Oleh Achmad Fauzi
Hakim Pengadilan
Agama Kotabaru, Kalimantan Selatan
UJI kompetensi
calon penyidik independen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah dihelat.
Proses rekrutmen yang diikuti kalangan internal KPK ini dilakukan untuk
mengatasi krisis penyidik setelah Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia
(Mabes Polri) tidak bersedia memperpanjang penugasan 20 penyidik yang bertugas
di KPK. Sehingga, kerja KPK diharapkan tetap berjalan maksimal di tengah
setumpuk kasus yang ditangani.
Namun, momentum ini
sejatinya juga sangat tepat untuk mendongkrak bangunan independensi KPK dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya memberantas korupsi. Perekrutan penyidik
independen dapat mengeliminasi ketergantungan KPK terhadap kepolisian dan
kejaksaan. Sehingga penyidik KPK tidak mengalami problem struktural, benturan
garis komando, dan beban psikologis ketika memeriksa kasus yang melibatkan
petinggi kepolisian dan kejaksaan. Pengalaman negara-negara berkembang Hong
Kong dan Singapura membuktikan bahwa penyidik dan penuntut independen terbukti
sangat membantu pemberantasan korupsi.
Karena itu, jika
proses rekrutmen ini berhasil, penyidik KPK nanti akan diisi sumber daya
manusia berpengalaman mumpuni. Mereka terlatih melakukan investigasi,
pendidikan karakter independen, kejujuran dan profesionalisme yang dilatih
secara khusus di Australia maupun Federal Bureau of Investigation (FBI),
Amerika Serikat. Bahkan calon penyidik yang diseleksi saat ini sudah
menjalankan fungsi-fungsi seperti penyidik.Kemampuan mereka tidak diragukan
lagi karena mereka orang dalam yang selama ini juga menjalankan tugas-tugas
hampir sama.
Namun, benarkah
posisi penyidik independen KPK memiliki dasar hukum yang kuat dalam tata
perundang-undangan kita? Menurut pasal 45 UU No 30 Tahun 2002 Tentang KPK
disebutkan bahwa penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi
yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebagian
pengamat hukum menafsir frasa ini sebagai bentuk pemberian kewenangan bagi KPK
untuk merekrut penyidik independen dari internal KPK. Dengan kata lain, pasal
tersebut tidak mengharuskan penyidik KPK berasal dari kepolisian dan kejaksaan.
Namun, landasan
yuridis tersebut dipatahkan oleh sebagian pengamat hukum lainnya karena ada
pasal lain yang dianggap mengatur keharusan merekrut penyidik dari kepolisian
dan kejaksaan. Pasal 39 ayat 3 disebutkan bahwa penyelidik, penyidik dan
penuntut umum yang menjadi pegawai pada KPK diberhentikan sementara dari
instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai KPK. Begitu pula pasal
1 UU No 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang mengatur klasifikasi dan
latar belakang penyidik.
Menanggapi dua
penafsiran tersebut, saya mencoba menggabungkan semangat kedua pemahaman itu
dalam satu gagasan utama. Bahwa iktikad memiliki penyidik independen adalah
gagasan yang baik dan merupakan conditio sine qua non mengingat peta kerja KPK
saat ini cenderung membidik perkara besar yang melibatkan pemangku kekuasaan.
Dari perspektif kepentingan sosial, hal itu jelas memiliki akar dukungan yang
kuat dari masyarakat mengingat korupsi telah meracuni kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Namun, harus
dipikirkan pula bahwa regulasi normatif merupakan perangkat yang tak boleh
diabaikan begitu saja mengingat wewenang dan tugas kerja KPK merupakan proses
hukum yang harus dilaksanakan sesuai peraturan yang berlaku. Apalah artinya
jika penyidik independen KPK tidak memiliki landasan hukum yang mengikat,
sehingga di kemudian hari kerja penyidikan dimentahkan kewenangannya dalam
sidang praperadilan. Karena itu, kejelasan penafsiran tentang boleh-tidaknya
merekrut penyidik independen perlu dijernihkan sejak sekarang.
Dikemukakan dalam
pasal 38 ayat 1 UU KPK bahwa segala kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan yang diatur dalam UU No 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana,
berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada KPK. Itu
berarti, hukum acara yang diatur dalam KUHAP berlaku sebagai pedoman, kecuali
yang diatur secara khusus dalam UU KPK sebagai lex specialis. Sementara KUHAP
hanya mengenal dua penyidik, yakni penyidik yang berasal dari pejabat
kepolisian dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh UU untuk melakukan penyidikan (pasal 6 ayat 1 UU No 8 Tahun 1981).
Penyidik dari
kepolisian dalam kondisi sekarang perlu dikaji ulang, kalau tidak mau dikatakan
dipangkas habis. Sebab, dalam jangka pendek KPK saat ini tengah membidik kasus
besar pengadaan simulator SIM di korps kepolisian. Hal ini membutuhkan semangat
independensi dan profesionalisme penyidikan, sehingga proses pengungkapan
kejahatan luar biasa itu tidak mengenal adat ewuh pakewuh. Sedangkan dalam
jangka panjang, penyidik independen akan mampu membangun kewibawaan dan bebas
dari kepentingan manapun, kecuali untuk semata-mata penegakan hukum.
Sementara Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) banyak dijumpai di berbagai instansi atau
departemen. Undang-undang memberikan kewenangan pada PPNS untuk terlibat dalam
proses penyidikan. Harapannya, proses penyidikan dapat diperiksa dan
diselesaikan secara cepat, tepat dan bermuara pada terungkapnya suatu peristiwa
tindak pidana.
Namun dalam
beberapa kasus, silang sengkarut kewenangan penyidikan antara Polri dan PPNS
kerap terjadi. Seperti terjadi pada kasus gugatan Abdul Waris Halid, tersangka
kasus penyelundupan gula putih import pada Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Cq Badan Reserse Kriminal Polri Cq Direktur II Ekonomi dan Khusus, di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Gugatan
praperadilan terhadap institusi Polri dilakukan karena dianggap melampaui
wewenang penyidikan. Dalam putusannya, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
menyatakan bahwa penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh termohon, Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq Badan Reserse Kriminal Polri Cq
Direktur II Ekonomi dan Khusus, adalah tidak sah karena yang berwenang adalah
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, sesuai dengan
Pasal 112 Undang-undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan Jo Pasal 6
Undang-undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Jo Peraturan
Pemerintah No 55 Tahun 1981. Karena itu, supaya penyidik independen KPK
memiliki landasan hukum yang kuat, perlu terlebih dahulu disusun perubahan UU
yang mengatur tentang penyidik independen KPK.
Sumber: Jurnal
Nasional, 9 Oktober 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!