Oleh Zuhairi Misrawi
Intelektual Muda Nahdlatul Ulama &
Ketua
Moderate Muslim Society
MUKTAMAR Nahdlatul Ulama yang akan digelar 1-5 Agustus
di Jombang, Jawa Timur, mengangkat tema "Meneguhkan Islam Nusantara untuk
Peradaban Indonesia dan Dunia".
Tema ini diangkat
dalam rangka meneguhkan posisi NU sebagai ormas Islam yang menjunjung tinggi
moderasi dan toleransi dalam rangka memperkukuh solidaritas keindonesiaan dan
kemanusiaan universal. Tema ini jadi sangat penting karena dua hal. Pertama,
konteks global. Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) jadi momok global yang
makin menakutkan. Di tengah protes keras dunia terhadap NIIS, mereka tidak
menyusutkan aksi brutalnya. Bulan Ramadhan yang hakikatnya suci dan mulia
justru digunakan NIIS untuk menebarkan teror di Kuwait, Tunisia, dan Mesir.
Bahkan, saat takbir
Idul Fitri berkumandang sebagai simbol kemenangan dan kebahagiaan, NIIS justru
terus melancarkan aksi untuk membunuh warga sipil di Irak. Hari suci nan
bahagia disulap oleh NIIS menjadi hari kelabu nan nestapa dengan membunuh
sesama Muslim yang merayakan kebahagiaan Idul Fitri.
Konteks global ini
harus jadi keprihatinan bersama karena Islam sebagai agamarahmatan lil alamin
telah dicemarkan sedemikian rupa oleh NIIS, dan kelompok ekstrem lain, dengan
menampilkan wajah Islam yang beringas dan menyeramkan. Mereka menganggap hanya
paham dan kelompok mereka yang paling benar, sedangkan paham dan kelompok lain
dianggap sesat dan kafir sekalipun sesama Muslim. Kelompok ini kemudian dikenal
dengan al-takfiriyyun.
Kedua, konteks
nasional. Harus diakui konteks global tersebut juga menjalar ke ruang republik.
Secara ideologis dan teologis, paradigma "Negara Islam" bukanlah hal
yang baru dalam perjalanan sejarah republik. Mereka yang mengamini ideologi
tersebut sudah tumbuh benih-benihnya sejak lama dan terus berkembang meskipun
secara sembunyi-sembunyi.
Dalam era internet
yang kian memudahkan seseorang dan kelompok menyebarluaskan ideologi
"Negara Islam", sudah hampir dipastikan ideologi ini akan terus
membahana di jagat republik ini. Faktanya, mereka relatif berhasil memasarkan
ideologi "Negara Islam" sehingga mampu merekrut para remaja yang
belum mempunyai pemahaman keislaman yang kokoh, sebagaimana layaknya kalangan
pesantren.
Kedua konteks
tersebut cukup menjadi alasan kuat bagi NU agar mencari terobosan untuk
menegaskan identitas keislaman yang dapat memberikan harapan bagi Indonesia dan
dunia.
Islam Arab
Tak bisa dimungkiri
Islam agama yang lahir di Arab dan kitab sucinya berbahasa Arab. Bahkan, kitab
klasik yang diajarkan di pesantren umumnya berbahasa Arab. Di dalam tradisi NU,
salah satu ukuran untuk disebut sebagai ulama adalah apabila ia menguasai
bahasa Arab dengan baik.
Namun, bukan
berarti kita harus menelan mentah-mentah seluruh wacana yang bersumber dari
Arab, khususnya wacana kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Ibarat lautan yang
sangat luas, Arab juga menyimpan sejarah dan realitas kekinian yang kelam.
Menurut Marwan
Muasher dalam The Second Arab Awakening and the Battle for Pluralism, kegagalan
dunia Arab dalam melakukan perubahan lebih disebabkan oleh menguatnya
anasir-anasir ekstremisme dan melemahnya anasir-anasir pluralisme. Hal inilah
yang menyebabkan dunia Arab mengalami kesulitan untuk bangkit dari keterpurukan
dan perpecahan yang menyejarah itu.
Kelompok-kelompok
yang menghalalkan kekerasan dan pembunuhan atas nama Tuhan di dunia Islam bukan
hanya isapan jempol. Keberadaan kelompok-kelompok tersebut pada hakikatnya
bertujuan memecah belah umat Islam.
Nabi Muhammad SAW
pernah mengingatkan kita dalam hadisnya, "Nanti akan muncul di antara umatku
kaum yang membaca Al Quran, bacaan kamu tidak ada nilainya dibandingkan bacaan
mereka, dan shalat kamu tidak ada nilainya dibandingkan shalat mereka, dan
puasa kamu tidak ada artinya dibandingkan puasa mereka, mereka membaca Al Quran
sehingga kamu akan menyangka bahwasanya Al Quran itu milik mereka saja, padahal
sebenarnya Al Quran akan melaknat mereka. Tidaklah shalat mereka melalui
kerongkongan mereka, mereka itu akan memecah agama Islam sebagaimana keluarnya
anak panah dari busurnya"(HR Sahih Muslim/2467, Sunan Abu Daud/4748).
Perihal kelompok
Khawarij yang selalu mengampanyekan kedaulatan Tuhan (hakimiyatullah), Imam Ali
bin Abi Thalib memberikan pernyataan menarik. Bahwa sebenarnya kampanye
kedaulatan Tuhan yang kerap dikampanyekan mereka pada hakikatnya bertujuan
untuk kebatilan. Sebab, paham mereka terbukti telah menumpahkan darah dan
perpecahan di tengah-tengah umat.
Terobosan
Apa yang telah
disampaikan oleh Nabi Muhammad dan Imam Ali bin Abi Thalib tersebut seakan
menemukan momentum dalam konteks keindonesiaan dan global pada masa-masa
mutakhir ini. Perlu terobosan untuk merekonstruksi keberislaman yang
mencerminkan identitas Islam sebagai agama yang ramah bagi seluruh penghuni
dunia (rahmatan lil alamin).
Islam Nusantara
yang dijadikan tema muktamar NU kali ini pada hakikatnya salah satu ijtihad
para ulama agar Islam dapat dipahami dan diamalkan untuk kemaslahatan bangsa
dan dunia. Sebab, ekspresi keberislaman yang datang dari dunia Arab
mutakhir-khususnya Al Qaeda dan NIIS-sangat meresahkan.
Islam yang
berkembang di negeri ini sudah teruji mampu membangun kebersamaan sebagai
bangsa, bahkan terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan. Bahkan, di
tengah perkembangan wacana modern, seperti demokrasi, pluralisme, jender, dan
hak asasi manusia, kelompok Muslim mampu beradaptasi dengan baik. Kalangan NU
sendiri mampu mentransformasikan wacana modern tersebut dengan terma-terma
pesantren. Demokrasi menjadifiqh al-syura, pluralisme menjadi fiqh
al-'addudiyyah, jender menjadi fiqh al-nisa, dan hak asasi manusia menjadi fiqh
huquq al-insan.
Diskursus Islam
Nusantara kian kokoh melalui sebuah kaidah yang sangat populer di kalangan
pesantren, "mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi
baru/kemodernan yang lebih baik" (al-muhafadhah 'ala al-qadim al-shalih wa
al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah).
Maka dari itu,
Islam Nusantara bukanlah sesuatu yang baru dalam khazanah keislaman republik
ini, melainkan khazanah yang sudah berlangsung lama. Ijtihad para ulama ini
dimunculkan kembali untuk meneguhkan identitas kita sebagai umat Islam yang
hidup di negeri ini dan peran yang harus dilakukan untuk menjaga kedamaian,
merawat kebinekaan, dan mewujudkan keadilan sosial.
Puncaknya, para
ulama NU berharap agar wajah Islam yang ramah dan toleran di negeri ini dapat
jadi sumber inspirasi bagi dunia Islam yang sedang dirundung petaka akibat
proliferasi ideologi NIIS. Para ulama NU menyerukan kepada dunia Islam di mana
pun, saatnya kaum Muslim di dunia Arab dan Barat berkiblat ke Indonesia untuk
menjadikan Islam sebagai jalan kedamaian dan kerahmatan.
Dengan demikian,
Islam Nusantara bertujuan untuk mengingatkan kembali pentingnya moderasi dan
toleransi dalam Islam. Namun, pada saat yang sama Islam Nusantara harus mampu
mewarnai dunia sehingga Islam tidak selalu diidentikkan kekerasan dan
terorisme. Semoga muktamar NU kali ini dapat melahirkan pemikiran yanggenuine
untuk proliferasi Islam Nusantara di negeri ini dan dunia.
Sumber: Kompas, 1
Agustus 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!