DENGAN luas 9.635 hektare, Danau Sentani menjadi danau
terbesar di Papua. Danau ini berada di selatan Kota Sentani, ibu kota Kabupaten
Jayapura. Letaknya tepat di lereng Pegunungan Cycloops, yang memagari danau yang terbentang di antara
Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura ini.
Ada sekitar 22
pulau kecil tersebar dari barat ke timur. Sebagian besar dihuni masyarakat asli
atau suku-suku di Sentani. Di area danau ini terdapat 24 kampung yang tersebar
di pesisir dan pulau-pulau kecil yang ada di tengah danau itu. Setiap kampung
begitu unik dan penduduknya memiliki tradisi masing-masing. Misalnya penduduk
Pulau Asei yang terkenal dengan kerajinan kulit kayunya. Sedangkan di Desa
Taturi, penduduknya mahir membuat lukisan batu.
Menurut Pilipus M.
Kopeuw, STh, MPd, peneliti dan putra asli Sentani, penyebutan “suku Sentani”
terhadap seluruh penduduk Sentani sebetulnya tidak pas. Sebab setiap kampung
memiliki suku tersendiri. Dari Kampung Yoka, yang paling ujung, Waena–tempat
menuntut ilmu–, Sebeaiburu, Puay, Ayapo, Asei Kecil dan Asei Besar, Netar, Ifar
Besar, Ifar Kecil (Ifale), Hobong, Yobhe, Yabuai, Putali, Abar, Atamali, Yoboi,
Simporo, Babrongko, Dondai, Kwadeware, Yakonde, Sosiri, hingga Doyo Empat
Kampung, semuanya dihuni suku yang berbeda-beda dan mempunyai ondofolo (kepala
adat) sendiri-sendiri. Setiap kose (Kepala Suku) pun memiliki nama suku
sendiri-sendiri.
Dalam satu kampung
biasanya ada satu ondofolo dan lima kose. Artinya, satu kampung bisa dihuni
minimal enam suku. Jadi kalau ada 24 kampung, ada 144 suku yang ada di wilayah
Sentani.
Namun, kendati
dihuni suku yang beragam, kampung-kampung ini disatukan oleh satu hal: kesamaan
legenda. Sebuah legenda setempat menyebutkan masyarakat yang pertama kali
menetap di Danau Sentani berasal dari Papua Nugini. Leluhur mereka ini datang
dengan mengendarai naga.
Masyarakat asli
Sentani mencukupi kebutuhan mereka dengan mencari ikan, kerang (kheka), dan
siput (fele). Mereka juga menanam umbi-umbian, seperti singkong atau ketela
pohon (kasbi), keladi, dan ubi jalar, serta pisang dan sayuran. Hutan sagu pun
terbentang luas, tapi bukan hasil budi daya, melainkan pemberian Sang Pencipta.
Ikan-ikan tidak pernah dikembangbiakkan, tapi tidak pernah habis meskipun
jutaan ekor diambil setiap hari.
Hal unik lain dari
masyarakat asli Sentani yaitu adanya alat pembayaran sendiri berupa
manik-manik, kapak batu (tomako), dan gelang batu (ebha). Ada tiga macam
manik-manik, yaitu haye, hawa, dan nokhong. Tomako juga terdiri atas tiga
jenis, yakni pendek (yun seki), sedang (relae) dan panjang (ebha bhuru).
Alat-alat pembayaran ini masih berlaku dalam pembayaran mas kawin saat
pernikahan.
Dalam Festival
Danau Sentani 2015 yang digelar pada 19-23 Juni mendatang, pengunjung dapat
mengenal suku-suku tersebut. Anda bisa, misalnya, naik perahu dari desa ke desa
untuk melihat kehidupan yang indah di Sentani.
Jangan lupa menikmati keunikan tradisi Sentani, menyantap sagu, juga
berenang di danau. Atau bisa juga sekadar menikmati panorama di tepian Danau
Sentani nan cantik. Di salah satu desa, yaitu Tuturi, terdapat lukisan batu
yang terdapat di tepi danau. Suasananya yang bersahabat serta embusan anginnya
memberikan ketenangan tersendiri bagi pengunjung. Festival Danau Sentani 2015 memberi Anda
kesempatan untuk mengenal keunikan
masyarakat asli salah satu wilayah di tanah Papua ini.
Sumber: Tempo.co, 20
Juni 2015
Ket foto: Rahasia keunikan masyarakat asli Sentani.
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!