Oleh Melky Koli Baran
Kontributor floresbangkit.com
CATATAN-catatan media cetak dan on line
akhir-akhir ini semakin menempatkan kabupaten Lembata dalam posisi kepungan
masalah. Terlebih gonjang ganjing politik, tata kelola pemerintahan dan
pembangunan, tragedi-tragedi kemanusiaan dan proses-proses penanganan
kasus-kasus kemanusiaan di tangan penegak hukum yang terkesan preman. Hampir
tak ditemukan sebelum pulau ini resmi jadi kabupaten sendiri tahun 1999.
Artinya, ketika pulau ini belum pisah dari wilayah kabupaten Flores Timur,
wajah buram seperti ini minim. Keburaman multi wajah mulai bersemi dan terus
menguat sejak pertama kali DPRD memilih bupati di kabupaten ini yang
memenangkan Andreas Duli Manuk. Apakah sebuah takdir atau karena salah urus?
Media lokal seperti
Flores Pos dalam beberapa edisi paling akhir sedikitnya menjustifikasi bahwa di
kabupaten itu pemerintahan dan pembangunan berjalan tidak sesuai prinsip
pemerintahan yang baik (good governace). Referensi ini tidak bermaksud
mengabaikan “sejarah buram” pada masa dua kali kepemimpinan sebelumnya di
tangan Andreas Duli Manuk dan kedua wakilnya. Seperti konfrontasi masyarakat
Kedang dan Pemda gara-gara bupati Manuk hendak menggunakan “tambang emas”
sebagai jalan menyejahterakan rakyat. Juga pengrusakan rumah tinggal Lukas
Narek oleh antek-anteknya bupati serta tragedi pembunuhan Yohakim Laka Langodai
yang kemudian menyeret sejumlah orang ke balik jeruji besi, termasuk seorang
putri bupati Manuk.
Karena itu ada
geliat harapan perubahan ketika Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
menggelorakan kampanye pemilihan bupati saat itu melalui jargon politik
“Lembata Baru”. Kampanye ini berhasil menaikan Eliaser Yance Sunur dan Viktor
Mado Watun.
Pesan jargon
efektif dan Lembata memasuki babak baru pembangunan yang lebih buruk dari
sebelumnya. Jika periode sebelumnya konfrontasi terjadi pada rencana tambang
emas yang melibatkan warga Kedang dengan Pemda, kini semakin meluas merasuki
hampir semua elemen masyarakat. Inikah Lembata baru itu?
Mencermati catatan
Flores Pos, di kabupaten itu sedang terjadi konfrontasi antara pemerintah
dengan DPRD, pemerintah dengan para pedagang, pemerintah dengan para pemakai
jasa. Dalam kasus-kasus ini, siapa mejamin bahwa bupati dan wakil bupati juga
akur-akur saja? Siapa juga bisa menjamin bahwa antar elemen masyarakat juga
baik-baik saja. Pertemuan Forum Penyelamat Lewotana Lembata dengan pak Kapolda
di Palm Hotel beberapa waktu silam yang dihadiri (disusupi) juga oleh
orang-orang non FP2L memperlihatkan di sana sedang ada konflik horizontal.
Flores Pos 6 Juni
2015 mencatat bahwa karena bupati Yance Sunur lalai menjalankan tugasnya maka
pencairan dana desa tertunda selama 6 bulan karena Perbub belum ditandatangani.
Padahal itu tugas pokoknya. Ketika lalai menandatangani Perbub, maka tata
kelola pembangunan desa di seluruh Lembata tertunda selama 6 bulan.
Pertanyaannya, apa susahnya menandatangani Perbub itu? Edisi ini juga masih
mencatat tentang pembangunan peningkatan jalan jurusan Lewoleba ke Lamalera
yang sangat buruk. Jalan dengan dana 14 miliar dan baru berusia setahun itu
kini sudah rusak. Inikah Lembata Baru yang dimaksudkan?
Demikian juga
hubungan bupati Yance Sunur dengan DPRD Lembata. Padahal teori mengatakan kedua
lembaga ini mitra dalam pelayanan kesejahteraan rakyat. Jika dicek, relasi yang
buruk itu gara-gara “DPRD kritis”. Ujungnya bupati tersinggung. Bupati tidak
mau menghadiri rapat dengan DPRD walau telah diagendakan untuk membicarakan
banyak persoalan yang ditemukan anggota DPRD saat reses. Bupati Yance pernah
menjadi anggota DPRD Bekasi. Artinya ia tahu apa peran DPRD dalam kemitraan
ini. Apakah kemitraan itu sama dengan boleh berkompromi untuk segala hal lalu
tidak menjadi kritis? Apakah karena untuk kemitraan maka harus diam jika ada
pihak yang mesti dikoreksi demi kebaikan?
Juga kasus pedagang
di taman kota dan kasus almarhum Lorens Wadu. Di bulan Juli ini, pedagang pasar
Pada kembali lagi beraksi di taman Kota. Di sini, aparat Satuan Pol PP pasang
badan. Institusi ini juga teramat aneh. Mungkinkah institusi ini adalah kumpulan
aparat produk pendidikan otot dan urat? Jika salah satu bagian kecil di otaknya
itu paham tugasnya, tentu dia bertanya mengapa para pedagang ini nekat
berjualan di taman kota? Lalu, pahamkah rombongan PNS di Satuan Pol PP bahwa
salah satu tugas mereka adalah menegakkan Perda? Jika paham, pastilah
menertibkan pedagang di TPI yang menjadi alasan pedagang pasar Pada datang ke
Taman Kota, bukan berkonfrontasi dengan pedagang pasar Pada.
Lebih gila kasus
almarhum Lorens Wadu. Wajah media sangat telanjang mengupas kasus ini, bahkan
terkesan lebih cerdas dari penyidik. Namun bagai anjing menggonggong, kafila
terus berlalu. Ada kesan bahwa di Lembata banyak aparat yang tak bernurani jika
tidak eteis dikatakan robot. Apalagi “Pencemaran Nama Baik” telah menjadi senjata
orang-orang jenis ini untuk mendiamkan kebenaran. Alex Murin sedang menghadapi
sidang di pengadilan di Kupang atas tuduhan pencemaran nama baik. Kini giliran
Ketua DPRD Ferdi Koda dilaporkan dengan tuduhan yang sama.
Kasus Lorens Wadu
lebih gila lagi. Sejumlah petunjuk diabaikan polisi. Misalnya mobil merah,
darah di sepeda motor korban, darah di pintu pagar menuju pondok korban. Semua
ini semakin diperjelas oleh cerita Surva Uran tentang sebuah Video yang
diyakini terjadi di Rumah Jabatan Bupati. Malah polisi tidak menjadikannya
sebagai petunjuk tetapi mengintimidasi Surva untuk mengubah keterangannya.
Bahkan ada dugaan, Surva Uran pernah dibujuk dan ditawari jabatan.
Sangat tidak cerdas
juga ketika Mikael Bala, seorang pejabat di Setda Lembata melaporkan pencemaran
nama baik Rujab bupati. Untung Kasat Reskrim Polres Lembata Iptu M. Arif
Sadikin mengatakan korban fitnah mesti manusia, bukan rumah jabatan. Mau jadi
apa jika laporan tak cerdas ini diproses polisi?
Dalam kasus Lorens
Wadu terkesan sejumlah pejabat panik. Seorang pejabat membongkar buku tamu
rumah jabatan untuk memastikan apakah pada malam sebelum Lorens Wadu ditemukan
tak bernyawa itu ada tamu di rumah jabatan. Polisi yang menyidik kasus ini juga
terkesan panik dengan keterangan Surva sehingga memeriksanya berulang kali,
bahkan terakhir membuat Surva tidak nyaman, takut lalu mengubah keterangannya.
Ada kabar, Surva dijanjikan jabatan bahkan studi lanjut asal mengubah
keterangannya dan melaporkan wartawan Flores Pos Maksi Gantung dengan tuduhan
pencemaran nama baik.
Pertanyaannya,
inikah Lembata Baru yang dijanjikan pasangan Yance Sunur dan Viktor Mado Watun,
jurkam dan tim sukses serta Partai Demokrasi Indonesia Pejuangan saat itu?
Dalam isi otak yang
waras, Lembata saat ini jauh lebih buruk dibandingkan sebelum pisah dari
Flotim. Rakyat di pulau itu memang telah ditakdirkan untuk menghuni Lembata.
Takdir dimulai ketika arus dan gelombang laut menghantar leluhur orang Lembata
dari pulau Lepanbatan yang tenggelam. Namun, iklim ketidaknyamanan, buruknya
infrastruktur jalan, konflik-konflik horizontal maupun vertikal
berlatarbelakang politik dan pembangunan, kecemburuan sosial antara para
pedagang dan sejumlah kasus kriminal yang terindikasi berusaha ditutupi oleh
aparat bahkan dugaan keterlibatan aparat di dalamnya bukanlah takdir.
Lembata yang kacau,
aparat yang belum netral, nyawa manusia melayang misterius, sarana jalan yang
buruk, kontraktor kerja proyek asal jadi, aparat bermental preman dan sejuta
cerita buram lainnya merupakan akibat “Salah Urus” orang-orang opurtunis yang
kerdil nurani dan aklaknya. Salah urus karena hanya merebut dan menjadikan
jabatan-jabatan sebagai ruang mencari makan dan kumpul kekayaan. Jika tidak,
mereka tentu akan berpihak pada rakyat. Jika tidak, mereka akan berkata dan
bertindak lain dari yang diperintahkan. Tak heran, ada pejabat yang mungkin mau
menyenangi dia yang memberi jabatan lalu melakukan hal-hal yang aneh, seperti
laporan pencemaran nama baik rumah jabatan. Pol PP yang harus menegakkan Perda
tentang Pasar di kota Lewoleba justru membiarkan ada pasar di TPI.
Salah urus ini
harus dan akan segera ditulis dalam buku kenangan untuk generasi berikutnya.
Kenangan bahwa Lembata pernah mengalami masa kekacauan aklak dan budi ketika
dipimpin oleh orang-orang yang telah menjual jargon “Lembata Baru”. Masih
maukah rakyat Lembata ditipu lagi dengan jargon seperti ini tahun depan?
Pengalaman ini patut direflkeksikan sebagai guru.
Sumber: floresbangkit.com, 15
Juli 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!