Headlines News :
Home » » Ihwal Penyidik Independen KPK

Ihwal Penyidik Independen KPK

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, October 09, 2012 | 7:59 AM


Oleh Achmad Fauzi
Hakim Pengadilan Agama Kotabaru, Kalimantan Selatan

UJI kompetensi calon penyidik independen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah dihelat. Proses rekrutmen yang diikuti kalangan internal KPK ini dilakukan untuk mengatasi krisis penyidik setelah Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) tidak bersedia memperpanjang penugasan 20 penyidik yang bertugas di KPK. Sehingga, kerja KPK diharapkan tetap berjalan maksimal di tengah setumpuk kasus yang ditangani.

Namun, momentum ini sejatinya juga sangat tepat untuk mendongkrak bangunan independensi KPK dalam menjalankan tugas dan kewenangannya memberantas korupsi. Perekrutan penyidik independen dapat mengeliminasi ketergantungan KPK terhadap kepolisian dan kejaksaan. Sehingga penyidik KPK tidak mengalami problem struktural, benturan garis komando, dan beban psikologis ketika memeriksa kasus yang melibatkan petinggi kepolisian dan kejaksaan. Pengalaman negara-negara berkembang Hong Kong dan Singapura membuktikan bahwa penyidik dan penuntut independen terbukti sangat membantu pemberantasan korupsi.

Karena itu, jika proses rekrutmen ini berhasil, penyidik KPK nanti akan diisi sumber daya manusia berpengalaman mumpuni. Mereka terlatih melakukan investigasi, pendidikan karakter independen, kejujuran dan profesionalisme yang dilatih secara khusus di Australia maupun Federal Bureau of Investigation (FBI), Amerika Serikat. Bahkan calon penyidik yang diseleksi saat ini sudah menjalankan fungsi-fungsi seperti penyidik.Kemampuan mereka tidak diragukan lagi karena mereka orang dalam yang selama ini juga menjalankan tugas-tugas hampir sama.

Namun, benarkah posisi penyidik independen KPK memiliki dasar hukum yang kuat dalam tata perundang-undangan kita? Menurut pasal 45 UU No 30 Tahun 2002 Tentang KPK disebutkan bahwa penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebagian pengamat hukum menafsir frasa ini sebagai bentuk pemberian kewenangan bagi KPK untuk merekrut penyidik independen dari internal KPK. Dengan kata lain, pasal tersebut tidak mengharuskan penyidik KPK berasal dari kepolisian dan kejaksaan.

Namun, landasan yuridis tersebut dipatahkan oleh sebagian pengamat hukum lainnya karena ada pasal lain yang dianggap mengatur keharusan merekrut penyidik dari kepolisian dan kejaksaan. Pasal 39 ayat 3 disebutkan bahwa penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada KPK diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai KPK. Begitu pula pasal 1 UU No 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang mengatur klasifikasi dan latar belakang penyidik.

Menanggapi dua penafsiran tersebut, saya mencoba menggabungkan semangat kedua pemahaman itu dalam satu gagasan utama. Bahwa iktikad memiliki penyidik independen adalah gagasan yang baik dan merupakan conditio sine qua non mengingat peta kerja KPK saat ini cenderung membidik perkara besar yang melibatkan pemangku kekuasaan. Dari perspektif kepentingan sosial, hal itu jelas memiliki akar dukungan yang kuat dari masyarakat mengingat korupsi telah meracuni kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, harus dipikirkan pula bahwa regulasi normatif merupakan perangkat yang tak boleh diabaikan begitu saja mengingat wewenang dan tugas kerja KPK merupakan proses hukum yang harus dilaksanakan sesuai peraturan yang berlaku. Apalah artinya jika penyidik independen KPK tidak memiliki landasan hukum yang mengikat, sehingga di kemudian hari kerja penyidikan dimentahkan kewenangannya dalam sidang praperadilan. Karena itu, kejelasan penafsiran tentang boleh-tidaknya merekrut penyidik independen perlu dijernihkan sejak sekarang.

Dikemukakan dalam pasal 38 ayat 1 UU KPK bahwa segala kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam UU No 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada KPK. Itu berarti, hukum acara yang diatur dalam KUHAP berlaku sebagai pedoman, kecuali yang diatur secara khusus dalam UU KPK sebagai lex specialis. Sementara KUHAP hanya mengenal dua penyidik, yakni penyidik yang berasal dari pejabat kepolisian dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh UU untuk melakukan penyidikan (pasal 6 ayat 1 UU No 8 Tahun 1981).

Penyidik dari kepolisian dalam kondisi sekarang perlu dikaji ulang, kalau tidak mau dikatakan dipangkas habis. Sebab, dalam jangka pendek KPK saat ini tengah membidik kasus besar pengadaan simulator SIM di korps kepolisian. Hal ini membutuhkan semangat independensi dan profesionalisme penyidikan, sehingga proses pengungkapan kejahatan luar biasa itu tidak mengenal adat ewuh pakewuh. Sedangkan dalam jangka panjang, penyidik independen akan mampu membangun kewibawaan dan bebas dari kepentingan manapun, kecuali untuk semata-mata penegakan hukum.

Sementara Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) banyak dijumpai di berbagai instansi atau departemen. Undang-undang memberikan kewenangan pada PPNS untuk terlibat dalam proses penyidikan. Harapannya, proses penyidikan dapat diperiksa dan diselesaikan secara cepat, tepat dan bermuara pada terungkapnya suatu peristiwa tindak pidana.

Namun dalam beberapa kasus, silang sengkarut kewenangan penyidikan antara Polri dan PPNS kerap terjadi. Seperti terjadi pada kasus gugatan Abdul Waris Halid, tersangka kasus penyelundupan gula putih import pada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq Badan Reserse Kriminal Polri Cq Direktur II Ekonomi dan Khusus, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Gugatan praperadilan terhadap institusi Polri dilakukan karena dianggap melampaui wewenang penyidikan. Dalam putusannya, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan bahwa penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh termohon, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq Badan Reserse Kriminal Polri Cq Direktur II Ekonomi dan Khusus, adalah tidak sah karena yang berwenang adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, sesuai dengan Pasal 112 Undang-undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan Jo Pasal 6 Undang-undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Jo Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 1981. Karena itu, supaya penyidik independen KPK memiliki landasan hukum yang kuat, perlu terlebih dahulu disusun perubahan UU yang mengatur tentang penyidik independen KPK.
Sumber: Jurnal Nasional, 9 Oktober 2012
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger