Pemeriksaan
terhadap Bupati Lembata Eliazer Yentji Sunur tergantung hasil pemeriksaaan
penyidik. Meskipun menyewa empat pengacara mendampingi sopir Bupati, anggota
DPRD dan tiga pegawai negeri sipil yang terlibat pembunuhan, belum tentu Bupati
terlibat dalam kasus itu. Kematian mantan Kepala Dinas Perhubungan, Informasi,
dan Komunikasi Lembata, Aloysius Laurensius Wadu, 8 Juni 2013, diduga bermuatan
kepentingan.
“Penyidikan masih berlangsung dan tiga orang sedang dalam proses persidangan. Bupati Lembata masih dalam proses penyidikan, apakah dia terlibat atau tidak. Menetapkan seseorang jadi tersangka harus ada bukti kuat, siapa yang melihat, menyaksikan, kapan, dan di mana, serta harus didukung dengan barang-barang bukti. Tidak cukup polisi berpedoman pada katanya,” kata Kepala Polda Nusa Tenggara Timur Brigjen (Pol) Ana Untung Yoga di Kupang, Kamis (5/2).
Sebanyak 12 orang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan itu. Mereka antara lain tiga orang PNS, yaitu anak kandung almarhum; satu anggota DPRD, Anton Loli Ruing; dan sopir pribadi Bupati, Omy Wuwur. Tiga tersangka telah dituntut 18 tahun penjara, yaitu Marsel Welan, Nani Ruing, dan Arifin Maran.
Menurut Kapolda, sopir bupati, anggota DPRD, dan tigas PNS terlibat dalam pembunuhan itu. Namun, belum ada indikasi kuat yang menunjukkan keterlibatan Bupati Eliezer Yentji Sunur.
Koordinator Forum Penyelamat Lewotanah Lembata Alex Murin mengatakan, secara logika tindakan Bupati menyewa empat pengacara dari Jakarta dan Kupang untuk membela para pelaku pembunuhan mengindikasikan Bupati terlibat.
Pembunuhan Aloysius Laurensius Wadu, menurut dia, terkait perebutan kepentingan hutan di dalam Kota Lewoleba. Hutan seluas 10 hektar itu milik lima suku di mana Aloysius Laurens Wadu menjadi juru bicara. “Almarhum menginginkan hutan itu dikelola menjadi hutan wisata karena merupakan salah satu hutan hujan tropis dengan tiga sumber air di dalamnya. Namun, Pemkab ingin hutan itu dibabat untuk pembangunan hotel bintang lima, wisata kuliner, dan sejumlah pusat hiburan,” ungkap Murin.
Sejumlah politisi dan anggota DPRD Lembata yang berseberangan dengan Bupati diteror dan diintimidasi sejumlah preman bayaran. Hal itu diakui anggota DPRD Lembata, Philipus Bediona. Akhir November lalu, dirinya pernah diancam sejumlah orang yang mendatangi kediamannya tengah malam. Mereka langsung membuka paksa pintu dan mengintimidasi dirinya. “Kamu berhenti menolak program Bupati. Jika tidak, nyawamu akan melayang,” kata Bediona menirukan ancaman itu. (KOR)
“Penyidikan masih berlangsung dan tiga orang sedang dalam proses persidangan. Bupati Lembata masih dalam proses penyidikan, apakah dia terlibat atau tidak. Menetapkan seseorang jadi tersangka harus ada bukti kuat, siapa yang melihat, menyaksikan, kapan, dan di mana, serta harus didukung dengan barang-barang bukti. Tidak cukup polisi berpedoman pada katanya,” kata Kepala Polda Nusa Tenggara Timur Brigjen (Pol) Ana Untung Yoga di Kupang, Kamis (5/2).
Sebanyak 12 orang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan itu. Mereka antara lain tiga orang PNS, yaitu anak kandung almarhum; satu anggota DPRD, Anton Loli Ruing; dan sopir pribadi Bupati, Omy Wuwur. Tiga tersangka telah dituntut 18 tahun penjara, yaitu Marsel Welan, Nani Ruing, dan Arifin Maran.
Menurut Kapolda, sopir bupati, anggota DPRD, dan tigas PNS terlibat dalam pembunuhan itu. Namun, belum ada indikasi kuat yang menunjukkan keterlibatan Bupati Eliezer Yentji Sunur.
Koordinator Forum Penyelamat Lewotanah Lembata Alex Murin mengatakan, secara logika tindakan Bupati menyewa empat pengacara dari Jakarta dan Kupang untuk membela para pelaku pembunuhan mengindikasikan Bupati terlibat.
Pembunuhan Aloysius Laurensius Wadu, menurut dia, terkait perebutan kepentingan hutan di dalam Kota Lewoleba. Hutan seluas 10 hektar itu milik lima suku di mana Aloysius Laurens Wadu menjadi juru bicara. “Almarhum menginginkan hutan itu dikelola menjadi hutan wisata karena merupakan salah satu hutan hujan tropis dengan tiga sumber air di dalamnya. Namun, Pemkab ingin hutan itu dibabat untuk pembangunan hotel bintang lima, wisata kuliner, dan sejumlah pusat hiburan,” ungkap Murin.
Sejumlah politisi dan anggota DPRD Lembata yang berseberangan dengan Bupati diteror dan diintimidasi sejumlah preman bayaran. Hal itu diakui anggota DPRD Lembata, Philipus Bediona. Akhir November lalu, dirinya pernah diancam sejumlah orang yang mendatangi kediamannya tengah malam. Mereka langsung membuka paksa pintu dan mengintimidasi dirinya. “Kamu berhenti menolak program Bupati. Jika tidak, nyawamu akan melayang,” kata Bediona menirukan ancaman itu. (KOR)
Sumber:
Kompas, 6 Desember 2013
Ket foto:
Bupati Lembata Eliazer Yentji Sunur
Sumber foto: www.metrotvnews.com
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!