PAGI sekitar pukul 06.00 WITA, beberapa tahun silam, kapal fery rute Kupang-Larantuka merapat di dermaga fery Waibalun. Saya masih berada di perut kapal yang dioperasikan PT ASDP NTT. Menunggu antrian mobil yang akan keluar ke bibir dermaga. Penumpang kali ini membludak. Mestinya saya butuh 45 menit dengan pesawat Trans Nusa Kupang-Lewoleba. Sejak di Jakarta, saya lebih cepat tiba di kampung dengan Trans Nusa agar punya banyak waktu libur dengan kedua orangtua dan keluarga besar.
Kali ini saya memilih naik fery menuju Waibalun. Sekadar mau nikmati kembali susana jalur laut seperti pertama kali menempuh waktu tiga hari tiga malam dengan kapal barang saat pertama kali ke Kupang tahun 90-an. Saya pingin merasakan dan melihat kembali bagaimana wajah penumpang yang kebanyakan orang kampung, karung-karung yang penuh ikan, ubi kayu, jagung titi, ana pisang bertandan-tandan baku tindis di perut fery. Mengasyikkan, tentu. Dan kalau tiba Waibalun, kampung nan asri di bibir pantai itu bisa memanjakan mata menyaksikan menara kapel unik di Waibalun.
Waibalun juga akan menguras ingatan saya pada putra-putri asal kampung ini yang menjadi penulis dan wartawan hebat. Seingat saya ada sosiolog Ignasius Nasu Kleden alias Dr Ignas Kleden; tuan Dr Leo Kleden SVD; Stephie Kleden-Beetz, wartawati yang lama netap di Jerman; General Superior SVD Sedunia Dr Paulus Budi Kleden, SVD; kaka oa Hermien Y Kleden, wartawati TEMPO yang kalau menulis macam tau semua, Suban Kleden di Media Indonesia, Anzys Kleden di Indonesia Observer, yang pernah sama-sama satu pesawat saat liputan kasus marmer di pedalaman SoE, TTS; senior saya Tony Kleden, dan lain-lain.
Saat fery menyentuh bibir dermaga, mata saya arahkan ke daratan. Mencoba mencari-cari rekan Emanuel Kia Belan Tokan. Eman, si penjemput ini "mendapat tugas" dadakan menjemput saya setelah ia ijin di kantornya, Polres Larantuka. Setelah saya pastikan beliau sudah stand by, saya segera menyiapkan koper dan satu dus barang bawaan saya. Kia Belan langsung masuk ke dalam perut fery dan kami segera meluncur merapat ke mobil pribadinya. "Barang-barang ini saja? Kita langsung naikkan ke mobil, teman. Kita sarapan dulu di warung sebelum ke rumah saya," kata Eman. "Kau punya jabatan apa di Polres? Engko macam disapa sana sini begitu sopan oleh petugas penjaga pintu masuk atau para penumpang dan masyarakat di pelabuhan," kata saya saat kami berdua dalam mobil. Sepertinya agak malu-malu menjawab tapi akhirnya ia buka suara. "Saya diberi tugas pimpinan sebagai Kasat Reskrim Polres," kata Eman. "Wah jabatan ini biasa bekerja dalam senyap. Kali ini saya macam pelaku kriminal yang ditangkap Pak Kasat Reskrim," kata saya. Kami dua ketawa ngakak.
Tiba di rumah Eman, telepon selular saya berdering. Epy, sekretaris redaksi dari kantor menelpon kalau ada koper yang disimpan di salah seorang rumah warga. Saya baru sadar kalau koper saya mungkin keliru diambil kenek, sopir atau penumpang lain saat kami berada di dermaga dan nyasar di rumah seorang warga Waibalun. Kopor itu diamankan si orang rumah. "Kata si bapa itu, koper mas disimpan si bapak itu. Si orang rumah itu tahu koper milik wartawan setelah melihat identitas mas di saku koper. Ini nomor telpon beliau. Mas bisa ambil barang itu sekarang," kata Epy.
