Oleh Acep Iwan Saidi
Ketua
Forum Studi Kebudayaan ITB
TANTANGAN pertama Joko Widodo dalam kepemimpinannya
adalah membentuk kabinet baru. Profil kabinet ini tentu harus segar bagi dirinya
sendiri sekaligus harus menyegarkan khalayak. Salah satu syaratnya, ia mesti
berbeda dari kabinet terdahulu. Ruh keberbedaan kabinet Jokowi penting
disambungkan dengan sosok Jokowi sendiri. Jika sebelumnya presiden Indonesia
selalu dari kalangan militer dan elite sipil, Jokowi berasal dari
"dusun", sipil dari keluarga yang bisa dibilang "tidak
berkasta". Jokowi adalah "presiden pinggiran".
Bertolak dari pinggiran
Berdasarkan hal itu, "pinggiran" bisa
dijadikan sebagai basis epistemologi penyusunan kabinet. Hal ini penting bukan
semata-mata Jokowi berasal dari "ruang marjinal" sedemikian,
melainkan karena salah satu misi kepemimpinan Jokowi adalah membangun Indonesia
dari pinggiran. Dalam semiotika pembangunan, pinggiran bukan sekadar tempat di
tepian, melainkan situs yang selalu diabaikan, tempat pemerintah selalu absen.
Ekonomi kerakyatan, misalnya, salah satu contoh penting. Rakyat dalam frase
ekonomi kerakyatan adalah pusat semiotika pinggiran yang dilupakan.
Dengan demikian, "pinggiran" adalah
"ruang kunci", tempat Jokowi akan bertolak ke tengah di mana visinya
dicanangkan. Menarik jika hal ini kemudian dihubungkan dengan pinisi yang
dipilih Jokowi sebagai podium pidato pertama setelah penetapannya sebagai
presiden terpilih. Secara semiotik, pinisi bukan semata indeks yang menunjuk
pada ihwal kelautan sebagai program penting pembangunan, melainkan juga titik
berangkat menuju ke arah visi tadi. Visi bukanlah isapan jempol semata,
melainkan "cita-cita ideologis" yang perwujudannya membutuhkan
perjuangan. Ia berkelindan di tengah samudra, di antara gemuruh ombak yang acap
dibungkus badai.
Lebih jauh, ruang itu sendiri, sebagaimana dikatakan
Imannual Kant, tak terbatas pada sesuatu yang fisik, melainkan juga abstrak.
Kant mengedepankan illusory space, yaitu ruang imaterial, intuisi manusia, dan
secara eksklusif bagian dari dunia pemikiran. Dengan demikian, gagasan
merupakan manifestasi ruang. Mengacu pendapat ini, "pinggiran"
sebagai ruang adalah metafora ide. Di sinilah kemudian bisa ditemukan
relevansinya dengan kata kunci lain yang diusung Jokowi, revolusi mental.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sejauh ini
mental adalah soal pinggiran. Dalam setiap program pembangunan pemerintahan
sebelumnya, aspek mental kurang mendapat perhatian, bahkan dilupakan.
Pembangunan mental (karakter) memang acap disebut dalam berbagai pidato. Namun,
belum tampak laku konkret perwujudannya. Bahkan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan yang diandaikan sebagai institusi yang mampu "mengelola
mental" justru mengalami permasalahan mental.
Keluar dari konvensi
Bergerak dari pinggiran sebagai ruang fisik dan
gagasan (mental) demikianlah, hal-hal konvensional menyangkut
teknis-operasional mesti didefinisikan ulang. Sebut misalnya istilah
profesional yang sering dilontarkan Jokowi mengenai calon menteri dan
kabinetnya. Apa yang dimaksud profesional?
Hemat saya harus dirumuskan definisi baru
tentangnya. Bahwa profesional bukan semata predikat yang dilekatkan pada
seorang yang ahli di bidangnya yang secara mental ditambahkan sebagai sosok
"bersih". Hal ini penting karena banyak pakar bersih, tetapi hanya
bisa bekerja sendiri. Juga banyak praktisi cakap dan jujur, tetapi tak mampu
menularkan kecakapan dan kejujurannya kepada pihak lain. Seorang menteri
profesional haruslah inspiratif, memiliki aura untuk menggerakkan pihak-pihak
yang berhubungan dengannya agar berpikir dan berkarya.
