Oleh Ikrar Nusa Bhakti
Profesor Riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Jakarta
SAPU bersih seluruh jabatan pimpinan DPR RI dan alat-alat
kelengkapan dewan oleh Koalisi Merah Putih (KMP) menggambarkan dimulainya babak
baru dalam sistem politik Indonesia. Di masa Orde Baru dan awal reformasi
hingga DPR periode 2009-2014, wakil dari tiap fraksi di DPR mendapatkan posisi
di pimpinan DPR atau jajaran pimpinan di alat-alat kelengkapan dewan. Cara itu
menyebabkan munculnya rasa kebersamaan, kesatuan, dan kekeluargaan di DPR RI
sehingga konfl ik antarfraksi terkait dengan bagi-bagi posisi kursi itu dapat
diminimalkan.
Gerakan sapu bersih
tersebut sebenarnya sudah tercium sejak DPR periode 2009-2014 memproses
Rancangan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau dikenal dengan UU MD3 dan
pembuatan aturan Tata Tertib DPR yang disahkan pada 16 September 2014. UU MD3
memang dirancang agar koalisi partai pendukung calon presiden atau calon wakil
presiden Prabowo Subianto atau Hatta Rajasa yang terdiri atas Partai Gerindra,
Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrat (yang awalnya
menyatakan sebagai partai pengimbang, tetapi kemudian semakin nyata warnanya)
dapat menguasai parlemen melalui aturan pemilihan sistem paket yang didukung
oleh enam fraksi berbeda.
Aturan itu menutup
kemungkinan bagi koalisi partai pendukung capres atau cawapres Joko Widodo dan
Jusuf Kalla untuk dapat mengajukan calon-calon pimpinan DPR melalui sistem
paket karena jumlah anggota koalisi yang akan memiliki kursi di DPR pada saat
itu hanya terdiri atas empat partai yaitu PDIP, Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai Nasional Demokrat (Partai
NasDem) yang masuk DPR pada periode 2014-2019.
Tata tertib DPR RI
yang disahkan sepihak oleh koalisi pendukung Prabowo-Hatta pada 16 September
2014 juga idem dito, yaitu berupaya menihilkan koalisi partai pendukung
Jokowi-JK untuk dapat mengisi kursi jajaran pimpinan pada alat-alat kelengkapan
dewan, yakni dengan aturan bahwa paket jajaran pimpinan diusulkan oleh
sedikitnya enam fraksi berbeda di DPR RI.
Menyeberangnya PPP
dari Koalisi Merah Putih ke Koalisi Indonesia Hebat sebenarnya telah mengubah
peta politik di DPR menjadi 5:5. Namun, konflik internal di PPP akhirnya
memungkinkan faksi pendukung Suryadharma Ali (SDA) untuk ditarik mengajukan
nama-nama calon pimpinan alat kelengkapan dewan. Itu digunakan sebagai pembenar
bagi koalisi pendukung Prabowo untuk menjalankan niat mereka menyapu bersih
jajaran pimpinan alat-alat kelengkapan dewan. PPP faksi SDA hanya digunakan
sebagai alat atau pelengkap penderita untuk melapangkan jalan bagi-bagi kursi
koalisi pendukung Prabowo-Hatta.
Kondisi di DPR
tersebut bukan hanya menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya
pemerintahan yang terbelah antara eksekutif dan legislatif, melainkan juga
secara nyata sudah menimbulkan kondisi parlemen yang terbelah antara koalisi
pendukung Prabowo-Hatta yang menguasai semua lini di DPR RI dan koalisi
pendukung Jokowi-JK yang kemudian membentuk pimpinan DPR tandingan. Apa yang
terjadi di DPR saat ini menunjukkan betapa kekuasaan, bukan kekeluargaan,
kebersamaan, dan persatuan, menjadi kata kunci dalam perpoli tikan di dewan.
Kita sudah mengarah jauh dari sistem politik yang didasari ideologi Pancasila
yang mengutamakan asas persatuan, kemanusiaan, musyawarah mufakat, dan
keadilan. Apa yang tampak saat ini ialah terjadinya dominasi mayoritas terhadap
minoritas kalau tidak dapat disebut sebagai diktator mayoritas di DPR.
Kebuntuan politik
Kondisi politik di
DPR RI saat ini bukan mustahil menciptakan kebuntuan politik di internal DPR,
terlebih lagi antara legislatif dan eksekutif. Saat ini, misalnya, koalisi
partai pendukung Jokowi-JK tidak mau menghadiri sidang-sidang yang diadakan DPR
yang dimonopoli koalisi pendukung Prabowo-Hatta.
Selain itu, Koalisi
Indonesia Hebat merekomendasikan pemerintahan Jokowi-JK untuk tidak mau
menghadiri rapat-rapat dengan mitra legislatifnya selama tidak ada keinginan
Koalisi Merah Putih untuk berbagi posisi di alat-alat kelengkapan dewan. Mereka
khawatir bahwa tidak adanya wakil Koalisi Indonesia Hebat di jajaran pimpinan
alat-alat kelengkapan dewan akan menyebabkan tidak adanya perlindungan politik
bagi eksekutif dalam semua proses politik di DPR RI, baik pada proses
legislasi, budgeting, maupun pengawasan.
Meski pimpinan DPR
menyatakan tidak ada niat untuk menjegal pemerintah dan bahkan mereka ingin
mendukung program-program pemerintah, janji-janji tersebut belum tentu
diterapkan. Buktinya, Ketua DPR RI Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR RI dari
Fraksi Partai Demokrat Agus Hermanto berkali-kali menyatakan tidak ada
keinginan sapu bersih di alat-alat kelengkapan dewan, tetapi mereka ingin
berbagi. Namun, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Agus Hermanto bahkan
pernah mengatakan kepada penulis bahwa nanti lihat saja kalau dia menjadi
pimpinan sidang, asas kebersamaan itu akan diterapkan.
Nyatanya, justru
ketika dia menjadi pemimpin sidang terjadi skandal politik yang begitu besar
saat Koalisi Merah Putih menerima paket nama calon pimpinan alat kelengkapan
dewan dari faksi PPP kubu SDA sehingga Ketua Fraksi PPP kubu Muktamar Surabaya
marah besar dan mendorong jatuhkan meja. Tidak terakomodasinya keluhan Koalisi
Indonesia Hebat juga menjadi penyebab mengapa mereka akhirnya membuat sidang
paripurna sendiri yang menetapkan jajaran pimpinan dewan versi Koalisi
Indonesia Hebat.
Cerminan politik
elite
Sebenarnya, antara
koalisi pendukung Prabowo-Hatta dan koalisi Jokowi-JK sudah terjadi pendinginan
suhu politik ketika Jokowi mengadakan pertemuan-pertemuan informal dengan
jajaran pimpinan DPR RI dan MPR RI serta dengan Prabowo Subianto saat menjelang
pengambilan sumpah jabatan presiden atau wakil presiden 20 Oktober 2014. Wakil
Presiden Jusuf Kalla juga sudah bertemu dengan Ketua Umum Partai Golkar
Aburizal Bakrie, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, dan pendiri atau Ketua
Umum pertama PAN Amien Rais.
Prabowo Subianto
bahkan sepakat untuk berbagi posisi pimpinan di alat-alat kelengkapan dewan
dengan perbandingan 60% untuk KMP dan 40% untuk KIH. Bahkan, KIH sudah
menurunkan tawarannya menjadi hanya 16 kursi dari 63 kursi jajaran pimpinan
alat-alat kelengkapan dewan.
Sikap jajaran
fraksi di DPR RI tentu cerminan dari kebijakan politik pimpinan partai Koalisi
Merah Putih. Tidak mungkin fraksi berbeda keputusan dengan pimpinan partai. Itu
berarti, pendekatan-pendekatan dan komunikasi politik Jokowi-JK dengan Prabowo,
ARB, dan Amien Rais masih sebatas basa-basi politik dan masih diselimuti
`kemarahan permanen' Prabowo atas kekalahannya dari seorang wong cilik bernama
Jokowi pada Pilpres 2014.
Jika tidak ada
politik akomodatif dari Koalisi Merah Putih terhadap Koalisi Indonesia Hebat di
DPR RI, kebuntuan di DPR RI akan terus berlanjut. Peta politik di DPR RI bisa
saja berubah jika terjadi perubahan politik pada jajaran pimpinan Partai Golkar
pada munas Januari, Februari, atau April 2015, tempat kubu JK atau gerakan anak
muda berslogan Asal bukan ARB memenangi Pemilihan Ketua Umum Partai Golkar.
Tanpa itu, politik di DPR akan tetap buntu atau bahkan menjurus pada
`penjegalan elite politik lama yang licik terhadap elite politik baru yang
mewakili wong cilik bernama Jokowi'. Jika itu terjadi, rakyatlah yang menjadi
korban.
Sumber: Media Indonesia, 1 November 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!