Headlines News :
Home » » Insiden Negeri Sembilan

Insiden Negeri Sembilan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Saturday, April 28, 2012 | 8:08 PM

  Oleh Ansel Deri
Anggota Keluarga Eks Buruh Migran di Johor Bahru;
tinggal di Jakarta

INSIDEN penembakan yang menewaskan buruh migran di Malaysia kembali menohok hati pemerintah dan rakyat Indonesia. Kali ini menimpa tiga buruh migran asal Nusa Tenggara Barat. Ketiganya adalah Mad Noor (28), warga Desa Pengadangan, Kecamatan Pringgasela serta Herman (34) dan Abdul Kadir Jaelani (25), warga Dusun Pancor Kopong, Desa Pringgasela Selatan, Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur. Mereka meregang nyawa setelah diberondong peluru Polisi Diraja Malaysia di Negeri Sembilan, 24 Maret 2012. Keesokannya, media massa Malaysia ramai melansir kematiannya setelah diketahui terbujur kaku Hospital Port Dickson, Negeri Sembilan.

Informasi tewasnya ketiga buruh migran itu menohok karena ditemui kejanggalan. Organ vitalnya diduga kuat diambil dan diperjualbalikan karena terdapat jahitan pada kedua mata, dada, dan perut. Mata dan organ dalam diduga sudah hilang. Dugaan itu merujuk penuturan Hirman, anggota keluarga Jaelani yang melihat langsung kondisi jasad ketiganya di Rumah Sakit Port Dickson. Hirman mengaku melihat jasad ketiganya sebelum dikafani dan dimasukkan dalam peti untuk diterbangkan ke kampung halaman di Pengadangan, Lombok Timur.

Kejanggalan itu pula mendorong H. Maksum (52), ayah Herman, melaporkan kasus itu ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat di Mataram. Maksum yang datang bersama Nurmawi (45), kakak Mad Noor dan perwakilan keluarga Jaelani, meminta agar jenazah ketiga pahlawan devisa itu diotopsi.

Permintaan tersebut dikabulkan. Mapolda Nusa Tenggara Barat melalui Kepala Sub Bidang Penerangan Masyarakat Bidang Humas Polda Nusa Tenggara Barat Lalu Wirajaya di Mataram, Rabu, (25/4) memastikan sudah ada perintah dari Mabes Polri melakukan otopsi ulang di lokasi penguburan keluarga, di Lombok Timur, 26-27 April.

Insiden Negeri Sembilan menambah daftar panjang ratusan buruh migran yang setiap tahun tewas, mengalami penyiksaan, pemerkosaan bahkan dipulangkan tanpa dibayar gaji oleh majikan. Sebut saja buruh migran berinisial RN asal NTT. Perempuan berusia 16 tahun yang bekerja sebagai cleaning service itu diperkosa di perkebunan sawit dan ditinggalkan tanpa busana setelah ia menghilang dari tempatnya bekerja karena tak tahan dengan perlakuan majikan.

Begitu pula Suhayati, buruh migran asal Kalimantan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Selain mendapat perlakuan kasar, Suryati juga diperkosa majikan. Sedangkan Siti Hajar (33), buruh migran asal Jawa Tengah disiram air panas dan dipukul dengan kayu di sekujur tubuhnya jika melakukan kesalahan saat bekerja. Selain penyiksaan, Siti juga tak pernah menerima gaji selama masa kerjanya, 34 bulan.

Jauh sebelum itu, pada 22 September 2011, Petrus Dori Deona (59), buruh migran asal Desa Labalimut, Lembata, Nusa Tenggara Timur, tewas dibunuh di Kulai Johor, Malaysia Barat. Jenazah petani kecil itu baru ditemukan kerabat dekat keesokan hari menjelang Sholat Jumat. Tak ada proses hukum, jenazahnya langsung dimakamkan. Meski media online dalam negeri sempat memberitakan, Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tak ambil pusing sehingga berita tersebut hilang bagai ditelan bumi.

Berulang

Peristiwa kematian para pahlawan devisa di Malaysia terus berulang dari tahun ke tahun. Belum lagi ribuan lainnya yang tersangkut kasus hukum. Padahal, berbagai regulasi terkait penempatan dan perlindungan buruh migran sudah tersedia sekalipun belum menjamin keamanan dan kenyamanan buruh migran. Terbukti, belum selesai satu kasus ditangani, muncul kasus lain seperti yang menimpa Mad Noor, Herman, dan Jaelani.

Namun, di lain pihak pemerintah dinilai kurang peduli dengan nasib para buruh migran. Selama ini buruh migran Indonesia mengalami berbagai macam persoalan yang bersumber dari ketidakpedulian pemerintah terhadap hak asasi buruh migran Indonesia. Bahkan, justru pemerintah yang mengembangkan cara pandang diskriminatif terhadap buruh migran Indonesia. Pemerintahlah yang mengkategorikan entitas buruh migran sebagai buruh formal-informal, terampil-tidak terampil (skilled-unskilled), dan legal-ilegal.

Memilah buruh migran dalam dikotomi formal-informal jelas sangat bias jender dan diskriminatif. Mereka yang dikategorikan kerja di sektor formal adalah yang bekerja ”bukan” sebagai pekerja rumah tangga dan artinya laki-laki. Sementara yang bekerja di sektor informal adalah mereka (mayoritas perempuan) yang menjadi pekerja rumah tangga (PRT). Informalisasi sektor kerja tak lebih dari permakluman bahwa negara boleh tidak menjangkau dan tidak melindungi mereka.

Sepintas, posisi buruh migran di luar negeri kurang menguntungkan. Saban tahun kita disuguhkan berita tak sedap atas nasib ratusan buruh migran meninggal akibat penembakan atau penyiksaan. Juga ratusan kasus pemerkosaan, hukum, hubungan buruh-majikan, dan lain-lain. Tatkala ada peristiwa menimpa seorang buruh migran dan heboh di media, reaksi pemerintah dan elemen-elemen dalam negeri bermunculan.

Di lain sisi, jumlah masyarakat yang menyabung nasib di luar negeri bertambah. Kantor berita Perancis, AFP melaporkan, tahun 2012 sebanyak 300.000 pekerja wanita Indonesia menjadi pembantu rumah tangga di Malaysia. Padahal, pada 2009 pengiriman buruh migran untuk tenaga kerja rumah tangga ini dihentikan pemerintah menyusul banyaknya kasus kekerasan terhadap buruh migran yang bekerja di sektor rumah tangga.

Simpati

Reaksi pemerintah Indonesia atas insiden tewasnya tiga buruh migran di Negeri Sembilan ditunjukkan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Badan yang dipimpin Moh Jumhur Hidayat memutuskan membentuk tim investigasi untuk menyelidiki kasus tersebut. Selain memastikan kebenaran dugaan organ vital ketiganya diperjualbelikan, juga kelengkapan dokumennnya. Hal ini penting karena menurut Direktur Pengamanan BNP2TKI Bambang Purwanto ketiga buruh migran itu ilegal, tidak berdokumen dan sudah sejak 2010 tinggal di Malaysia.

DPR pun segera mendesak otoritas Malaysia untuk mengklarifikasi informasi penjualan organ vital buruh migran asal Indonesia. Wakil Ketua Komisi IX DPR Irgan Chairul Mahfiz mengingatkan pemerintah Indonesia tidak berdiam diri atas kasus tersebut. Jika tidak, kasus serupa bisa terulang. Pemerintah juga diminta melakukan investigasi untuk mengetahui pelakunya. Begitu pula sejumlah organisasi massa seperti Serikat Buruh Migran Indonesia bersama Sekber Buruh, Lembaga Bantuan Hukum, dan elemen masyarakat yang lain angkat bicara. Dalam keterangan pers bersama di kantor LBH Jakarta, Jl Diponegoro, Jakarta, Rabu (25/4), elemen-elemen masyarakat itu menilai, insiden penembakan tersebut melukai perasaan karena ketiganya dituding melakukan perampokan di 19 rumah penduduk. Apalagi, kasus seperti ini bukan yang pertama kali.

Posisi buruh migran jauh sebelumnya juga mendapat perhatian Komite Pengarah Internasional Untuk Kampanye Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Pekerja Migran. Dalam laporannya yang terbit tahun 2009 berjudul Petunjuk Ratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya diuraikan jelas posisi kaum migran/buruh migran. Kaum migran adalah manusia, pemilik mutlak hak asasi manusia universal, yang hak-hak, martabat dan keamanannya membutuhkan perlindungan spesifik. Sesungguhnya, karena tidak mendapatkan perlindungan hukum dari negara tempat mereka bermigrasi, mereka bisa menjadi sangat rentan terhadap pelecehan dan eksploitasi.

Kasus Mad Noor dkk menguras dasar jiwa kita. Karena itu, perlindungan hukum dan ungkapan rasa simpati merupakan bagian lain dihargainya hak asasi buruh migran. Selain itu, sikap tegas atas tindakan sewenang-wenang pelaku jika bertentangan dengan hukum menjamin hubungan saling menghargai antara dua negara serumpun. Jangan sampai buruh migran kita dipandang sebagai kelompok yang bisa dieksploitasi dan dikorbankan, sumber tenaga kerja murah, lemah dan fleksibel, bersedia menerima pekerjaan atau kondisi kerja “3-D”: dirty (kotor), dangerous (berbahaya) dan degrading (melecehkan). Jika itu yang terjadi, di masa datang tembang duka atas buruh migran selalu terngiang di telinga pemerintah dan rakyat. Insiden seperti yang terjadi di Negeri Sembilan maupun Kulai Johor bakal terulang.
Sumber: Suara Pembaruan, 27 April 2012
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger