Headlines News :
Home » » Penguasa Korup

Penguasa Korup

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, November 04, 2014 | 8:10 PM

Oleh Justin L Wejak, S.Fil., S.Teol., M.Antro
Dosen Kajian Indonesia the University of Melbourne, Victoria, Australia
Penguasa korup adalah penguasa yang tidak baik secara moral dan tidak benar dari segi etika.

Lord Acton (1834-1902), sejarahwan Inggris abad ke-19, pernah menyatakan: “Power tends to corrupt”. Kekuasaan cenderung korup. Ucapan Acton kemudian menjadi acuan dalam kajian-kajian psikologis dalam tahun-tahun berikutnya.

Dalam sebuah eksperimen di penjara Stanford pada tahun 1971, misalnya, sekelompok mahasiswa ditunjuk secara acak untuk berperan sebagai satpam penjara. Mereka diberikan kuasa (power) sebagai penjaga keamanan. Tanpa sadar, beberapa di antara mereka mulai memperlihatkan perilaku yang kurang etis, misalnya menggunakan bangsal semau gue.

Sikap semau gue ini bisa pula dipandang sebagai suatu bentuk reaksi kaget terhadap rasa kekuasaan (a sense of power) yang mereka peroleh. Tiba-tiba beberapa mahasiswa ini merasa seolah paling berkuasa di antara rekan-rekannya. Mereka kaget menerima peran sebagai satpam, yang merupakan representasi dari kuasa.

Di arena politik, Paket  A, misalnya, merasa kaget dengan kemenangannya dalam sebuah pilkada mengalahkan Paket B. Seorang Kepala Daerah merasa seolah paling hebat karena telah berhasil mengalahkan para lawannya dalam sebuah Pilkada. Kemenangan dalam Pilkada dilihat sebagai momen puncak dari sebuah proses panjang sosialisasi dan kampanye. Semacam sebuah orgasme politik. Setelah orgasme Paket yang menang Pilkada tertidur pulas, dan bisa lupa bangun untuk membangun daerah sesuai dengan yang janji. Ada semacam power shock (kekejutan kuasa) setelah menang Pilkada.

Seseorang yang baru pertama kali tiba di sebuah negeri asing, khususnya dalam beberapa bulan pertama, pasti juga mengalami kekejutan dalam rupa culture shock (kekejutan budaya). Perjumpaan dengan banyak hal yang serba asing seperti bahasa, makanan, lingkungan sosial, tentu saja memicu reaksi-reaksi tertentu. Dan reaksi seseorang didemonstrasikan dalam sikap dan perilaku tertentu, positif pun negatif.

Hasil eksperimen psikologis di atas lantas mendorong ilmuwan sosial untuk mendalami mengapa kuasa bisa memperlihatkan segi-segi terbaik dan terburuk dari seseorang. Memang kuasa bisa membangun (constructive), bisa pula sangat merusakkan (destructive). Dalam praktek ilmu gaib, ada ilmu gaib hitam (makap), dan ada pula ilmu gaib putih (molan). Kata makap dan molan adalah terminologi lokal dalam salah satu masyarakat Lamaholot di Lembata.

Kata kuasa (power) bisa dimengerti sebagai kata benda, juga sebagai kata kerja. Sebagai kata benda ia merujuk pada jabatan dan peran-peran publik tertentu yang berpengaruh. Sebagai kata kerja ia bisa dipahami sebagai upaya kontrol dan mempengaruhi orang lain untuk tujuan-tujuan tertentu.

Penguasa yang baik dan benar?

Katherine A. DeCelles dari Universitas Toronto, Canada, sempat mengajukan pertanyaan hipotetis berikut: Ketika masyarakat memberikan kuasa kepada seseorang yang dianggap baik untuk memimpin mereka, misalnya sebagai Bupati, apakah orang baik ini akan lebih mampu dari pada orang-orang lain untuk melakukan apa yang benar dalam kapasitas sebagai Bupati?

Jawaban DeCelles adalah Ya. Menurutnya, rasa identitas moral (a sense of moral identity) dari Bupati, misalnya, yang terkait dengan sifat-sifat dasar seperti peduli, berbelaskasihan, adil dan murah hati bisa mempengaruhi sikap Bupati terhadap kekuasaan (jabatan). Menurutnya, Bupati yang bermoral (baik) pasti menjadi Bupati yang etis (benar), artinya ia bisa menjalankan tugas dan fungsinya secara benar seturut janji dan hukum demi kebaikan rakyat banyak, bonum communae.

Seorang pemimpin yang bermoral akan melihat kuasa (jabatan) sebagai proses kerja, bukan sebagai produk atau hasil akhir untuk dipanen. Jabatan publiknya dilihatnya sebagai cara untuk membangun daerah secara holistik, merata, dan terpusat pada komunitas. Pokoknya pembangunan yang pro-rakyat banyak, bukan sekedar pro-segelintir rakyat yang kebetulan mencoblosnya dalam Pilkada.

Pembangunan yang anti-rakyat banyak, dalam terang pemikiran DeCelles, adalah refleksi dari tipe pemimpin yang tak bermoral dan tak etis. Identitas moral (moral identity) merupakan semacam prerequisite (prasyarat) untuk perilaku etis (ethical behavior). Implisit dalam pemikiran DeCelles, Bupati yang tak bermoral hampir pasti akan membohongi rakyat yang dipimpinnya, artinya ia tak berlaku etis. Ia sekedar dilihat sebagai seorang pembohong rakyat.

Menjawabi pertanyaan dari tulisan ini, DeCelles menyatakan, kuasa tak selamanya korup karena tergantung pada siapa yang mengemban kuasa (jabatan) itu. Pertanyaannya, apakah penguasa itu sosok yang bermoral dan beretika? Tendensi etis seseorang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai moralnya. Dan moralitas seseorang dipengaruhi oleh agama yang dianutnya, budaya dan adat-istiadat, lingkungan sosial di mana orang itu hidup dan bekerja. Jika seseorang lama hidup dan bekerja dalam sebuah lingkungan di mana praktek suap-menyuap itu hal lumrah, maka ketika orang itu berpindah ke tempat lain dan berkarya di tempat itu misalnya sebagai Bupati, maka hampir pasti ia akan melumrahkan praktek itu dalam kepemimpinannya.

Bagaimana mengetahui watak seseorang? Presiden AS, Abraham Lincoln (1861-1865) menyatakan: “Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man’s character, give him power”. Hampir semua orang bisa bertahan dalam kesengsaraan, tetapi jika anda mau menguji sifat seseorang, berikan dia kekuasaan. Di sana kita akan tahu apakah seorang Bupati, misalnya, adalah seseorang yang bermoral dan etis.

Mengapa kekuasaan korup?

Kekuasaan cenderung korup karena orang-orang dalam posisi kekuasaan acap kali tak bertanggung jawab atas aksi-aksi mereka, dan oleh karena itu mereka berlaku semau gue. Jika tak ada konsekwensi dalam rupa sangsi terhadap suatu perbuatan, hampir pasti kebanyakan orang dalam posisi itu akan melakukan apa saja sesuka hatinya. Cukup sering perbuatan-perbuatan penguasa bertentangan dengan norma-norma sosial (social norms).

Lebih lanjut, perlu dicatat, ada dua dimensi dari manusia menurut agama-agama: Dimensi fisik (ragawi), dan dimensi metafisik (sukmawi). Dalam budaya pop, dimensi fisik itu disejajarkan dengan setan, dan dimensi metafisik dianalogikan dengan malaikat. Maka seolah ada setan di bahu kiri, dan malaikat di bahu kanan.

Dimensi fisik lantas disamakan dengan insting binatang dan dianggap jahat, oleh karena binatang eksklusif berfokus pada insting survival. Namun survival tak perlu dianggap jahat. Seekor singa tak boleh sertamerta dianggap jahat hanya karena ia membunuh binatang lain untuk bertahan hidup. Singa yang membunuh binatang lain dianggap jahat bukan hanya karena insting survivalnya, tetapi juga dan justru karena kebengisan singa dalam menerkam binatang-binatang lain. Di sini survival erat kaitannya dengan kebengisan.

Tentu saja survival manusia berbeda dan jauh lebih kompleks dari pada insting survival binatang, seperti singa. Manusia mempunyai akal budi untuk merencanakan masa depannya. Oleh karena itu, kebengisan seperti membunuh sesamanya, baik secara nyata maupun analogis, tak perlu dan tak boleh dilakukan atas nama survival. Dalih ini tak pantas digunakan oleh manusia yang berakal budi.

Kuasa bisa seperti medan perang di mana hanya melaluinya kemenangan atau kesuksesan bisa diraih. Dalam perang, sering kali orang mengikuti insting survival binatang di mana mereka saling melukai dan membantai. Membunuh atau dibunuh, tak ada pilihan lain. Dalam konteks ini, dimensi fisik, yang erat kaitannya dengan insting survival, menjadi sangat dominan, bahkan menjadi norma.

Dalam posisi kekuasaan di mana tak seorang pun bisa melawan mereka, penguasa cenderung hilang kendali dan melakukan apa saja tanpa sedikit pun ketakutan akan konsekwensinya. Kekuasaan menjadi korup oleh karena dominasi dimensi fisik (ragawi) atas dimensi metafisik (sukmawi).

Orang lupa bahwa kekuasaan itu sebetulnya diberikan. Dalam banyak kasus, supaya kekuasaan itu bisa dipertahankan, maka bawahan atau rakyat mesti mendukung penguasa untuk tetap dalam posisi kekuasaan. Banyak pemimpin tumbang karena mereka kurang menunjukkan kerendahan hati dan apresiasi terhadap pentingnya dukungan bawahan dan rakyat. Pemimpin lupa, atau sengaja lupa, bahwa mereka adalah bagian dari komunitas.

Si A menjadi Bupati, misalnya, karena mayoritas rakyat di Kabupaten itu memilihnya menjadi Bupati. Terlepas dari apakah rakyat ditakut-takuti atau disuap untuk memilihnya sebagai Bupati. Hampir pasti, Bupati yang memperoleh jabatan melalui terror dan money politics paling rentan untuk melakukan korupsi. Bupati yang angkuh tak pernah tahu bersyukur, ibarat kacang lupa kulit. Dan sifat tak tahu bersyukur ini adalah tipe orang yang tak bermoral dan tak beretika.

Tak heran, Lord Acton menyatakan, “Power tends to corrupt”. Kekuasaan cenderung korup.
Sumber: floresbangkit.com, 4 November 2014
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger