Mantan Ketua Muda MA
PAGI tanggal 4 November 2013 saya baca di harian
Kompas tulisan yang berjudul "Benteng Terakhir Itu Mulai Retak dan
Goyah".
Berita yang ditulis di harian Kompas tersebut, yang
mengutip keterangan Suprapto ketika memberi kesaksian di depan sidang
pengadilan tindak pidana korupsi, pasti akan dibantah Hakim Agung Andi Ayyub
sebagai berita yang tidak benar.
Memang sekarang zamannya bantah-membantah. Namun,
betapa sengitnya orang membantah, kalau namanya sudah disebut lewat media
secara luas bahwa yang bersangkutan mau ditawari fee sampai ratusan juta
rupiah, hal tersebut mau tak mau akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat
akan penegakan keadilan di negeri ini.
Apa langkah selanjutnya yang akan ditempuh unsur
pimpinan Mahkamah Agung (MA)? Memanggil yang bersangkutan untuk diperiksa di
depan Majelis Kehormatan tentang hakim agung yang bersangkutan sudah melanggar
kode etik? Itu cara yang menurut saya, berdasarkan norma yang ada, terlalu
lunak dan tidak akan membuat jera.
Saya dulu pernah punya gagasan yang sempat saya
sampaikan kepada Pak Ali Said selaku Ketua MA saat itu, yakni agar hakim agung
yang sampai di-"isu"-kan (baru isu!) berbuat menjual perkara supaya
langsung dipecat saja tanpa ampun. Menurut saya, hakim agung harus betul-betul
bebas dari segala isu negatif: harus suci-bersih dari segala bentuk perbuatan
kotor.
Akan tetapi, apa kata Pak Ali Said? Katanya (dalam
bahasa Belanda), "Dan ben jij als pimpinan niet waard!" (Kalau
begitu, kamu tidak pantas jadi pimpinan).
Baiklah, memang saya tidak pernah sampai pada
kedudukan itu. Namun, bagi saya itu tidak menjadi masalah karena yang penting
dalam mengemban tugas sebagai hakim agung: kejujuran merupakan prinsip di atas
segalanya. Namun, seandainya saya jadi pemimpin, gagasan saya itu pasti akan
saya laksanakan demi tegaknya hukum dan keadilan.
Lihat saja kondisi sekarang: sangat menyedihkan!
Banyak ketentuan UU yang dijungkirbalikkan. Bukan untuk rasa keadilan,
melainkan untuk sebaliknya: demi untuk "aku dan saku".
Contohnya, menurut KUHAP, yang dapat mengajukan
peninjauan kembali (PK) hanyalah terpidana atau ahli warisnya. Sekarang ahli
waris itu diartikan dalam arti hukum perdata. Kalau zaman saya dulu, kasasi tak
boleh mengubah hukuman (pidana yang dijatuhkan). Sekarang hukuman di tingkat
kasasi dapat ditambah sampai berlipat-lipat. Sayang seandainya menaikkan pidana
dalam tingkat kasasi hanya untuk menaikkan popularitas hakim yang menanganinya.
Ada satu hal lagi yang tak boleh dilakukan zaman
saya dulu, yaitu hasil musyawarah majelis hakim yang bersifat rahasia. Sekarang
bahkan ada surat edaran MA yang membolehkan hasil musyawarah diumumkan sehingga
yang berpendapat beda (dissenting opinion) terangkat popularitasnya.
Menurut saya, pelan tapi pasti, MA harus diperbaiki.
Saya kurang paham mengenai UU tentang Komisi Yudisial. Namun, timbul pertanyaan
di hati kecil saya, sudah tepatkah KY mempunyai wewenang mengawasi MA atau
hakim-hakim? Bukankah pihak eksekutif tidak boleh mengintervensi pihak
yudikatif?
Menurut saya, KY adalah badan eksekutif. Wewenang KY
hanya mengawasi pelaksanaan eksekusi putusan hakim, seperti wewenang yang
dimiliki hakim pengawas dan pengamat menurut KUHAP. Jadi, hakim sendirilah yang
mengawasi hakim tanpa ada intervensi dari pihak eksekutif. Saya tidak bermaksud
untuk mengkritik, tetapi menginginkan suatu penjelasan yang proporsional.
Sumber: Kompas, 8 November 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!