Saya baru sadar kopor saya keliru dibawa penumpang lain. Segera kami dua meluncur ke alamat rumah itu. Saat hendak masuk halaman, banyak warga berdatangan karena tahu wajah Kasat Reskrim Polres Larantuka. Dikira Kasat dan "anggotanya" sedang mencari pelaku kejahatan. "Saya ambil tas teman yang ketinggalan dan dibawah kemudian diamankan di sini," kata Eman. Segera kami balik ke rumah dan "terima kasih" meluncur ke keluarga yang amankan koper saya.
Saya, Eman Tokan, dan seorang teman dari Ende, Gerardus Ratu, sama-sama tinggal di rumah bujang (kos) di daerah Bluwa, Kelurahan Lewoleba Barat, Kecamatan Nubatukan, Lembata tahun 1988-1989. Kami juga sama-sama satu almamater: SMA Kawula Karya Lewoleba. Hidup di kos saat itu agak berat dalam banyak hal. Terutama makan minum. Setiap satu atau dua minggu, Eman ke Honihama, kampungnya sekadar ambil bekal. Ambil bekal dalam bayangan saya pulangnya bisa bawa satu karung beras jagung atau padi. Seperti juga kalau saya pulang kampung, pasti bawa satu karung (20 kg) beras merah. "Kami di Honihama tida ada beras, teman. Cuma bawa beras jagung satu kaleng dan jagung titi di klombu," kata Eman. Beras jagung satu kaleng isinya tak sampai dua kilogram untuk bekal seminggu. Sedang Geradus, ambil tuak koli untuk kami minum pagi sebeluk ke sekolah setelah tak laku jual di pasar. Kalau laku artinya kami bisa paka beli lauk atau beras.
Kondisi ekonomi yang sulit kala itu bikin saya putar otak. Kalau gaya makan begini maka akhir tahun daging dan otot bisa musnah akibat minim asupan gizi. "Bagaimana kalau kita tiga ke kampung saya agar kita punya stok banyak beras merah. Tapi kita tiga harus jalan kaki pigi-pulang 24 kilo meter," kata saya ke Eman dan Gerardus. Gerardus, anak Ende dari Desa Kolibewan ini malah senang. Mau liat kampung saya. Eman menyesuaikan karena selama ini mungikin dimanjakan dengan tena (perahu) Rayuan Kelapa ke dermaga kecil tak jauh dari Honihama. Setelah oke kami minta ijin guru agar Sabtu kami pulang sekolah lebih awal. Alasannya kami pigi Boto (kampung saya) untuk ambil bekal. Klombu, karung dan serbet kami siapkan ke Boto. "Kita tiga jalan santai saja. Kalau cape, kita istirahat makan jagung titi dulu dan minum air kali (sungai)," kata saya.
Minggu dini hari sekitar jam tiga kami tiba di Boto. Sejak di dusun Lamalewar, ulu hati Eman terasa sakit. Saya menduga ia kelelahan naik turun bukit atau karena rute yang jauh. "Jantung saya rasanya mau berhenti berdetak, teman. Badan saya juga rasa lemas sekali. Saya rasa macam ada suanggi yang buat (santet) saya. Saya bisa mati di sini, teman," kata Eman saat tiba di kampung. Kami dua Gerardus ketawa. "Kau punya ulu hati sakit itu kerna kita jalan jauh. Kau istirahat saja. Paling juga satu atau dua jam sudah baik," kata Gerardus dengan logat Ende. "Engko jangan main-main. Saya punya jantung ini mau bergenti bekerja. Saya curiga kena suanggi," ujar Eman menimpali. "Eja, jangan sampe di sini ada suanggi?" tanya Gerardus kepada saya. "Suanggi ada kaki kah? Suanggi engko pernah liat di Ende," kata saya. Kami tiga ketawa. "Ngero...... Bukan soal ada kaki atau tida. Tapi ini Eman sakit bisa saja ada suanggi bikin," timpal Gerardus. "Kau masih beragama kah? Kalo kau masih punya agama kau doa saja, ngero," kata saya.
Kami bertiga ketawa sambil makan jagung titi dan nikmati kopi panas Boto. Ulu hati Eman tidak sakit lagi dan jantung berdetak normal. Rupanya sakit Eman Minggu kemarin akhirnya memberinya kemudahan. Kembali ke Lewoleba, ia hanya tenteng jagung titi bekal kami. Saya dan Gerardus yang bertugas pikul beras di klombo. Ekonomi rumah bujang akan stabil selama seminggu ke depan.
Tuhan sungguh baik. Kami berpisah puluhan tahun. Gerardus Ratu kembali ke Ende usia sekolah di SMA Kawula Karya. Saya kehilangan jejak sahabat baik ini. Sedang Eman Tokan saya ketemu di sela-sela kampanye Calon Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat-Calon Wakil Gubernur Josef A Nae Soi di Lapangan Bola Ile Mandiri Larantuka, akhir Februari 2018. Ia bersama rekan-rekannya dari Polres Larantuka ikut mengamankan jalannya kampanye Victory Joss. "Pak Viktor Laiskodat dan Pak Jos Nae Soi beri bantuan Rp. 800 juta untuk Masjid Raya Larantuka apa mereka sangat kaya kah?" tanya Eman saat kami makan malam di depan Pelabuhan Larantuka.
Saya menduga ia penasaran dengan sosok Viktor Laiskodat dan Josef Nae Soi. Keduanya pernah sama-sama jadi anggota DPR RI. "Pak Viktor dan Pak Jos itu orang yang sudah selesai dengan dirinya. Pak Viktor bawa pesawat pribadi macam kita naik oto pribadi rute Lewoleba-Boto," kata saya. "Tapi begimana teman bisa bantu Pak Viktor Laiskodat sebagai staf di DPR RI?," tanya Eman. "Hidup ini kan rahasia Tuhan. Kita cukup jalani saja. Macam dulu kita hidup di rumah bujang saat SMA," ujar saya. Kami ketawa. Eman menawarkan saya makan daging ayam potong. Saya menolak dan memilih menikmati kuah asam ikan segar Nagi. Usai menjadi Kasat Reskrim, kini Eman dipercaya atasannya jadi Kapolsek Adonara Timur. Wilayah hukum tugas Eman berhadapan muka dengan Polsek Adonara Barat, yang saat ini tengah dilanda soal suanggi.
Hari ini, sahabat baik saya, Emanuel Kia Belan Tokan merayakan Ulang Tahun ke-48. Semoga tugas muliamu sebagai pelindung dan pengayom masyarakat mendapat berkat Tuhan dan restu leluhur lewotana. Selamat Ulang Tahun, sahabat. Doaku semoga sehat selalu dan penuh berkat dalam tugas serta karyamu sekeluarga. Salam ke Nusa Tadon Adonara, Pulau Romantis di Lewotana.
Kali ini saya memilih naik fery menuju Waibalun. Sekadar mau nikmati kembali susana jalur laut seperti pertama kali menempuh waktu tiga hari tiga malam dengan kapal barang saat pertama kali ke Kupang tahun 90-an. Saya pingin merasakan dan melihat kembali bagaimana wajah penumpang yang kebanyakan orang kampung, karung-karung yang penuh ikan, ubi kayu, jagung titi, ana pisang bertandan-tandan baku tindis di perut fery. Mengasyikkan, tentu. Dan kalau tiba Waibalun, kampung nan asri di bibir pantai itu bisa memanjakan mata menyaksikan menara kapel unik di Waibalun.
Waibalun juga akan menguras ingatan saya pada putra-putri asal kampung ini yang menjadi penulis dan wartawan hebat. Seingat saya ada sosiolog Ignasius Nasu Kleden alias Dr Ignas Kleden; tuan Dr Leo Kleden SVD; Stephie Kleden-Beetz, wartawati yang lama netap di Jerman; General Superior SVD Sedunia Dr Paulus Budi Kleden, SVD; kaka oa Hermien Y Kleden, wartawati TEMPO yang kalau menulis macam tau semua, Suban Kleden di Media Indonesia, Anzys Kleden di Indonesia Observer, yang pernah sama-sama satu pesawat saat liputan kasus marmer di pedalaman SoE, TTS; senior saya Tony Kleden, dan lain-lain.
