Pengarang & wartawan senior Tempo
TIDAK ada makan siang yang gratis. Ini ungkapan populer di Barat. Kalau di sini, yang populer sekarang adalah "tak ada kandidat presiden yang gratis".
Siapa yang
disindir? Tentu Joko Widodo, presiden ketujuh negeri ini. Ia menjadi calon
presiden dalam pemilu pada tahun lalu karena ditunjuk oleh Ketua Umum PDI
Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Padahal Jokowi-begitu nama presiden ini
disingkat-bukan kader yang menjadi pengurus pusat PDIP. Bahkan, ia belum pernah
menjadi anggota DPR. Ia menelikung sejumlah kader partai, termasuk Megawati
sendiri. Kongres PDIP sudah menetapkan bahwa calon presiden hanya bisa keluar
dari saku Megawati, dan banyak orang menduga ia sendirilah yang bakal maju.
Ternyata Mega menyerahkan prospek tersebut kepada Jokowi.
Memang betul Jokowi
berhasil merangkul banyak relawan. Tanpa dukungan relawan, sulit Jokowi menang.
Namun, tanpa tiket dari partai politik, tak ada orang sehebat apa pun di negeri
ini yang bisa menjadi calon presiden. Sebab, calon presiden independen tak
dibolehkan undang-undang.
Jokowi memang
beruntung. Namun tidak ada yang gratis. Ia harus membayarnya. Bukan hanya
kepada PDI Perjuangan, tapi juga kepada partai politik yang berkoalisi dengan
PDIP. Dengan cara apa Jokowi membayar? Sudah pasti dengan barter jabatan, baik
suka maupun tak suka, diakui maupun tidak.
Jadi, sesungguhnya
Jokowi tak bisa berjalan secara independen. Hak prerogatif presiden hanya ada
dalam kata-kata formal. Cara Jokowi menunjuk menteri jelas merupakan upaya
membayar utang. Puan Maharani, anak Megawati, menjadi salah satu menteri
koordinator. Tentu sulit dibantah bahwa sejatinya Jokowi memang "tak bisa
membantah". Repotnya lagi, Jokowi tak punya basis di partai mana pun. Ia
juga harus membayar utang kepada partai-partai koalisi. Tong kosong berbunyi
nyaring kalau Jokowi mengatakan menteri yang ia angkat jauh dari urusan
transaksional, apalagi tanpa syarat.
Sepanjang orang
yang diangkat tak tercela, publik masih bisa bertenggang rasa sambil berharap
mudah-mudahan kinerjanya baik. Namun tidak demikian ketika Jokowi mengajukan
calon Kepala Polri ke DPR. Komisaris Jenderal Budi Gunawan sudah diketahui
secara umum punya kasus rekening gendut. Budi Gunawan adalah mantan ajudan
Megawati, dan tak seujung kuku pun orang bisa percaya bahwa ia bukan titipan
Megawati. Hal ini bisa dilihat dari ngototnya Megawati dan kader-kader PDI
Perjuangan membela Budi Gunawan, bahkan ketika Budi sudah dinyatakan sebagai
tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Jokowi membatalkan
pelantikannya, meski DPR tetap setuju.
Jokowi berada di
simpang jalan. Melantik Budi Gunawan berarti menghina korps polisi. Seorang
Kapolri aktif kelak akan mengenakan baju oranye KPK. Relawan Jokowi pun pasti
meradang. Jika Budi tidak dilantik, Jokowi bakal terus digoyang DPR, baik oleh
koalisi PDIP yang mendukungnya maupun koalisi Gerindra yang beroposisi. Sebagai
jawaban atas dua pilihan sulit itu, Jokowi menunjuk Wakil Kapolri sebagai
pelaksana tugas Kapolri, padahal Kapolri-nya tidak ada. Bagaimana mungkin
pejabat yang belum dilantik tiba-tiba "dianggap bermasalah" sehingga
harus digantikan oleh pelaksana tugas?
Ke mana
menteri-menteri politik dan hukum Jokowi? Tak ada tanda-tanda mereka
menyarankan agar Jokowi menarik pencalonan Budi Gunawan begitu KPK memberikan
status tersangka. Para menteri itu terjebak dalam pilihan membela partai atau menyelamatkan
Jokowi. Dengan kondisi ini, Jokowi lebih baik mulai menata basis politik yang
riil. Sulit memang, tapi boleh dicoba dengan kesabaran.
Sumber: Koran Tempo, 22
Januari 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!