juli lalu, kemudian menemukan ujaran Umberto Eco di atas, saya terpicu menulis
artikel ini. Kosasih melalui komik-komiknya telah meninggali kita bahasa
gambar. Mungkin Anda akan segera sepakat dengan saya ketika membaca komik-komik
Kosasih, kita tidak akan terhipnosis oleh gambar-gambar itu, melainkan segera
keluar dari benak kita refleksi-refleksi kritis.
Misalnya, ketika komik Mahabharata atau Ramayana karya Kosasih kita baca
ulang, tokoh-tokohnya segera menyembul keluar dari panel yang membatasinya dan
hadir dalam kehidupan politik aktual kita. Tak berlebihan kiranya manakala
komik-komik Kosasih itu,meminjam ujaran novelis Umberto Eco di atas, memicu
penyelamatan peradaban demokrasi.
Dari komik-komiknya sesungguhnya kita belajar ketokohan, sifat kepahlawanan
versus kejahatan, kepantasan versus keserakahan. Dan sadar tidak kita bahwa
ikonografi tokoh-tokoh yang menyembul dalam komik-komik itu gambaran dari wajah
kepolitikan kita? Refleksi kritis mengemuka, misalnya ketika kita bertanya
siapa yang cocok jadi Sangkuni masa kini? Ketika Gus Dur tempo dulu
mengingatkan kita pada tokoh Semar, maka apakah Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono tepat apabila diidentikkan denganYudhistira?
Komik Indonesia
Komik adalah jenis media untuk menyampaikan pesan. Memang tidak semua komik
Anda klaim bermanfaat,tetapi pembaca yang kritis akan berupaya menangkap
hikmahnya. Setidaknya sejak dekade 1950-an, komikus-komikus Indonesia berupaya
menampilkan karakter-karakter tokoh universal yang Indonesiawi. Misalnya, Sri
Asih merupakan upaya keras Kosasih menghadirkan tokoh kita sendiri walaupun
terinspirasi komik Barat.
Penciptaan cita rasa Indonesia penting tidak saja karena nasionalisme,
tetapi juga agar kita tidak lupa wajah sendiri. Sebagaimana dicatat peneliti
komik Indonesia Marcel Bonef, alur cerita komik-komik kita sejak 1950-an itu
khas.Satu sisi ada pihak yang dizalimi tokoh-tokoh jahat. Ada yang menjadi
korban kejahatan.Kemudian, hadir tokoh yang tampil membela yang lemah.
Tokoh ini tidak sombong, penampilannya khas tapi sederhana, dan yang
terpenting sakti mandraguna. Ada beberapa tokoh rekaan seperti si Buta dari Gua
Hantu dan Panji Tengkorak, ada juga tokoh yang diambil dari legenda yang pernah
ada seperti si Pitung atau Jampang dari Betawi.
Dari tokoh-tokoh itu, hadir suatu persepsi umum bahwa kita butuh pemimpin
yang bisa menyelamatkan kita dari tekanan atau kejahatan keadaan. Kita butuh
tokoh yang tulus tanpa pamrih, pahlawan pembela kebenaran yang tidak pernah
membebani rakyat, melainkan membebaskan rakyat dari tekanan hidup.
Karakterkarakter tokoh komik wayang yang digambarkan Kosasih lebih kompleks
lagi, tetapi prinsipnya sama.
Kita akan segera bisa tersambung dengan tokoh yang pantas dan otentik
sebagai kesatria sejati serta mana yang serakah alias antagonis. Tidak semua
tokoh protagonis itu lurus-lurus saja kehebatannya, melainkan penuh dengan
ujian dan cobaan.Artinya, tidak ada tokoh yang muncul seketika, mendadak sakti
tanpa sebab yang jelas.
Bahkan Gatotkaca pun perlu digembleng di kawah Candradimuka. Pandawa Lima
pun pernah kalah main judi dan sebagai akibatnya mereka terusir dan
terlunta-lunta.Para tokoh protagonis selalu sadar akan harga diri dan punya
standar etika yang konsisten ditaati. Meskipun tertimpa berbagai ujian dan
cobaan, tokoh yang baik secara ikonografis digambarkan sebagai yang lemah
lembut secara etika.
Sebaliknya, yang jahat berangasan, anarkistis, dan dipenuhi dengan nafsu
kekuasaan yang tinggi untuk merebut dan mempertahankannya dengan segala
cara.Misalnya Arjuna yang kesatria lemah lembut itu akan sangat kontras
manakala disandingkan dengan Raksasa Cakil atau Buta Terong. Yang tak kalah
menarik lagi, baik di sisi baik maupun jahat, terdapat komunitas punakawan yang
tugasnya mengingatkan agar yang baik tidak terjerumus jahat, yang jahat bisa
menjadi baik. Hanya, komunitas yang terakhir itu biasanya marginal.
Demokrasi Komikal
Praktik demokrasi politik kita sesungguhnya hampir mirip dengan kisah-kisah
tokoh-tokoh komik. Artinya, komik memberi peluang reflektif. Dalam tradisi
demokrasi elektoral satu orang satu suara, citra atau kekuatan tokoh itu
penting, maka dalam menimbang pemimpin, ukuran umumnya kewajaran dan
kepantasan. Karena syarat untuk menjadi tokoh protagonis pertama- tama harus wajar
dan pantas.
Di komik juga demikian. Tokoh utama ialah yang memang pantas dan otentik.
Wayang sering terlampau ekstrem menggambarkannya secara fisikal. Misalnya, yang
protagonis berdada bidang, yang jahat bergigi taring.Tapi, bukan berarti
substansi terhilangkan. Karena logikanya, simbol itu muara dari etika dan
isi.Yang permukaan perwujudan dari kedalaman. Semua sudah melalui proses
panjang kreativitas para pujangga.
Tapi masih bisa terjadi pembalikan simbolik atau anomali, bahwa tidak semua
raksasa itu jahat. Tidak semua kesatria berkumpul di kubu politik Pandawa yang
berhak atas kekuasaan. Ada banyak kesatria pula di kubu Kurawa. Kadang-kadang
banyak absurditas yang kita temui dalam kisah-kisah kepolitikan kita seperti
juga dalam komik-komik. Tapi, era kejayaan komik- komik Kosasih dan generasi
sesudahnya tampaknya sudah sangat berlalu.
Bahasa gambar yang mendominasi kebudayaan populer kita sekarang ialah
sinetron-sinetron alias opera-opera sabun yang lebih komikal dan
berpanjangpanjang. Absurditas-absurditas dalam opera sabun kemudian diringkas
dalam rumus yang oleh sementara kalangan manjur diterapkan dalam alam demokrasi
elektoral, yakni semakin terkesan terzalimi semakin populer dan elektabel.
Bahasa gambar akhirnya sekadar mentok pada sihir-sihir hipnosis tanpa
membuka peluang yang lapang bagi publik untuk berpikir kritis. Bahasa gambar
itu mempertontonkan adegan-adegan absurd yang menyingkirkan kualifikasi dan
proses. Rumah yang mentereng, mobil yang bagus-bagus, konflik kaum elite yang
tak menjangkau urusan nyata masyarakat, jalan pintas pemecahan masalah,
tampilan-tampilan hedonis dan boros, kata-kata yang menggampangkan dan penuh
dendam merupakan catatan-catatan kecil kita ketika menonton opera-opera sabun
yang berbuih-buih itu.
Demokrasi komikal kita penuh cerita, tetapi sayangnya segera berujung pada
hipnosis, bukan kekritisan justru karena ia diasingkan. Bagaimana mungkin kita
bisa menikmati opera sabun dengan kritis manakala ia sengaja tidak memberikan
tempat pada kritisisme? Di alam nyata, demokrasi komikal kita banyak yang
mengejawantah dalam ekspresi-ekspresi menyanjung para patron masing-masing
alias asal bapak senang (ABS).
Atau wujud-wujud turunan yang sekadar menyenangkan mitra kerja calon
pejabat, apakah capres, calon kepala daerah ataukah caleg, melalui laporan-
laporan riset yang menghipnosis. Kalau semua saling menghipnosis dengan
menyingkirkan stimulus-stimulus bagi hadirnya refleksi-refleksi kritis, maka
barangkali benar kata Umberto Eco di atas, peradaban demokrasi kita akan kolaps.
Yang menyelamatkan peradaban demokrasi kita kalau begitu rasionalitas
sebagai dasar dari hadirnya sikapsikap kritis. Selama bahasa-bahasa gambar itu
tidak menjadi reflektor, melainkan menghipnosis, demokrasi hanya akan menjadi
embel-embel bagi hadirnya tokoh yang tidak otentik, tokoh seolah-olah. Wallahu a’lam.
Sumber: Sindo, 13 September 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!