Rohaniwan
Anak yang diduga
membunuh murid SMA Negeri 6 Jakarta sudah ditangkap. Banyak orang bertepuk
tangan. Perlukah? Ya, sebab sebentar lagi ia akan dapat diadili dan dihukum.
Kalau bisa seberat mungkin: untuk ”efek jera”. Cukupkah? Jangan-jangan kita
sekadar membelah cermin, walau sebenarnya ”buruk muka” kita.
Seorang ahli
pendidikan di suatu radio swasta berkali-kali menegaskan bahwa ”anak-anak kita
adalah cermin kita—para orangtua—sendiri. Tingkah laku anak adalah cermin
tingkah laku orangtua”. Apakah penyelesaian ”buruk muka” hanya dengan ”cermin
dibelah”? Cukup edukatifkah kita kalau—seperti dikatakan seorang pejabat tinggi
di televisi—”kita sikat”?
Cermin Masyarakat
Kita
Sudah sejak lama
”dunia pendidikan” kita dipermasalahkan. Baik Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (yang dikoreksi sesudah dimaklumkan, tanpa peduli protes rakyat
sebelum dibicarakan di DPR), kurikulum persekolahan, gurunya, dan bahkan
kementeriannya. Juga para ”pendidik luar sekolah”-nya, mulai dari orangtua
dalam keluarga, petugas kampung, pelayanan publik, media, DPR, para pemimpin
negara, dan pemuka agama.
Tentu saja, pelaku
kejahatan, pembunuh, perampok, dan koruptor harus diadili dan dihukum. Memang
orang cenderung ”menyederhanakan” urusan juga pendidikan yang rumit; apalagi
dalam pemerintahan dan dunia politik serta ekonomi yang cenderung pragmatis;
mau menyelesaikan masalah secara praktis.
Selesai? Tidak! Di
balik itu, seluruh jajaran persekolahan sebenarnya ikut bertanggung jawab,
bahkan jajaran pendidik. Bukankah dalam prinsip hukum ada tuntutan bahwa
”complices” juga harus kena hukuman?
Kita perlu ingat
bahwa murid hanya empat jam sehari bertemu dengan guru. Sesudah itu (selama 20
jam) mereka dididik oleh sopir, pengendara bus, pekerja rumah tangga, polisi
lalu lintas, karyawan/karyawati toko, penyusun sinetron/film, menteri dan
pemuka agama; dan yang terpenting adalah bapak-ibu. Apakah semua complices itu
tidak harus dihukum juga? Begitu kalau pendekatan kita dengan hukuman.
Acquaviva pada abad
ke-16 sudah mendesak supaya murid dan guru mementingkan hubungan batin justru
demi perkembangan intelektualitas mereka. Seorang tokoh pendidik Jawa pada abad
ke-19 menegaskan supaya anak menyatu dengan guru atas dasar karakter yang baik.
Ki Hadjar Dewantara meminta agar diciptakan taman-taman belajar; bukan
kursus-kursus dengan sejenis kurikulum yang menonjolkan hafalan. Hal serupa
dicoba di Kayutanan, Sumatera Barat. John Dewey sudah lama menekankan perlunya
relasi inter-subyektif positif antara murid dan guru, bukan pertama-tama administratif
dan legalistik.
Banyak murid kita
kehilangan relasi kasih dalam keluarga dan sering teronggokkan dalam sistem
persekolahan yang menonjolkan otak (termasuk dalam apa yang diakukan sebagai
pengajaran agama). Tak jarang mereka bahkan tidak secara utuh belajar dari
tokoh pendidik yang meminta perhatian untuk pendidikan perasaan, pencerdasan
musik, kepekaan atas gerak batin, keunggulan relasi antarsubyek, kedalaman
refleksi rohani.
Segi-segi
pembelajaran yang ditawarkan Howard Gardner itu memang sulit diperhatikan oleh
sistem persekolahan yang adalah ”pabrik sertifikat-ijazah massal” dan ”gudang
borang-borang”, serta menjejali anak dengan belasan mata-ajar yang menuruti
saja aneka permintaan publik tanpa dikaji secara metodik-didaktik.
Terlewatkanlah pewarisan prinsip-prinsip dasar pendalaman ilmu, digantikan
ratusan kepingan teknik aplikasi dan kontekstualisasi pengetahuan. Dengan cara
itu, terkikislah saat berharga untuk berandai-andai demi mencintai dan
memperdalam ilmu antara murid dan guru, yang diserobot waktu dan kesibukannya
untuk rapat dan penataran guna mengisi borang-borang.
Apalagi di luar
kelas/sekolah, murid dijejali suapan lain, yang dapat menimbulkan banyak
konflik batin. Sulitlah memahami, mengapa murid harus mengikuti aturan, kalau
di jalan mereka menyaksikan bagaimana polisi dan rakyat kebanyakan diburu- buru
ketatnya transportasi sehingga bukan hanya membiarkan, melainkan bahkan
mendorong pelanggaran aturan. Bingunglah murid yang harus belajar sesuai
pranata dan mempersiapkan kelas, kalau sedikit sekali guru yang melakukannya
secara serius.
Sukarlah murid
memakai logika yang benar kalau perdebatan di DPR lebih sering dimuati emosi
dan interupsi yang tidak sopan, kalau tayangan televisi memperlihatkan sidang
pengadilan yang memaparkan logika amburadul, kalau tayangan pengajaran agama di
media sering juga tidak logis dan merangsang kebencian. Tak mudahlah anak tak
boleh tertidur di kelas atau ruang ceramah kalau mereka dipaksa bangun pagi
buta demi lalu lintas para bapak-ibu, dan juga tak disapa dengan bahasa
anak-anak oleh aneka pidato seperti pada Hari Anak Nasional.
Masyarakat yang
Sakit
Rupanya benar
pendapat: perilaku murid kita adalah cermin tindakan dan sikap orang-orang yang
lebih tua dalam masyarakat dan agama. Salahkah si cermin kalau memantulkan
gambar yang terpampang di depan mereka secara apa adanya? Jangan-jangan
kemarahan sejumlah orang adalah tanda bahwa tingkah lakunya justru secara
gamblang terpampang dalam anak-anak kita sendiri. Sebutan lain adalah ”itulah
proyeksi dari kritik diri”.
Murid yang membunuh
teman memang perlu ditindak dan dihukum sesuai usia dan sifat pendidikan. Bila
tidak dipertimbangkan dan diputuskan dengan bijaksana, tidaklah perlu disesali
kalau bulan depan akan ada anak mati lagi karena dicelurit temannya atau korban
kebejatan orang dewasa. Menghukum itu mudah, mendidik itu maharumit. Apalagi
kalau tugas guru direcoki oleh orangtua yang tak terdidik atau pelayan publik
yang merusak tata susila, atau pemuka agama yang kurang peka, atau pengaturan
kementerian yang membanjiri guru/dosen dengan lautan tugas administratif
sehingga guru tak punya cukup waktu untuk interaksi subyek-subyek dengan murid.
Masalah tawuran dan
kenakalan remaja adalah cermin keadaan masyarakat sendiri. Murid nakal bukan
akar masalah, tetapi korban masalah kemasyarakatan. Saling menyiksa antarmurid
sampai saling bunuh adalah cermin dari masyarakat yang mudah melakukan
”pembunuhan karakter”, merangsang kebencian, menghancurkan sportivitas,
memalsukan kerohanian dengan topeng kepentingan ekonomis/politis, dan
sejenisnya.
Sayang kalau kita
memecah cermin karena lalu kita tak bisa/berani melihat wajah awak yang buruk
juga. Marilah kita buka kedok retorika dan statistik yang menonjolkan Indonesia
yang anonim dan impersonal, sehingga mendapat pujian semu dari luar negeri.
Jadi, catatan utama
adalah ”cermin kok dibelah”, padahal ”muka yang buruk”. Pun kalau orang luar
negeri dengan sopan memuji seakan-akan kita ini cantik atau tampan berkat
kosmetik dan kemasan yang akan lapuk dimakan masa. Sebab, yang dibunuh dan
dihancurkan adalah murid, pemuda-pemudi, anak- anak kita; bukan sekadar beberapa
nomor induk sekolah (rendah-menengah-tinggi), obyek tindak administratif atau
materi pengumpulan data.
Sumber: Kompas, 8
Oktober 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!