Pada aspek kesiapan untuk bersedia memulai bekerja
dari pinggiran, sosok Jokowi sendiri contoh tepat. Ia disukai rakyat sebab ia
memulai pekerjaannya dari situs-situs rakyat. Para pembantu Jokowi jelas harus
mengikuti langkah ini. Jika kita menyebut Jokowi sebagai pemimpin yang
antitesa, semua menterinya juga harus menteri antitesa. Dalam konteks ini,
karakter Jokowi harus jadi pengikat (ruh) sehingga "bangun-struktur"
kabinet jadi kuat dan padu (kohesif).
Kabinet semiotika
Di samping aspek kekohesifan demikian, kabinet juga
harus koheren, yakni berjalan seirama dalam kesinambungan. Aspek inilah yang
tidak tampak pada kabinet-kabinet sebelumnya. Memang dikenal kementerian yang
mengoordinasi beberapa bidang (menko), tetapi tampaknya hal itu hanya sebatas
administratif. Pada tataran substansi tidak terlihat koherensi. Setiap
kementerian berjalan sendiri-sendiri. Padahal, mengelola pariwisata, misalnya,
tak mungkin berhasil tanpa mengurus lalu lintas. Usaha-usaha mengatasi kemacetan
lalu lintas tidak pernah bisa dilepaskan dari kebijakan tata kota, dan
seterusnya.
Alih-alih terbentuknya koherensi antardepartemen,
yang sering terjadi justru pertentangan. Kebijakan penataan lingkungan hidup
bukankah sering bertentangan dengan kebijakan pengembangan wilayah permukiman,
juga izin pembangunan gedung-gedung komersial. Ini jelas bukan hanya
bertentangan, melainkan bertabrakan. Tabrakan macam ini juga terjadi pada level
teknis macam pengelolaan transportasi darat. Di satu sisi pemerintah
berbusa-busa bicara tentang cara mengatasi kemacetan lalu lintas, tetapi pada
saat yang sama dikeluarkan kebijakan tentang mobil murah.
Runyamnya, tabrakan demikian bahkan acap terjadi
dalam satu kementerian. Ambil contoh Kemdikbud. Kebijakan bidang kebudayaan
pasti memutlakkan keberagaman. Artinya, sistem kebudayaan mestilah mewadahi
keberagaman. Pendidikan tentu harus selaras dengan keberagaman tadi. Namun,
sistem pendidikan kita justru berbasis keseragaman, satu paham yang jelas
berseberangan. Meminjam istilah psikologi, saya menyebut kementerian ini
kementerian skizoprenik. Ia mengalami keterbelahan karakter dan kesimpangsiuran
orientasi. Maka, bagaimana mungkin pendidikan bersama kebudayaan bisa
berkembang jika "tubuh" departemennya sendiri mengidap penyakit itu.
Bertolak dari kasus-kasus seperti di atas, bukan
"profesionalisme individu" semata yang harus diperhatikan Jokowi,
melainkan pembentukan "gestur kabinet sebagai sebuah tubuh yang kohesif
dan koherensif". Melalui berbagai metode seleksi, para menteri profesional
dalam pengertian di atas pastilah merupakan individu pilihan yang mumpuni.
Individu-individu seperti ini biasanya sudah tak perlu lagi dikelola. Mereka
hanya butuh dikurasi. Dengan kata lain, konsep kepemimpinannya bukan lagi pemimpin
sebagai manajer, melainkan sebagai kurator atau sebagai dirigen —meminjam
istilah Aat Suratin. Di bawah komandonya, Sang Dirigen menciptakan musik dengan
satu nada dasar yang padu (kohesi) dengan berbagai variasi dan improvisasi
irama yang bertaut (koheren) sehingga tercipta sebuah aransemen yang indah.
Saya ingin menyebut kabinet dengan profil di atas
kabinet semiotika, sebuah "institusi" yang dibangun oleh relasi
berbagai tanda yang meneguhkan makna dengan dua pesan: ke dalam sebagai kabinet
berkarakter, ke luar sebagai "pasukan" yang berwibawa. Kabinet
seperti inilah yang bisa mengantarkan kepemimpinan Jokowi kepada cita-cita
revolusi mental yang bermuara pada Trisakti Soekarno, yakni membangun Indonesia
yang berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam
kebudayaan.
Sumber: Kompas, 24 Oktober 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!