Saat fery menyentuh bibir dermaga, mata saya arahkan ke daratan. Mencoba mencari-cari rekan Emanuel Kia Belan Tokan. Eman, si penjemput ini "mendapat tugas" dadakan menjemput saya setelah ia ijin di kantornya, Polres Larantuka. Setelah saya pastikan beliau sudah stand by, saya segera menyiapkan koper dan satu dus barang bawaan saya. Kia Belan langsung masuk ke dalam perut fery dan kami segera meluncur merapat ke mobil pribadinya. "Barang-barang ini saja? Kita langsung naikkan ke mobil, teman. Kita sarapan dulu di warung sebelum ke rumah saya," kata Eman. "Kau punya jabatan apa di Polres? Engko macam disapa sana sini begitu sopan oleh petugas penjaga pintu masuk atau para penumpang dan masyarakat di pelabuhan," kata saya saat kami berdua dalam mobil. Sepertinya agak malu-malu menjawab tapi akhirnya ia buka suara. "Saya diberi tugas pimpinan sebagai Kasat Reskrim Polres," kata Eman. "Wah jabatan ini biasa bekerja dalam senyap. Kali ini saya macam pelaku kriminal yang ditangkap Pak Kasat Reskrim," kata saya. Kami dua ketawa ngakak.
Tiba di rumah Eman, telepon selular saya berdering. Epy, sekretaris redaksi dari kantor menelpon kalau ada koper yang disimpan di salah seorang rumah warga. Saya baru sadar kalau koper saya mungkin keliru diambil kenek, sopir atau penumpang lain saat kami berada di dermaga dan nyasar di rumah seorang warga Waibalun. Kopor itu diamankan si orang rumah. "Kata si bapa itu, koper mas disimpan si bapak itu. Si orang rumah itu tahu koper milik wartawan setelah melihat identitas mas di saku koper. Ini nomor telpon beliau. Mas bisa ambil barang itu sekarang," kata Epy.
Saya baru sadar kopor saya keliru dibawa penumpang lain. Segera kami dua meluncur ke alamat rumah itu. Saat hendak masuk halaman, banyak warga berdatangan karena tahu wajah Kasat Reskrim Polres Larantuka. Dikira Kasat dan "anggotanya" sedang mencari pelaku kejahatan. "Saya ambil tas teman yang ketinggalan dan dibawah kemudian diamankan di sini," kata Eman. Segera kami balik ke rumah dan "terima kasih" meluncur ke keluarga yang amankan koper saya.
Saya, Eman Tokan, dan seorang teman dari Ende, Gerardus Ratu, sama-sama tinggal di rumah bujang (kos) di daerah Bluwa, Kelurahan Lewoleba Barat, Kecamatan Nubatukan, Lembata tahun 1988-1989. Kami juga sama-sama satu almamater: SMA Kawula Karya Lewoleba. Hidup di kos saat itu agak berat dalam banyak hal. Terutama makan minum. Setiap satu atau dua minggu, Eman ke Honihama, kampungnya sekadar ambil bekal. Ambil bekal dalam bayangan saya pulangnya bisa bawa satu karung beras jagung atau padi. Seperti juga kalau saya pulang kampung, pasti bawa satu karung (20 kg) beras merah. "Kami di Honihama tida ada beras, teman. Cuma bawa beras jagung satu kaleng dan jagung titi di klombu," kata Eman. Beras jagung satu kaleng isinya tak sampai dua kilogram untuk bekal seminggu. Sedang Geradus, ambil tuak koli untuk kami minum pagi sebeluk ke sekolah setelah tak laku jual di pasar. Kalau laku artinya kami bisa paka beli lauk atau beras.
Kondisi ekonomi yang sulit kala itu bikin saya putar otak. Kalau gaya makan begini maka akhir tahun daging dan otot bisa musnah akibat minim asupan gizi. "Bagaimana kalau kita tiga ke kampung saya agar kita punya stok banyak beras merah. Tapi kita tiga harus jalan kaki pigi-pulang 24 kilo meter," kata saya ke Eman dan Gerardus. Gerardus, anak Ende dari Desa Kolibewan ini malah senang. Mau liat kampung saya. Eman menyesuaikan karena selama ini mungikin dimanjakan dengan tena (perahu) Rayuan Kelapa ke dermaga kecil tak jauh dari Honihama. Setelah oke kami minta ijin guru agar Sabtu kami pulang sekolah lebih awal. Alasannya kami pigi Boto (kampung saya) untuk ambil bekal. Klombu, karung dan serbet kami siapkan ke Boto. "Kita tiga jalan santai saja. Kalau cape, kita istirahat makan jagung titi dulu dan minum air kali (sungai)," kata saya.
Minggu dini hari sekitar jam tiga kami tiba di Boto. Sejak di dusun Lamalewar, ulu hati Eman terasa sakit. Saya menduga ia kelelahan naik turun bukit atau karena rute yang jauh. "Jantung saya rasanya mau berhenti berdetak, teman. Badan saya juga rasa lemas sekali. Saya rasa macam ada suanggi yang buat (santet) saya. Saya bisa mati di sini, teman," kata Eman saat tiba di kampung. Kami dua Gerardus ketawa. "Kau punya ulu hati sakit itu kerna kita jalan jauh. Kau istirahat saja. Paling juga satu atau dua jam sudah baik," kata Gerardus dengan logat Ende. "Engko jangan main-main. Saya punya jantung ini mau bergenti bekerja. Saya curiga kena suanggi," ujar Eman menimpali. "Eja, jangan sampe di sini ada suanggi?" tanya Gerardus kepada saya. "Suanggi ada kaki kah? Suanggi engko pernah liat di Ende," kata saya. Kami tiga ketawa. "Ngero...... Bukan soal ada kaki atau tida. Tapi ini Eman sakit bisa saja ada suanggi bikin," timpal Gerardus. "Kau masih beragama kah? Kalo kau masih punya agama kau doa saja, ngero," kata saya.
Kami bertiga ketawa sambil makan jagung titi dan nikmati kopi panas Boto. Ulu hati Eman tidak sakit lagi dan jantung berdetak normal. Rupanya sakit Eman Minggu kemarin akhirnya memberinya kemudahan. Kembali ke Lewoleba, ia hanya tenteng jagung titi bekal kami. Saya dan Gerardus yang bertugas pikul beras di klombo. Ekonomi rumah bujang akan stabil selama seminggu ke depan.
Tuhan sungguh baik. Kami berpisah puluhan tahun. Gerardus Ratu kembali ke Ende usia sekolah di SMA Kawula Karya. Saya kehilangan jejak sahabat baik ini. Sedang Eman Tokan saya ketemu di sela-sela kampanye Calon Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat-Calon Wakil Gubernur Josef A Nae Soi di Lapangan Bola Ile Mandiri Larantuka, akhir Februari 2018. Ia bersama rekan-rekannya dari Polres Larantuka ikut mengamankan jalannya kampanye Victory Joss. "Pak Viktor Laiskodat dan Pak Jos Nae Soi beri bantuan Rp. 800 juta untuk Masjid Raya Larantuka apa mereka sangat kaya kah?" tanya Eman saat kami makan malam di depan Pelabuhan Larantuka.
Saya menduga ia penasaran dengan sosok Viktor Laiskodat dan Josef Nae Soi. Keduanya pernah sama-sama jadi anggota DPR RI. "Pak Viktor dan Pak Jos itu orang yang sudah selesai dengan dirinya. Pak Viktor bawa pesawat pribadi macam kita naik oto pribadi rute Lewoleba-Boto," kata saya. "Tapi begimana teman bisa bantu Pak Viktor Laiskodat sebagai staf di DPR RI?," tanya Eman. "Hidup ini kan rahasia Tuhan. Kita cukup jalani saja. Macam dulu kita hidup di rumah bujang saat SMA," ujar saya. Kami ketawa. Eman menawarkan saya makan daging ayam potong. Saya menolak dan memilih menikmati kuah asam ikan segar Nagi. Usai menjadi Kasat Reskrim, kini Eman dipercaya atasannya jadi Kapolsek Adonara Timur. Wilayah hukum tugas Eman berhadapan muka dengan Polsek Adonara Barat, yang saat ini tengah dilanda soal suanggi.
Hari ini, sahabat baik saya, Emanuel Kia Belan Tokan merayakan Ulang Tahun ke-48. Semoga tugas muliamu sebagai pelindung dan pengayom masyarakat mendapat berkat Tuhan dan restu leluhur lewotana. Selamat Ulang Tahun, sahabat. Doaku semoga sehat selalu dan penuh berkat dalam tugas serta karyamu sekeluarga. Salam ke Nusa Tadon Adonara, Pulau Romantis di Lewotana.
Ansel Deri
Dok foto: Fb Emanuel Kia Belan Tokan alias Kian Okan
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!