Oleh Azis Anwar
Fachrudin
Analis Politik
Islam;
Pengajar di Ponpes
Nurul Ummah, Kotagede
SATU kata yang
cukup meramaikan kegaduhan politik ihwal penjatuhan status tersangka kepada
mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) oleh
KPK ialah `konspirasi'. Kata itu semakin banyak dibicarakan dan dijadikan bahan
ledekan oleh lawan politik PKS sejak pidato Presiden PKS yang baru Anis Matta
mengarah ke kesimpulan bahwa ada konspirasi dalam aksi penangkapan KPK itu.
Anis Matta kemudian menyerukan `tobat nasional'.
Tuduhan konspirasi
itu menyiratkan pesan ada persekongkolan di balik penahanan LHI. Salah satu
alasan yang dipakai yaitu KPK kini telah menjadi alat politik untuk menggembosi
partai politik (parpol) tertentu. Ada juga desas-desus yang mengisukan beberapa
hari sebelum KPK menahan LHI, ada perwakilan dari Kedubes Amerika Serikat yang
mendatangi KPK. Faktanya juga, yang kemudian turut dijadikan alat justifikasi
bagi konspirasi itu, ialah LHI dinyatakan sebagai tersangka tidak lebih dari
sehari. Itu tidak lazim.
Intinya, dengan
mengajukan teori konspirasi itu, PKS telah melakukan bentuk komunikasi politik
`pengingkaran' (denial). Komunikasi jenis itu biasanya terjadi ketika sebuah
figur atau parpol mengalami keguncangan psikologis. Hal itu cukup wajar. Dengan
membawa beban moral sebagai partai `bersih', tentu saja tuduhan korupsi
merupakan aib terbesar, menyasar ke jantung kekuatan tawar (bargaining power)
parpol, apalagi langsung menimpa (mantan) presidennya.
PKS terkena tsunami
politik. Publik menghakimi dengan opini secara kejam. Meminjam istilah
dari Alquran, “Murka besar (kabura maqtan) dari sisi Allah jika kalian berkata
apa yang tidak kalian lakukan (QS 61: 3).“ Kasus itu telah membawa PKS mendapat
`murka besar' itu dari publik. Dalam implementasi demokrasi di Indonesia selama
ini, kita memang susah menafikan fakta bahwa publik menjadi hakim, yang
kadang-kadang arogan, bagi setiap tindak-tanduk elite parpol. Tentu saja itu
membawa keguncangan psikologis yang akut.
Keguncangan
psikologis semacam itu biasanya membawa kekalutan sehingga figur atau parpol
yang bersangkutan terbawa emosi. Maka, mulailah dicari beberapa alasan
pembenar. Di antaranya, yang paling praktis, ialah dengan lepas tangan:
mengingkari keterlibatan dirinya dalam korupsi itu lalu mengalihkan tanggung
jawab ke pihak lain. Di situlah hulu `teori konspirasi' itu.
Plus-Minus
Tuduhan adanya
konspirasi memang bisa `bermanfaat' bagi PKS dan kader konstituen mereka,
konstituen mereka, setidaknya dalam dua hal. Pertama, dengan mengutarakan
adanya konspirasi, PKS minimal bisa mengatakan kepada publik akan adanya
tangan-tangan tak terlihat (invisible hands) yang bermain di balik layar.
Dengan model
tuduhan semacam itu, PKS tentu saja bisa mengurangi beban untuk menjawab soal
siapa musuh itu, sebab memang tak terlihat. Namanya saja konspirasi. Kedua,
konspirasi sudah menjadi bagian dari pembentukan ideologi (ideology framing)
dari PKS sendiri. Secara umum itu merupakan watak gerakan sosial ala
`Islamisme'.
Dalam teori gerakan
sosial, dikenal tiga pola pembangunan basis massa, yakni 1) political
opportunity structure (struktur kesempatan politik), 2) resource mobilization
(mobilisasi sumber daya), dan 3) collective action frame (pembingkaian aksi
kolektif).
Untuk bisa
membangun basis massa yang kuat dan mem bingkai aksi kolektif dari pada kader
loyal mereka, mesti ada musuh bersama. Di sanalah teori kon spirasi dengan
efektif bermain. Biasanya, yang dijadikan musuh bersama adalah Zionis dan
Amerika.
Walhasil, dengan
mengajukan teori konspirasi dalam kasus suap impor daging itu, PKS sudah
menyelam sambil minum air, mengalihkan tanggung jawab dan mempertahankan
loyalitas basis massa mereka. Faktanya, soal konspirasi itu cukup ramai
diutarakan beberapa kader PKS di jejaring sosial.
Meski demikian,
yang dikhawatirkan, tafsir politik konspiratif itu bisa jadi bumerang. Jika
salah, ia akan berbalik menyerang logika politik yang dibangun PKS: betapa
emosional partai Islam itu menanggapi setiap makar. Selain itu, kilah tersebut
susah dipercaya. Jika melihat rekam
jejak KPK selama ini, KPK belum pernah menjatuhkan status tersangka tanpa ada
bukti yang kuat terlebih dahulu.
Di samping itu, KPK
selama ini banyak menyasar para elite parpol yang sedang berkuasa. Kita tak bisa
pura-pura lupa dengan Nazaruddin, Angelina Sondakh, Hartati Murdaya, dan Andi
Mallarangeng: adakah mereka juga terjebak konspirasi sebagaimana yang kini
dialami LHI? Lagi pula, KPK akan terkesan bodoh jika menjatuhkan status
tersangka kepada LHI tanpa bukti. Padahal, di antara bukti itu ada, misalnya
penyadapan telepon dan tegasnya fakta penangkapan tangan AF itu. Soal cepat
jatuhnya status tersangka itu, sebagaimana disebutkan beberapa pakar hukum,
bisa dipahami bahwa itu bagian dari proses penyidikan.
Maka dari itu, pada
hemat saya, sikap yang elegan bagi PKS ialah, jika memang ada yang salah,
utarakan permohonan maaf kepada publik. Saya kira itu bisa
lebih menumbuhkan rasa simpati, seperti ketika publik memberikan rasa salutnya
kepada Andi Mallarangeng ketika mundur dari Demokrat dan dari jabatan menpora
setelah jadi tersangka.
Memperbaiki Citra
Kasus yang menimpa
PKS itu membawa kita ke memori tentang kebijakan purba di Jawa: adigang,
adigung, adiguna--sebuah peringatan kepada yang berkuasa (adigang), berpunya
(adigung), dan berpengetahuan (adiguna) untuk tidak jemawa, sebab suatu saat ia
akan dimintai pertanggungjawaban.
Orang Jawa amat
perhatian dengan citra (ajining diri). Citra, dalam memori orang Jawa, besar
pengaruhnya terhadap penilaian diri dan moralitasnya. Tsunami politik
yang meluluhlantakkan jantung citra PKS itu jelas bisa berimbas besar pada
citra. Pertama, ia bisa berujung pada demoralisasi terhadap para kader mereka
di level akar rumput. Kedua, yang lebih besar dari itu, ia bisa menimpa citra
partai Islam pada umumnya: tidak ada jaminan bahwa Islam sebagai asas partai
lantas membuat suatu partai tampil lebih islami jika dibandingkan dengan
partai-partai sekuler lainnya. Tanggung jawab terbesar untuk memperbaiki citra,
tentu saja, ada pada para kader.
Sumber: Media Indonesia,
13 Februari 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!