Headlines News :
Home » » Menolak Dana Aspirasi DPR

Menolak Dana Aspirasi DPR

Written By ansel-boto.blogspot.com on Sunday, June 21, 2015 | 12:54 PM

Oleh Laode Ida 
Wakil Ketua DPD 2004-2014 

PARA wakil rakyat di Senayan kembali berinisiatif untuk memperoleh jatah resmi dari APBN dengan mengusulkan anggaran "dana aspirasi". Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung, yakni berkisar Rp 15 miliar-Rp 20 miliar/anggota, dengan total anggaran yang diminta Rp 11,2 triliun. Pihak anggota DPR pengusul dana aspirasi (DA) itu pun mencari-cari alasan pembenaran, yakni terkait dengan sumpah mereka untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang ada di daerah pemilihan (dapil), sehingga terkesan sebagai suatu kewajiban untuk direalisasikan dalam APBN 2016.

Sebagian fraksi di DPR memang masih bersikap menolak usulan itu. Namun, jika pimpinan DPR memaksakan, bisa saja terwujud, termasuk bisa dilewati melalui mekanisme voting dalam sidang paripurna. Maklum, DPR memiliki otoritas kuat untuk menentukan alokasi anggaran negara dalam APBN, apalagi terkait dengan kepentingan pihaknya.

Jika kondisi itu terjadi, pada akhirnya para anggota yang fraksinya menolak akan turut juga menikmati keuntungan politis dari DA itu. Apalagi jika pemerintah tidak mempermasalahkan alias setuju saja, maka usulan itu tak akan memperoleh hambatan yang berarti. Kalaupun ada kelompok-kelompok masyarakat yang menolak, niscaya tak akan berpengaruh karena mereka semua berada di luar panggung penentuan anggaran.

Kendati demikian, perlu dicatat, wacana DA itu sebenarnya pernah muncul pada 2010 (periode awal parlemen 2009-2014). Tetapi, kandas atau tak bisa diwujudkan karena di samping pimpinan DPR tidak bersikap ngotot, pihak pemerintah juga mengabaikannya karena memang ditentang keras banyak pihak di masyarakat. Para anggota DPR dianggap tidak pada posisi untuk memperoleh DA, di mana seharusnya hal ini pula menjadi pertimbangan utama sehingga sewajarnyalah menolak atau tak memproses lebih lanjut usulan DA itu. Mengapa?

Pertama, otoritas anggota DPR dalam mengarahkan DA belum memiliki dasar hukum terkait mekanisme perencanaan pembangunan dan pengelolaan keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara kita sekarang mengacu kepada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, di mana tak ada satu klausul pun yang memberi kewenangan kepada anggota parlemen untuk mengarahkan penggunaan anggaran negara dalam wujud DA.

Pihak eksekutiflah yang memiliki kewenangan merencanakan program beserta anggarannya yang diajukan atau dibiayai APBN (atau APBD di daerah otonom) dengan pendekatan berbasis kinerja. Jika para anggota DPR menggunakan sumpah dan janji sebagai dasar memaksakan DA, maka sebenarnya hanya mencari-cari peluang saja.

Kedua, DA akan memastikan konflik kepentingan tak bisa dielakkan. Anggota DPR sendiri bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap implementasi program eksekutif berikut anggarannya, sementara DA akan mengakomodasi usulan dari dapil terkait dukungan politik dari kelompok-kelompok masyarakat pendukung. Yang pasti adalah akan tiadanya sikap obyektif dalam pengawasan terhadap penggunaan DA yang diporsikan untuk dikendalikan anggota DPR itu sendiri. Artinya, jika DA diwujudkan, maka sama halnya dengan meniadakan fungsi kontrol dari anggota parlemen terhadap perencanaan dan eksekusi anggaran negara.

Lebih jauh dari itu, usulan program untuk menggunakan DA akan sangat sulit membedakan antara "kebutuhan" dan "keinginan". Keinginan subyektif kelompok masyarakat bahkan individu pendukung anggota DPR boleh jadi akan selalu diakomodasi, padahal itu bukan merupakan kebutuhan obyektif masyarakat banyak di dapil, sehingga sebenarnya tak pantas dibiayai APBN. Namun, jika itu tak dibiayai, padahal masyarakat setempat tahu ada DA, maka akan berimplikasi kepada menurunnya dukungan politik bagi anggota DPR bersangkutan. Ini juga berarti, jika DA diwujudkan, maka sama halnya dengan membiarkan anggaran negara digunakan untuk kepentingan subyektif politis bagi anggota DPR terkait.

Ketiga, jika Ketua DPR Setya Novanto memberi alasan bahwa DA itu untuk kepentingan masyarakat desa, maka sebenarnya sudah salah kaprah dan barangkali melupakan substansi produk sendiri. Soalnya dengan diimplementasikan UU No 6/2014 tentang Desa, maka program-program pembangunan di desa sudah dapat diakomodasi dengan menggunakan dana alokasi desa (DAD) yang jumlahnya miliaran rupiah per desa/tahun anggaran.

Selain itu, tentu saja, masyarakat desa masih akan memperoleh sentuhan program lainnya dari APBD dan APBN melalui proses perencanaan dari bawah, seperti sudah disinggung di atas. Jadi,  secara bertahap, sepanjang UU desa masih berlaku, masyarakat desa akan kebanjiran kucuran program berikut anggarannya baik melalui mekanisme DAD, APBD, dan APBN itu. Lalu, akan diarahkan ke desa mana lagi DA dari anggota DPR itu?

Keempat, dari segi etika pengambil kebijakan, jika pun dianggap perlu, maka sangat tidak etis dan tidak pantas. Karena, secara prinsip, penyelenggara negara tak boleh membuat kebijakan untuk menguntungkan diri sendiri. 
Sumber: Kompas, 18 Juni 2015
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger