Oleh
Justin L Wejak, S.Fil., S.Teol., M.Antro
Dosen Kajian Indonesia the University
of Melbourne, Victoria, Australia
Penguasa korup adalah penguasa yang tidak
baik secara moral dan tidak benar dari segi etika.
Lord Acton
(1834-1902), sejarahwan Inggris abad ke-19, pernah menyatakan: “Power tends to
corrupt”. Kekuasaan cenderung korup. Ucapan Acton kemudian menjadi acuan dalam
kajian-kajian psikologis dalam tahun-tahun berikutnya.
Dalam sebuah
eksperimen di penjara Stanford pada tahun 1971, misalnya, sekelompok mahasiswa
ditunjuk secara acak untuk berperan sebagai satpam penjara. Mereka diberikan
kuasa (power) sebagai penjaga keamanan. Tanpa sadar, beberapa di antara mereka
mulai memperlihatkan perilaku yang kurang etis, misalnya menggunakan bangsal
semau gue.
Sikap semau gue ini
bisa pula dipandang sebagai suatu bentuk reaksi kaget terhadap rasa kekuasaan
(a sense of power) yang mereka peroleh. Tiba-tiba beberapa mahasiswa ini merasa
seolah paling berkuasa di antara rekan-rekannya. Mereka kaget menerima peran
sebagai satpam, yang merupakan representasi dari kuasa.
Di arena politik,
Paket A, misalnya, merasa kaget dengan
kemenangannya dalam sebuah pilkada mengalahkan Paket B. Seorang Kepala Daerah
merasa seolah paling hebat karena telah berhasil mengalahkan para lawannya
dalam sebuah Pilkada. Kemenangan dalam Pilkada dilihat sebagai momen puncak
dari sebuah proses panjang sosialisasi dan kampanye. Semacam sebuah orgasme
politik. Setelah orgasme Paket yang menang Pilkada tertidur pulas, dan bisa
lupa bangun untuk membangun daerah sesuai dengan yang janji. Ada semacam power
shock (kekejutan kuasa) setelah menang Pilkada.
Seseorang yang baru
pertama kali tiba di sebuah negeri asing, khususnya dalam beberapa bulan
pertama, pasti juga mengalami kekejutan dalam rupa culture shock (kekejutan
budaya). Perjumpaan dengan banyak hal yang serba asing seperti bahasa, makanan,
lingkungan sosial, tentu saja memicu reaksi-reaksi tertentu. Dan reaksi
seseorang didemonstrasikan dalam sikap dan perilaku tertentu, positif pun
negatif.
Hasil eksperimen
psikologis di atas lantas mendorong ilmuwan sosial untuk mendalami mengapa
kuasa bisa memperlihatkan segi-segi terbaik dan terburuk dari seseorang. Memang
kuasa bisa membangun (constructive), bisa pula sangat merusakkan (destructive).
Dalam praktek ilmu gaib, ada ilmu gaib hitam (makap), dan ada pula ilmu gaib
putih (molan). Kata makap dan molan adalah terminologi lokal dalam salah satu
masyarakat Lamaholot di Lembata.
Kata kuasa (power)
bisa dimengerti sebagai kata benda, juga sebagai kata kerja. Sebagai kata benda
ia merujuk pada jabatan dan peran-peran publik tertentu yang berpengaruh.
Sebagai kata kerja ia bisa dipahami sebagai upaya kontrol dan mempengaruhi
orang lain untuk tujuan-tujuan tertentu.
Penguasa yang baik
dan benar?
Katherine A.
DeCelles dari Universitas Toronto, Canada, sempat mengajukan pertanyaan
hipotetis berikut: Ketika masyarakat memberikan kuasa kepada seseorang yang
dianggap baik untuk memimpin mereka, misalnya sebagai Bupati, apakah orang baik
ini akan lebih mampu dari pada orang-orang lain untuk melakukan apa yang benar
dalam kapasitas sebagai Bupati?
Jawaban DeCelles
adalah Ya. Menurutnya, rasa identitas moral (a sense of moral identity) dari
Bupati, misalnya, yang terkait dengan sifat-sifat dasar seperti peduli,
berbelaskasihan, adil dan murah hati bisa mempengaruhi sikap Bupati terhadap
kekuasaan (jabatan). Menurutnya, Bupati yang bermoral (baik) pasti menjadi
Bupati yang etis (benar), artinya ia bisa menjalankan tugas dan fungsinya
secara benar seturut janji dan hukum demi kebaikan rakyat banyak, bonum
communae.
Seorang pemimpin
yang bermoral akan melihat kuasa (jabatan) sebagai proses kerja, bukan sebagai
produk atau hasil akhir untuk dipanen. Jabatan publiknya dilihatnya sebagai
cara untuk membangun daerah secara holistik, merata, dan terpusat pada
komunitas. Pokoknya pembangunan yang pro-rakyat banyak, bukan sekedar
pro-segelintir rakyat yang kebetulan mencoblosnya dalam Pilkada.
Pembangunan yang
anti-rakyat banyak, dalam terang pemikiran DeCelles, adalah refleksi dari tipe
pemimpin yang tak bermoral dan tak etis. Identitas moral (moral identity)
merupakan semacam prerequisite (prasyarat) untuk perilaku etis (ethical
behavior). Implisit dalam pemikiran DeCelles, Bupati yang tak bermoral hampir
pasti akan membohongi rakyat yang dipimpinnya, artinya ia tak berlaku etis. Ia
sekedar dilihat sebagai seorang pembohong rakyat.
Menjawabi
pertanyaan dari tulisan ini, DeCelles menyatakan, kuasa tak selamanya korup
karena tergantung pada siapa yang mengemban kuasa (jabatan) itu. Pertanyaannya,
apakah penguasa itu sosok yang bermoral dan beretika? Tendensi etis seseorang
sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai moralnya. Dan moralitas seseorang
dipengaruhi oleh agama yang dianutnya, budaya dan adat-istiadat, lingkungan
sosial di mana orang itu hidup dan bekerja. Jika seseorang lama hidup dan
bekerja dalam sebuah lingkungan di mana praktek suap-menyuap itu hal lumrah,
maka ketika orang itu berpindah ke tempat lain dan berkarya di tempat itu
misalnya sebagai Bupati, maka hampir pasti ia akan melumrahkan praktek itu
dalam kepemimpinannya.
Bagaimana
mengetahui watak seseorang? Presiden AS, Abraham Lincoln (1861-1865)
menyatakan: “Nearly all men
can stand adversity, but if you want to test a man’s character, give him
power”. Hampir semua orang bisa bertahan dalam kesengsaraan, tetapi jika
anda mau menguji sifat seseorang, berikan dia kekuasaan. Di sana kita akan tahu
apakah seorang Bupati, misalnya, adalah seseorang yang bermoral dan etis.
Mengapa kekuasaan
korup?
Kekuasaan cenderung
korup karena orang-orang dalam posisi kekuasaan acap kali tak bertanggung jawab
atas aksi-aksi mereka, dan oleh karena itu mereka berlaku semau gue. Jika tak
ada konsekwensi dalam rupa sangsi terhadap suatu perbuatan, hampir pasti
kebanyakan orang dalam posisi itu akan melakukan apa saja sesuka hatinya. Cukup
sering perbuatan-perbuatan penguasa bertentangan dengan norma-norma sosial
(social norms).
Lebih lanjut, perlu
dicatat, ada dua dimensi dari manusia menurut agama-agama: Dimensi fisik
(ragawi), dan dimensi metafisik (sukmawi). Dalam budaya pop, dimensi fisik itu
disejajarkan dengan setan, dan dimensi metafisik dianalogikan dengan malaikat.
Maka seolah ada setan di bahu kiri, dan malaikat di bahu kanan.
Dimensi fisik
lantas disamakan dengan insting binatang dan dianggap jahat, oleh karena
binatang eksklusif berfokus pada insting survival. Namun survival tak perlu
dianggap jahat. Seekor singa tak boleh sertamerta dianggap jahat hanya karena
ia membunuh binatang lain untuk bertahan hidup. Singa yang membunuh binatang
lain dianggap jahat bukan hanya karena insting survivalnya, tetapi juga dan
justru karena kebengisan singa dalam menerkam binatang-binatang lain. Di sini
survival erat kaitannya dengan kebengisan.
Tentu saja survival
manusia berbeda dan jauh lebih kompleks dari pada insting survival binatang,
seperti singa. Manusia mempunyai akal budi untuk merencanakan masa depannya.
Oleh karena itu, kebengisan seperti membunuh sesamanya, baik secara nyata
maupun analogis, tak perlu dan tak boleh dilakukan atas nama survival. Dalih
ini tak pantas digunakan oleh manusia yang berakal budi.
Kuasa bisa seperti
medan perang di mana hanya melaluinya kemenangan atau kesuksesan bisa diraih.
Dalam perang, sering kali orang mengikuti insting survival binatang di mana
mereka saling melukai dan membantai. Membunuh atau dibunuh, tak ada pilihan
lain. Dalam konteks ini, dimensi fisik, yang erat kaitannya dengan insting
survival, menjadi sangat dominan, bahkan menjadi norma.
Dalam posisi
kekuasaan di mana tak seorang pun bisa melawan mereka, penguasa cenderung
hilang kendali dan melakukan apa saja tanpa sedikit pun ketakutan akan
konsekwensinya. Kekuasaan menjadi korup oleh karena dominasi dimensi fisik
(ragawi) atas dimensi metafisik (sukmawi).
Orang lupa bahwa
kekuasaan itu sebetulnya diberikan. Dalam banyak kasus, supaya kekuasaan itu
bisa dipertahankan, maka bawahan atau rakyat mesti mendukung penguasa untuk
tetap dalam posisi kekuasaan. Banyak pemimpin tumbang karena mereka kurang
menunjukkan kerendahan hati dan apresiasi terhadap pentingnya dukungan bawahan
dan rakyat. Pemimpin lupa, atau sengaja lupa, bahwa mereka adalah bagian dari
komunitas.
Si A menjadi
Bupati, misalnya, karena mayoritas rakyat di Kabupaten itu memilihnya menjadi
Bupati. Terlepas dari apakah rakyat ditakut-takuti atau disuap untuk memilihnya
sebagai Bupati. Hampir pasti, Bupati yang memperoleh jabatan melalui terror dan
money politics paling rentan untuk melakukan korupsi. Bupati yang angkuh tak
pernah tahu bersyukur, ibarat kacang lupa kulit. Dan sifat tak tahu bersyukur
ini adalah tipe orang yang tak bermoral dan tak beretika.
Tak heran, Lord
Acton menyatakan, “Power tends to corrupt”. Kekuasaan cenderung korup.
Sumber: floresbangkit.com,
4 November 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!