Headlines News :
Home » , » Pemimpin yang Suka Berbohong

Pemimpin yang Suka Berbohong

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, August 28, 2014 | 8:46 AM



Oleh Ansel Deri 
Warga asal Lembata, tinggal di Jakarta

KEPEMIMPINAN Bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur pada Senin, 25 Agustus 2014, ini genap tiga tahun. Masyarakat selayaknya perlu mengevaluasi apakah Lembata selama tiga tahun ini sudah sedikit makin maju, biasa-biasa atau sebaliknya. Hal ini penting karena sejak memimpin, masyarakat sudah menggantungkan harapan besar agar Lembata lebih maju dan manusianya tambah sejahtera.

Apakah kepariwisataan sebagai leading sector pembangunan daerah sudah mulai menampakkan hasil nyata sesuai cita-cita penggagasnya? Apakah janji ‘Lembata Baru’ selama kampanye sudah mulai terwujud atau sebaliknya? Bila belum terwujud, saatnya masyarakat menagih janji.

Pertanyaan lain bisa ditambah. Apakah tugas dan kepercayaan sungguh dijalankan pemimpin yang dipilih rakyat? Refleksi dan pertanyaan penting. Publik tentu tahu apa saja yang sudah dikerjakan sebagai wujud tanggung jawabnya. Masyarakat tentu ingin tahu realisasi rencana bupati membangun sektor pariwisata di samping sektor lain seperti pertanian, kelautan, perikanan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.

Masyarakat di seluruh Ile Ape dan Ile Ape Timur, misalnya. Saat syukuran kemenangan Sunur-Watun di kampung wakil bupati, bupati menjanjikan bahwa dalam setahun kepemimpinannya dua wilayah kecamatan itu dipastikan menikmati air bersih. Janji ini, menurut seorang anggota DPRD Lembata, disampaikan langsung bupati saat syukuran. Nah, apakah janji itu sudah terealisasi dan masyarakat di wilayah yang terkenal kerontang itu sudah menikmati air bersih, hanya bupati yang tahu.

Tak Harmonis

Publik tentu tahu. Sejak memimpin Lembata relasi bupati-wakil bupati nampak mesra. Namun, hanya dalam waktu singkat keduanya ‘berbagi jalan’. Misalnya, dalam urusan promosi kepala dinas/badan dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena lahirnya Peraturan Bupati Lembata yang ‘melumpuhkan’ tugas dan fungsi wakil bupati. Urusan mutasi pegawai/pejabat dimonopoli bupati dan jarang didiskusikan dengan wakilnya.

Bahkan ada kebijakan penting dan strategis jauh dari perencanaan matang, malah saling lempar tanggungjawab. Parahnya, DPRD pun tak tahu-menahu. Sebut saja pelaksanaan motorcross di Waiara, Desa Muruona, Ile Ape yang menewaskan Petrus Alfons Hita (11), Ahad, 29 September 2013. “Proyek itu tidak ada dalam Rencana dan Anggaran Dinas Pariwisata, itu kebijakan bupati. Saya tidak pernah perintahkan orang lain untuk kerja,” ujar Kepala Dinas Pariwisata Longginus Lega.

“Proyek itu tidak ada dalam perencanaan. Itu ambisi pribadi Bupati Yance Sunur jadi bukan pemerintah yang bertanggungjawab, tetapi Bupati Yance yang harus bertanggungjawab atas meninggalnya Alfons Hita,” timpal Servas Suban Ladoangin, anggota DPRD Lembata (floresbangkit.com, 10 Februari 2013. Buntut kematian Hita, Polres Lembata menetapkan kepala dinas bersangkutan sebagai tersangka hingga saat ini.

Tak hanya itu, relasi bupati dengan DPRD juga tak harmonis. Tak tanggung-tanggung, bupati melakukan kriminalisasi Yakobus Liwa, anggota DPRD setempat. Dalam rapat paripurna, Yakobus menuding bupati melakukan pembohongan publik terkait tender proyek tahun jamak. Polres Lembata seperti kejar tayang dan Yakobus pun tersangka. Meski tak patut dan jauh dari kesantunan politik, toh, wakil rakyat ini tengah menunaikan tugas formal sesuai perintah UU MD3.

Ia mesti “diadili” oleh Badan Kehormatan DPRD selaku alat kelengkapan DPRD yang punya tugas untuk itu. Anehnya, Polres Lembata terkesan kejar tayang sesuai “pesan sponsor”. Yakobus akhirnya dikenakan status tersangka. Padahal, status itu sekurang-kurangnya didahului argumentasi bersangkutan, kuasa hukum atau ahli bahasa guna menguji kebenaran pernyataan yang dianggap menghina bupati.

Relasi dengan DPRD kian memburuk. Pada 26 Februari lalu, 21 dari 25 anggota DPRD memutuskan untuk mengusulkan pemberhentian atau pemakzulan bupati ke Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia melalui Keputusan Nomor 2/DPRD.Kab/Lbt/2014. Namun, proses menuju ke MA ternyata melawati jalan terjal. Belum sempat usulan diproses, bupati melaporkan sejumlah anggota DPRD ke Polres setempat dengan dugaan memalsukan dokumen pemakzulan. Sejumlah anggota DPRD akhirnya bernasib serupa Yakobus Liwa yakni penetapan status tersangka. Kondisi ini menggambarkan sisi lain bagaimana seorang pemimpin kian terisolasi dari sejumlah persoalan yang dihadapi rakyat. Bahkan tak lebih sebagai seorang pemimpin pembohong. Ia terang-terangan melakukan kebohongan komunikasi politik.

Kebohongan

Tipikal pemimpin seperti itu kini mudah ditemukan. Apa yang dikomunikasikan kepada rakyat berbeda tatkala ia berada di belakang panggung kekuasaan. Di belakang, ia lebih enjoy bergerilya dengan konco-konconya bagaimana bisa menggasak uang daerah atau uang rakyat sebanyak-banyaknya. Masyarakat ditelantarkan dan perencanaan pembangunan asal jadi. Kebohongan komunikasi politik itulah membuat masyarakat saban hari muak melihat perilaku pemimpinnya.

Menurut David Buller dan Judee Burgon, pencetus teori kebohongan interpersonal, interpersonal deception theory, pemimpin yang suka berbohong tak jauh seperti pemasar. Para pemasar telah lama mengetahui dan melakukan praktik kebohongan. Celakanya, rakyat cenderung bersikap permisif dan toleran pada perilaku kebohongan karena dianggap tidak punya dampak sosial. Kelihaian dan kecanggihan cara berbohong pemimpin dianggap bagian kesehariannya dan biasa-biasa saja. Rakyat memaklumi pemimpin seperti itu sekalipun mengingkari esensi jabatan yang diemban sebagai pelayan.

Sesungguhnya, tipikal pemimpin bersangkutan sulit dan bingung darimana memulai memajukan masyarakat dan daerahnya. Padahal, pemimpin yang jujur dibutuhkan bahkan dituntut meningkatkan taraf hidup warganya. Karena itu, sepak terjang pemimpin seperti itu pada akhirnya tetap mendapat sorotan publik dalam berbagai kasus lain. Misalnya, mark-up anggaran, pemerasan kontraktor, pengadaan barang dan jasa abal-abalan, merekayasa bantuan sosial hingga memanipulasi anggaran pendidikan dan kesehatan. Inilah modus korupsi yang kerap terjadi para pemimpin atau segelintir kepala daerah.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM Hifdzil Alim menguraikan, kepala daerah yang diharapkan sebagai satrio piningit –yang lahir membawa keberkahan dan kemanfaatan– berganti rupa jadi butho ijo atau raksasa jahat. Butho ijo mencengkeram dana publik, anggaran negara, menggarong sumber daya alam untuk kepuasan dirinya sendiri dan pengikutnya. Inilah potret buram kepala daerah (Suara Pembaruan, 18 Agustus 2014. Kini, tiga tahun usia ”Lembata Baru”. Artinya, tersisa dua tahun lagi. Tak lama lagi Lembata juga akan mendapatkan 25 anggota DPRD baru baik dari petahana maupun wajah baru.

Selain ikut mengawal dan mengawasi sepak terjang para wakil rakyat dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat, ada hal panting yang tak boleh dilupakan. Publik perlu mewaspadahi terjadinya kebohongan-demi kebohongan baru. Pemimpin dan elite politik yang mengemban mandat rakyat harus dibantu sekaligus diawasi dalam menjalankan tugas memajukan rakyat dan daerah ini. Jangan sampai rakyat kembali menghadapi pemimpin maupun elite yang hanya memainkan kebohongan untuk memenuhi kepentingannya dan abai pada tugas pokoknya.

Kita tahu, korupsi, manipulasi, penggelapan, transaksi gelap, persekongkolan, negosiasi ilegal, dan konsensus jahat masih mewarnai gerak-gerik pemimpin dan elite politik. Karena itu rakyat perlu waspada menghadapi pemimpin atau elite politik seperti ini. Kalau tidak diawasi, bukan tidak mungkin kebohongan baru bakal muncul. Siapa tahu.
Sumber: Flores Pos, 26 Agustus 2014
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger