Oleh Laode Ida
Wakil Ketua DPD 2004-2014
PARA wakil rakyat di
Senayan kembali berinisiatif untuk memperoleh jatah resmi dari APBN dengan
mengusulkan anggaran "dana aspirasi". Jumlahnya pun tak
tanggung-tanggung, yakni berkisar Rp 15 miliar-Rp 20 miliar/anggota, dengan
total anggaran yang diminta Rp 11,2 triliun. Pihak anggota DPR pengusul dana
aspirasi (DA) itu pun mencari-cari alasan pembenaran, yakni terkait dengan
sumpah mereka untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang ada di daerah pemilihan
(dapil), sehingga terkesan sebagai suatu kewajiban untuk direalisasikan dalam
APBN 2016.
Sebagian fraksi di
DPR memang masih bersikap menolak usulan itu. Namun, jika pimpinan DPR
memaksakan, bisa saja terwujud, termasuk bisa dilewati melalui mekanisme voting
dalam sidang paripurna. Maklum, DPR memiliki otoritas kuat untuk menentukan
alokasi anggaran negara dalam APBN, apalagi terkait dengan kepentingan
pihaknya.
Jika kondisi itu
terjadi, pada akhirnya para anggota yang fraksinya menolak akan turut juga
menikmati keuntungan politis dari DA itu. Apalagi jika pemerintah tidak
mempermasalahkan alias setuju saja, maka usulan itu tak akan memperoleh
hambatan yang berarti. Kalaupun ada kelompok-kelompok masyarakat yang menolak,
niscaya tak akan berpengaruh karena mereka semua berada di luar panggung
penentuan anggaran.
Kendati demikian,
perlu dicatat, wacana DA itu sebenarnya pernah muncul pada 2010 (periode awal
parlemen 2009-2014). Tetapi, kandas atau tak bisa diwujudkan karena di samping
pimpinan DPR tidak bersikap ngotot, pihak pemerintah juga mengabaikannya karena
memang ditentang keras banyak pihak di masyarakat. Para anggota DPR dianggap
tidak pada posisi untuk memperoleh DA, di mana seharusnya hal ini pula menjadi
pertimbangan utama sehingga sewajarnyalah menolak atau tak memproses lebih
lanjut usulan DA itu. Mengapa?
Pertama, otoritas
anggota DPR dalam mengarahkan DA belum memiliki dasar hukum terkait mekanisme
perencanaan pembangunan dan pengelolaan keuangan negara. Pengelolaan keuangan
negara kita sekarang mengacu kepada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, di mana
tak ada satu klausul pun yang memberi kewenangan kepada anggota parlemen untuk
mengarahkan penggunaan anggaran negara dalam wujud DA.
Pihak eksekutiflah
yang memiliki kewenangan merencanakan program beserta anggarannya yang diajukan
atau dibiayai APBN (atau APBD di daerah otonom) dengan pendekatan berbasis
kinerja. Jika para anggota DPR menggunakan sumpah dan janji sebagai dasar
memaksakan DA, maka sebenarnya hanya mencari-cari peluang saja.
Kedua, DA akan
memastikan konflik kepentingan tak bisa dielakkan. Anggota DPR sendiri bertugas
untuk melakukan pengawasan terhadap implementasi program eksekutif berikut
anggarannya, sementara DA akan mengakomodasi usulan dari dapil terkait dukungan
politik dari kelompok-kelompok masyarakat pendukung. Yang pasti adalah akan
tiadanya sikap obyektif dalam pengawasan terhadap penggunaan DA yang diporsikan
untuk dikendalikan anggota DPR itu sendiri. Artinya, jika DA diwujudkan, maka
sama halnya dengan meniadakan fungsi kontrol dari anggota parlemen terhadap
perencanaan dan eksekusi anggaran negara.
Lebih jauh dari
itu, usulan program untuk menggunakan DA akan sangat sulit membedakan antara
"kebutuhan" dan "keinginan". Keinginan subyektif kelompok
masyarakat bahkan individu pendukung anggota DPR boleh jadi akan selalu
diakomodasi, padahal itu bukan merupakan kebutuhan obyektif masyarakat banyak
di dapil, sehingga sebenarnya tak pantas dibiayai APBN. Namun, jika itu tak
dibiayai, padahal masyarakat setempat tahu ada DA, maka akan berimplikasi
kepada menurunnya dukungan politik bagi anggota DPR bersangkutan. Ini juga
berarti, jika DA diwujudkan, maka sama halnya dengan membiarkan anggaran negara
digunakan untuk kepentingan subyektif politis bagi anggota DPR terkait.
Ketiga, jika Ketua
DPR Setya Novanto memberi alasan bahwa DA itu untuk kepentingan masyarakat
desa, maka sebenarnya sudah salah kaprah dan barangkali melupakan substansi
produk sendiri. Soalnya dengan diimplementasikan UU No 6/2014 tentang Desa,
maka program-program pembangunan di desa sudah dapat diakomodasi dengan
menggunakan dana alokasi desa (DAD) yang jumlahnya miliaran rupiah per
desa/tahun anggaran.
Selain itu, tentu
saja, masyarakat desa masih akan memperoleh sentuhan program lainnya dari APBD
dan APBN melalui proses perencanaan dari bawah, seperti sudah disinggung di
atas. Jadi, secara bertahap, sepanjang
UU desa masih berlaku, masyarakat desa akan kebanjiran kucuran program berikut
anggarannya baik melalui mekanisme DAD, APBD, dan APBN itu. Lalu, akan
diarahkan ke desa mana lagi DA dari anggota DPR itu?
Keempat, dari segi
etika pengambil kebijakan, jika pun dianggap perlu, maka sangat tidak etis dan
tidak pantas. Karena, secara prinsip, penyelenggara negara tak boleh membuat
kebijakan untuk menguntungkan diri sendiri.
Sumber: Kompas, 18 Juni 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!