Dosen Program S2
Komunikasi Politik UMJ/ UMRI
Pergilah kau..
pergi dari hidupku...
PETIKAN lirik lagu
Pergilah Kau yang disenandungkan Sherina boleh jadi merepresentasikan kemuakan
rakyat pada para wakilnya di Senayan. Tak habis-habis ulah dan tingkah sebagian
anggota parlemen itu yang amat jauh dari harapan rakyat. Untuk urusan yang
menguntungkan dirinya, para wakil rakyat berjuang mati-matian meski muncul
penolakan rakyat di sana-sini. Sebutlah rencana pembangunan Gedung DPR yang
baru dengan biaya cukup besar.
Belum apa-apa,
muncul pula "penghamburan" uang rakyat untuk rehabilitasi ruang rapat
Banggar, toilet, pengharum ruangan hingga pembuatan kalender khusus yang
menelan biaya fantastis. Di luar perhitungan rasional dan pantas. Soal ruang
Banggar itu akhirnya difungsikan juga setelah melalui penekanan anggaran
terutama mebeler yang diganti dengar buatan dalam negeri.
Begitu pula gaya
hidup sebagian anggota dewan yang bermewah-mewah dengan fasilitas mobil dan
rumah. Mobil mewah sejenis Hammer dan Harrier serta mobil sporty seharga
miliaran rupiah. Audit atas harta kekayaan sebagian wakil rakyat itu begitu
melonjak drastis dalam satu-dua tahun sejak dilantik. Apalagi ada temuan
terbaru ditemukannya rekening sejumlah anggota dewan yang mencapai Rp2 triliun.
Luar biasa...
Di tengah-tengah
negeri ini begitu giat memberantas korupsi, sejumlah anggota dewan terjerat
dalam jaring-jaring KPK. Oknum anggota dewan ternyata terlibat pula dalam Mafia
Anggaran. Ikuti saja persidangan kasus M Nazaruddin dan Mindo Rosalinda yang
menyeret nama-nama sejumlah politisi, anggota dewan dan menteri.
Bahkan
"nyanyian" Nazar dan Mindo kian nyaring menembus langit-langit
singgasana Anas Urbaningrum selaku Ketua Umum Partai Demokrat. Kesaksian demi
kesaksikan mengungkapkan ada "uang panas" yang mengalir dan
dibagi-bagikan untuk pemenangan Anas dalam Kongres Partai Demokrat di Bandung.
Pemeriksaan terhadap Anas pun terus dilakukan oleh KPK guna menguak
keterlibatan politisi itu.
Di tengah
kerunyaman situasi, muncul pula hasil survei Sugeng Sarjadi Syndicate (SSS)
yang menempatkan DPR sebagai institusi terkorup di Tanah Air. Indikasinya tentu
tak susah karena puluhan wakil rakyat (yang mestinya terhormat) itu justru
terbukti bersalah oleh pengadilan: telah berperangai korup yang merugikan uang
negara.
Rakyat kini semakin
pintar dan kritis menyikapi semua stuasi dan kondisi. Penyelenggara negara,
baik eksekutif, legislatif dan yudikatif yang "menyimpang"
cepat-cepat direspons dan diperingatkan. Rakyat tak mudah lagi dibohongi karena
sudah terlalu lelah dengan janji-janji busuk. Sementara para penyelenggara
negara tersebut mempertontonkan kemewahan yang diperoleh dari hasil korupsi.
Semua orang tahu, berapa sebenarnya gaji bulanan mereka. Andai kekayaan yang
didapatkan melampaui batas logika, patut dicurigai ada some things wrong dalam
perolehan harta itu.
Begitu pula, rakyat
sangat jijik pada penyelenggara negara yang berbohong. Tak mengakui kesalahan
yang dibuat terkait tugas dan wewenangnya. Bisa dimafhumi ketika kesaksikan
Angelina "Angie" Sondakh dalam sidang kasus Nazar di Pengadilan
Tipikor membantah tuduhan Nazar, hampir semua rakyat berang dan sakit hati.
Sekelompok kaum perempuan sampai menggelar demonstrasi di depan kantor KPK
dengan membentangkan spanduk: "Jangan Berbohong, Angie."
Bagaimana tidak,
Angie membantah punya Blackberry (BB) sebelum tahun 2010. Sementara, foto-foto
yang diabadikan para wartawan dan dimuat di media massa memperlihatkan Angie
menggunakan BB. Bahkan komunikasi yang dilakuklan Angie dengan sejumlah kerabat
dan wartawan pada masa itu justru sudah menggunakan BB.
Tapi kini, Angie
harus mempertanggungjawabkan semua tindakan dan pernyataannya di depan
Pengadilan Tipikor karena sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan pula.
Biarlah hukum yang bicara dalam menguak kebenaran yang sesungguhnya.
Para wakil rakyat
yang bernaung di bawah Gedung Senayan itu mestinya sadar diri atas keberadaan
mereka di sana setelah mendapat legitimasi rakyat melalui Pemilu. Dukungan
rakyat yang muncul pada masa-masa jelang Pemilu itu justru disebabkan adanya
ekspektasi yang besar dari rakyat agar negeri ini bisa maju dan berkembang sebagaimana
bangsa-bangsa lain.
Tapi sikap sebagian
wakil rakyat yang kontraproduktif dengan harapan publik itu secara langsung
mencoreng citra instituasi yang semestinya bermartabat tinggi itu. Amat pantas
sikap geram yang ditunjukkan artis senior, Pong Harjatmo, beberapa tahun lalu
dengan memanjati kubah gedung DPR RI dan menulisnya besar-besar: Jujur, Adil,
Tegas.
Belum lagi
kasus-kasus amoral yang diketahui publik dilakukan oleh sejumlah oknum wakil
rakyat Senayan. Terlalu panjang untuk mengurai senarai nama-nama dan kasus
kejadiannya. Untuk menyebut beberapa nama saja yang sudah populer di
pendengaran publik seperti kasus Yahya Zaini dan Max Moein yang berujung pada
pemecatan atau pengunduran setelah disidang oleh Badan Kehormatan DPR.
Masih di depan mata,
"perang dingin" antara DPR versus KPK tampaknya terus saja berlanjut.
DPR yang mengesahkan UU tentang KPK dan secara prosedural melakukan fit and
proper test bagi kandidat-kandidat Ketua serta Dewan Komisoner seakan-akan
menyesal sendiri. Sebab, KPK yang sengaja menempatkan diri independen dan
terbebas dari intervensi kekuasaan, justru tak peduli dengan siapa pun yang
ditengarai korup, tak peduli para oknum anggota DPR sendiri.
Akibatnya,
bermacam-macam cara upaya dilakukan DPR untuk mengerdilkan "kekuasaan dan
kewenangan" lembaga antikorup itu sehingga kian tak bertaji dan bernyali.
Salah satu sikap DPR yang memperlihatkan ketidak-cocokan terhadap KPK ketika
KPK mengajukan pembangunan gedung baru sejak tahun 2008 namun tak kunjung ketuk
palu. Terkesan, sikap wakil rakyat ini ingin memperlihatkan pada publik, KPK
juga mesti tunduk pada kekuasaan yang mereka miliki.
Sikap
"apriori" wakil rakyat terhadap institusi dan penyelenggara KPK itu
malah membuat antipati rakyat semakin besar. Hal ini berakibat terhadap
penurunan citra lembaga DPR terus-menerus. Diperlukan perubahan besar dan
kesadaran yang luar biasa untuk mengembalikan DPR pada khitah semula (on the
right track). Kepada siapa lagi rakyat bisa berharap bila DPR sebagai
perwakilan resmi rakyat justru menikam sendiri amanah dan janji-janji
politiknya yang terdengar merdu pada masa-masa kampanye.
Sumber: Jurnal
Nasional, 19 September 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!