Ketua Badan
Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
Dalam tinjauan moral dan hukum, korupsi dan segala variannya adalah praktik yang harus ditolak dalam politik yang sehat dan demokratis. Namun, secara sosiologis meluasnya korupsi membawa suatu akibat yang menguntungkan bagi tegaknya public good governance karena bersama dengan terungkapnya kasus korupsi-korupsi besar, tersingkap juga berbagai konspirasi politik dalam bentuk nepotisme yang pada giliran berikutnya melahirkan kroniisme.
Ada persamaan dan
perbedaan di antara nepotisme dan kroniisme sebagai praktik dalam birokrasi.
Dua praktik itu mempunyai kesamaan bahwa penempatan seseorang dalam birokrasi
tidak didasarkan pada kompetensi teknis, tetapi pada faktor-faktor nonteknis.
Bedanya, dalam nepotisme, posisi dalam birokrasi ditentukan oleh hubungan kekeluargaan
dan kekerabatan, sedangkan dalam kroniisme posisi itu ditentukan oleh hubungan
perkoncoan. Dinasti politik merupakan gejala nepotisme, yang dalam
perkembangannya akan menciptakan kroniisme.
Dalam organisasi
yang baik, nepotisme dianggap sebagai praktik yang menyimpang. Namun, mengapa
menyimpang? Ada pertanyaan kritis menyangkut soal ini yang patut mendapat
perhatian. Apa dasarnya bahwa kalau saya menjadi gubernur, saudara-saudara saya
tidak boleh bekerja dalam kantor gubernur, sekalipun mereka terbukti sanggup?
Kalau mereka sudah melewati semua tes seleksi dengan benar dan lulus tes
tersebut, mengapa mereka tak boleh mendapat pekerjaan dan posisi yang mereka
kehendaki? Melarang mereka bekerja dalam kantor gubernur hanya karena mereka
adalah sanak dan kerabat gubernur, bukankah itu suatu diskriminasi? Selayaknya
mereka diterima bekerja sampai terbukti bahwa hubungan kekeluargaannya dengan
gubernur membuat mereka melakukan penyimpangan dalam tugas, atau tidak bekerja
efektif sebagaimana dituntut oleh tugasnya.
Kiranya jelas bahwa
argumen seperti itu didasarkan pada asas nondiskriminasi dan asas praduga tak
bersalah. Kita tahu juga bahwa praduga tak bersalah adalah asas yang berlaku
dalam pengadilan. Namun, birokrasi pemerintahan dan manajemen organisasi
bukanlah pengadilan. Di sini yang perlu dilakukan adalah mencegah kemungkinan
dan memperkecil kesempatan untuk melakukan penyimpangan. Dengan demikian, yang
harus berlaku dalam organisasi dan manajemen bukanlah asas presumption of
innocence atau praduga tak bersalah, tetapi asas presumption of fallibility
atau praduga tentang kemungkinan jatuhnya seseorang dalam kelemahan dan
kesalahan karena ketiadaan kontrol. Seorang bos di kantor sebaiknya memercayai
semua stafnya. Namun tak berarti lemari besi yang berisi uang kantor boleh
dibiarkan tidak terkunci karena sangat besar kemungkinan uang itu menimbulkan
godaan untuk diambil.
Rupanya ini juga
pertimbangannya mengapa suami-istri tidak diperbolehkan bekerja dalam kantor
bank yang sama karena diandaikan bahwa hubungan yang amat dekat antara suami
dan istri akan mempersulit terjaganya kerahasiaan bank, yang dapat merugikan
kepentingan nasabah serta merugikan reputasi dan kredibilitas bank tersebut.
Kalau salah satu dari pasangan suami-istri itu ditolak oleh bank untuk bekerja
di bank itu, walaupun yang bersangkutan sudah lulus tes seleksi dengan baik,
kebijakan ini bukanlah suatu tindakan diskriminatif, tetapi tindakan preventif
untuk mencegah pelanggaran kerahasiaan bank, yang besar kemungkinan akan
terjadi, kalau ada hubungan personal yang terlalu dekat di antara karyawan
seperti antara suami dan istri. Dalam hal ini, kalau harus ditunggu dulu sampai
ada bukti terjadinya pelanggaran kerahasiaan bank, maka situasinya sudah
terlambat, dan baik bank maupun nasabah sudah telanjur dirugikan.
Selain itu, cukup
terbukti dalam beberapa kasus di Indonesia bahwa hubungan yang terikat oleh
faktor kekeluargaan cenderung menjadi tertutup dan eksklusif, terutama apabila
para kerabat itu sudah terlibat dalam penyelewengan dan pelanggaran hukum.
Ketertutupan itu mempersulit transparansi dan akuntabilitas. Juga menjadi
penghambat bagi monitoring dan pengawasan. Akibatnya, penyelewengan dan
pelanggaran hukum yang terjadi akan terus menumpuk dari waktu ke waktu, dan
merugikan kepentingan publik secara akumulatif.
Memperlemah
birokrasi
Contoh ini
memperlihatkan bahwa asas presumption of innocence tidak selalu tepat
diterapkan di luar pengadilan, seperti juga asas presumption of fallibility
tidak akan dibenarkan diterapkan di pengadilan. Di sini kita bisa berkata bahwa
kebijaksanaan tercapai kalau kita berpegang pada asas right principle in the
right place atau asas yang benar harus diterapkan di tempat yang benar. Inilah
pertimbangan utama bahwa nepotisme dianggap praktik yang merugikan birokrasi
dan manajemen karena hadirnya terlalu banyak kaum kerabat dalam birokrasi akan
memperlemah sifat birokrasi yang seharusnya impersonal. Kita tahu pemerintahan
dan birokrasi pemerintahan adalah lembaga publik, yang harus bertanggung jawab
atas kepentingan umum melalui kebijakan-kebijakan publik. Karena itu, sifat
publik dari jabatan-jabatan pemerintahan perlu dijaga agar tidak dipersulit
oleh hubungan-hubungan yang terlalu personal, yang menjadi ciri pemerintahan
patrimonial zaman baheula.
Kroniisme juga
kadang kala dibela dengan jalan pikiran yang sama. Argumennya, kalau kita
memulai suatu usaha, lebih baik memulainya bersama orang-orang yang sudah kita
kenal, atau dengan teman-teman yang sudah saling tahu, daripada langsung
mengajak orang-orang yang baru saja dijumpai dalam wawancara untuk perekrutan
staf. Orang-orang yang sudah dikenal dan teman-teman dekat lebih mudah
diramalkan perilakunya, dapat diperkirakan reaksinya dalam menerima usul atau
suatu rencana kerja.
Hal-hal ini lebih
sulit kalau kita langsung bekerja dengan orang-orang baru karena belum ada
pegangan tentang bagaimana mengantisipasi sikap mereka terhadap teguran,
peringatan, atau disiplin kantor yang hendak diterapkan. Di sini kita
berhadapan dengan tingkat ketidakpastian yang terlalu tinggi, yang akan menyulitkan
proses pengambilan keputusan dan menghambat juga implementasi keputusan yang
sudah diambil.
Sebaiknya
diperjelas di sini bahwa sekelompok orang dengan semangat yang sama dan visi
yang sama memang lebih mudah menjalankan suatu usaha bersama, seperti
mendirikan koran atau majalah, membangun sekolah, perguruan tinggi, mengelola
sebuah klub sepak bola yang profesional, atau membangun sebuah perusahaan
bisnis. Dalam situasi semacam itu, orang-orang yang saling mengenal ini tidak
dapat dinamakan kroni, tetapi rekan kerja yang kompak yang dipersatukan oleh
suatu komitmen yang sama. Perbedaan di antara teamwork dengan kroniisme ialah
bahwa yang pertama bekerja untuk kepentingan usaha bersama dengan SOP yang
jelas, sedangkan yang kedua bekerja untuk kepentingan dan keuntungan sekelompok
orang dalam usaha bersama itu, berdasarkan favoritisme pemimpin kelompok.
Kroniisme baru terjadi kalau segelintir orang dari mereka yang telah memulai
usaha bersama mendapat dan menikmati keuntungan khusus yang tidak dibagikan
kepada rekan-rekan lainnya. Dengan demikian, kroniisme selalu berdiri di atas
suatu in-group yang menutup diri dari mereka yang tidak termasuk dalam
kelompoknya, dan tidak memperjuangkan kepentingan bersama, tetapi membela suatu
egoisme kelompok secara eksklusif.
Dalam politik,
kroniisme seperti ini tidak saja menguasai sumber daya ekonomi, tetapi juga
sumber daya politik yang berhubungan dengan akses kepada sumber daya ekonomi,
dan cenderung berkembang menjadi suatu oligarki dalam pemerintahan. Memang,
setiap oligarki selalu dapat berdalih bahwa meskipun kekuasaan ekonomi dan
politik hanya ada pada beberapa orang, mereka tetap saja bekerja untuk
kepentingan rakyat dan memperjuangkan kemajuan umum. Dalih seperti ini,
seandainya pun benar terwujud dalam kenyataan (suatu yang hampir tak mungkin
terjadi), secara prinsipiil tidak dapat diterima asas demokrasi. Karena rakyat
tidak cukup hanya dijadikan obyek kebaikan dan kemurahan hati melalui kerja
yang dilaksanakan ”untuk rakyat”. Prinsip demokrasi menetapkan bahwa rakyat
adalah subyek kekuasaan politik dalam pemerintahan, malah subyek yang
terpenting, dan hal ini harus diperlihatkan dalam pemerintahan ”dari rakyat”
dan ”oleh rakyat” dan bukan saja dalam pemerintahan ”untuk rakyat”.
Dalam pelaksanaan
demokrasi Indonesia saat ini, dapat disaksikan bahwa asas ”dari rakyat” dan
”oleh rakyat” lebih sering disimulasikan dalam demokrasi prosedural melalui
institusi-institusi politik, sementara pemerintahan ”untuk rakyat” cenderung
diabaikan, khususnya melalui nepotisme dan kroniisme dalam politik.
Beberapa ahli hukum
mengatakan bahwa kita sulit mengambil langkah-langkah untuk menentang praktik
nepotisme saat ini karena belum ada undang-undang yang melarang praktik
nepotisme. Pada hemat saya, keberatan semacam ini tidak mengimplikasikan bahwa
nepotisme tidak bisa ditentang, tetapi justru menunjukkan belum lengkapnya
sistem hukum kita.
Legislasi yang
mempersulit
Pengalaman politik
dalam masa pasca-Reformasi memberi beberapa contoh bahwa beberapa praktik yang
tadinya dilakukan secara meluas, seperti pemberian hadiah besar-besaran kepada
seorang atasan dalam birokrasi pada kesempatan tertentu (seperti pernikahan
anaknya, atau hari raya), lebih banyak mudaratnya dari manfaatnya, karena tanpa
sengaja hadiah-hadiah itu berfungsi sebagai gratifikasi yang membuat orang yang
menerima tidak dapat bersikap correct dalam jabatannya. Sekarang ini hal itu
sudah sulit dilakukan karena sudah ada UU yang melarang gratifikasi semacam
itu. Nepotisme jelas merugikan kehidupan politik dan praktik demokrasi karena
beberapa kecenderungan dalam wataknya. Sifat eksklusif nepotisme mempersulit
terciptanya tata kelola yang baik (good governance) karena kelompok yang
mempraktikkan nepotisme cenderung tertutup, serta tidak mudah dimonitor dan diawasi.
Ketertutupan itu sendiri sudah bertentangan dengan prinsip equal opportunity
atau kesempatan yang sama untuk melakukan partisipasi politik secara terbuka
karena peran-peran tertentu dalam pemerintahan sudah diblokir untuk anggota
in-group yang menikmati hak-hak istimewa.
Dengan tertutupnya
partisipasi politik untuk sebagian warga negara yang tidak termasuk dalam blok
nepotisme, baik birokrasi maupun politik Indonesia tidak akan mendapat
tenaga-tenaga terbaik dalam menjalankan tugas karena mereka sudah tersingkir
secara alamiah dari pola perekrutan yang berlangsung tertutup. Selain itu,
nepotisme akan terus berusaha melestarikan vested interest kelompoknya dengan
mengorbankan kepentingan publik dan kemajuan umum. Kekayaan yang ekstrem dari
sekelompok orang dan kemiskinan ekstrem dari banyak orang merupakan hal yang
tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun dalam suatu negara yang beradab.
Mungkin sudah saatnya perlu disusun legislasi yang akan mempersulit praktik
nepotisme, kroniisme, dan dinasti politik dalam pemerintahan karena ini langkah
pertama yang efektif menuju keadilan dan kesejahteraan rakyat, yang menjadi
alasan satu-satunya bahwa ada, mengapa harus ada, negara merdeka yang bernama
Republik Indonesia.
Sumber: Kompas, 31
Oktober 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!