Sekretaris Majelis Nasional Partai NasDem
Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan
persoalan penting menyangkut ketentuan partai politik (parpol) yang akan mengikuti
pemilihan umum (pemilu), salah satunya bahwa semua parpol,baik baru maupun
lama,harus mengikuti proses verifikasi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum
(KPU).
Keputusan ini patut kita apresiasi karena MK telah
menunjukkan dirinya sebagai institusi negara yang terus berupaya menegakkan
akal sehat. Ketentuan bahwa parpol lama yang sudah menempatkan kader-kadernya
di parlemen tidak perlu diverifikasi untuk bisa ikut pemilu jelas bertentangan
dengan akal sehat dan prinsip keadilan. Oleh karenanya, keputusan MK juga
menjadi pelajaran penting buat partai-partai yang ada di parlemen agar lebih
berhati-hati dalam memutuskan undang-undang, tidak boleh mengikuti seleranya
sendiri, harus tetap berpegang teguh pada akal sehat dan prinsip-prinsip
keadilan.
Bagi KPU, keputusan ini menjadi rambu-rambu
sekaligus peringatan awal agar lebih objektif dalam melakukan verifikasi, tidak
membeda-bedakan antara parpol yang telah lolos parliamentary threshold (PT)
dengan yang belum dan antara parpol-parpol lama dengan yang baru. Semua harus
diperlakukan secara objektif dan adil. Dinamika di lapangan membuktikan bahwa
dukungan rakyat berkembang begitu dinamis. Parpol-parpol mengalami
fluktuasi.Hanya dengan verifikasi yang objektif, adil, dan transparan yang bisa
meyakinkan publik bahwa suatu parpol dianggap layak atau tidak layak mengikuti
pemilu.
Penataan Parpol
Verifikasi merupakan unsur penting dalam proses
penataan parpol. Kita tahu, setelah proses transisi yang sudah terjadi sejak
Mei 1998, hal yang harus dilakukan adalah proses pelembagaan politik. Artinya,
semua lembaga politik harus diorientasikan untuk mendukung penguatan
pelembagaan demokratisasi. Di antara lembaga-lembaga politik yang paling
memiliki peran strategis adalah parpol.
Karena hanya parpol yang secara kelembagaan
berwenang mengajukan nama-nama kandidat yang hendak menduduki jabatan-jabatan
penting di lembaga-lembaga demokrasi. Parpol juga berhak mengajukan
kader-kadernya untuk duduk di lembaga legislatif (DPR), eksekutif
(presidenwakil presiden,kepala daerahwakil kepala daerah), dan yudikatif
(sebagian hakim konstitusi). Karena peranannya yang sangat strategis
itu,kehidupan kepartaian harus ditata agar selaras dengan semangat pelembagaan
demokratisasi.
Penataan yang dimaksud bukan untuk membatasi hak
warga negara untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana ketentuan konstitusi,
tetapi untuk menerapkan syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi parpol agar
bisa mengikuti pemilu. Diterapkannya syarat-syarat itu antara lain bertujuan
untuk membatasi jumlah parpol. Pada tiga kali pemilu pascareformasi, jumlah
parpol yang berhak mengikuti pemilu masih terlalu banyak. Karena saking
banyaknya parpol yang harus dipilih, selain membingungkan, pilihan rakyat
menjadi terpencar-pencar ke dalam banyak parpol sehingga tak ada satu pun yang
berhasil mendapat dukungan rakyat secara mayoritas mutlak (di atas 50%).
Karena banyaknya partai yang berhasil mendudukkan
anggotanya di DPR, lembaga legislatif menjadi pasar politik yang sangat ramai
dengan tingkat multipolaritas yang tinggi.Padahal pemerintahan kita menganut
sistem presidensial yang artinya kepala pemerintahan berada di tangan presiden
yang meniscayakan presiden mampu meredam atau setidak-tidaknya mengimbangi
kekuatan DPR agar pemerintahan bisa berjalan efektif. Karena multipolarisasi
kekuatan parpol di DPR, dalam menjalankan pemerintahannya Presiden harus
berkoalisi dengan sejumlah parpol untuk memenuhi kebutuhan suara mayoritas.
Akan tetapi, meskipun koalisi sudah dibangun, pada
praktiknya masih ada parpol anggota koalisi yang tidak patuh dan menghambat
laju jalannya pemerintahan. Untuk mengatasi masalah ini, satu-satunya cara yang
paling realistis adalah dengan menaikkan PT, gunanya untuk menyederhanakan
(memperkecil) jumlah parpol, dan––- yang lebih penting––untuk membuka peluang
lahirnya parpol peraih suara mayoritas yang mendukung Presiden. Dengan
demikian, Presiden tidak perlu lagi tersandera dalam koalisi.
Sayangnya, UU yang menjadi landasan penyelenggaraan
Pemilu 2014 yang seyogianya menetapkan PT minimal 5% ternyata hanya menetapkan
PT 3,5% sehingga upaya untuk menyederhanakan parpol tidak terpenuhi.Pengalaman
tiga pemilu (1999,2004,dan 2009) menunjukkan bahwa masih cukup banyak parpol
yang meraih suara di atas 3,5%. Sebagai implikasinya, pasca-Pemilu 2014 nanti,
lembaga legislatif kemungkinan besar masih akan tetap dipenuhi para politikus
yang berasal dari beragam parpol.
Artinya akan tetap terjadi multipolarisasi yang
sarat perdebatan (tanpa ujung) dalam setiap pembahasan RUU atau tugas-tugas
lainnya. Selain itu, kemungkinan besar, presiden juga akan tetap tersandera oleh
kekuatan-kekuatan parpol yang ada di lembaga legislatif. Presiden akan
“dipaksa” untuk tetap membangun koalisi yang dalam praktiknya sarat dengan
tawar-menawar politik yang cenderung mengabaikan etika dan kesantunan dalam
berpolitik.
Deteksi Dini
Mengingat ketentuan PT yang masih relatif rendah,
verifikasi parpol menjadi urgen, selain sebagai wahana penataan, yang lebih
penting adalah sebagai upaya identifikasi apakah parpol-parpol yang hendak ikut
pemilu benar-benar lahir atas aspirasi rakyat ataukah sekadar kendaraan politik
dari segelintir elite yang membutuhkan batu loncatan untuk meraih kekuasaan.
Salah satu poin penting dalam proses verifikasi adalah adanya deteksi dini
keberadaan parpol di tingkat akar rumput yang dibuktikan dengan signifikansi
jumlah anggota, kepengurusan,dan keberadaan kantor sebagai pusat kegiatan.
Dengan proses verifikasi yang benar-benar objektif
dan transparan,publik akan tahu mana parpol yang benarbenar layak ikut pemilu
dengan yang hanya partai papan nama atau abal-abal.Selain itu, publik juga akan
tahu mana parpol yang betul-betul menasional dengan yang hanya didukung oleh
sebagian wilayah saja (lokal). Agar tujuan itu tercapai, dalam menjalankan
verifikasi, prinsip-prinsip transparansi, objektif, dan adil harus benarbenar
diterapkan KPU.
Untuk membuktikan kebenaran datadata keanggotaan,
kepengurusan, dan keberadaan kantor misalnya tidak cukup hanya menggunakan
metode random sampling seperti yang dilakukan lembaga-lembaga riset. KPU harus
benar-benar mendeteksinya secara mendetail sesuai dengan fakta di lapangan.
Untuk menjamin jalannya verifikasi yang benar, dibutuhkan kontrol dari segenap
komponen civil society.
Lembaga-lembaga pemantau pemilu, misalnya, seyogianya
mulai bekerja sejak dini, ikut memastikan agar verifikasi yang dilakukan KPU
benar-benar berjalan secara objektif dan adil. Jika verifikasi benar-benar
dilakukan secara objektif, adil, transparan, dan mendetail sesuai dengan fakta,
dari 46 parpol yang sudah mendaftar di KPU, mungkin akan sebagian kecil saja
yang benar-benar layak mengikuti pemilu sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
Sumber: Sindo, 10 September 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!