Perjumpaan
dengan orang-orang desa mengantarnya menggeluti isu buruh migran. Gelar doktor
ia raih setelah merampungkan studi dari Universitas Indonesia. “Gereja bisa
mendirikan Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Swasta
Indonesia,” ujarnya.
KABUPATEN
Flores Timur dan Lembata, dikenal sebagai daerah asal buruh migran di luar
negeri. Banyak warga menjadi buruh migran di Malaysia, Singapura, Thailan,
India, Brunai Darussalam, Jepang, dan lain-lain. Umumnya, mereka bekerja di
perusahaan pemerintah maupun swasta, bahkan menjadi asisten rumah tangga.
Rupanya, fenomena masyarakat yang
merantau ke negeri orang ini menarik simpati
Servulus Bobo Riti. Ketika masih menjadi mahasiswa di Universitas Nusa Cendana
Kupang, NTT, Servulus memilih Desa Oka di Flores Timur sebagai tempat Kuliah Kerja Nyata (KKN). Selama masa
KKN, Februari-April 1995, Servulus mencatat ada sekitar 65
persen warga desa itu, terutama
laki-laki, bekerja di Sabah, Malaysia. “Hampir semua warga pernah
atau sedang bekerja di
Malaysia. Ini terjadi
turun temurun,” kata Servulus.
Usai
kuliah, Servulus
mendapat kesempatan sebagai tenaga pendamping dalam World Partner Program dari Canada
World Youth yang bekerjasama dengan Unity
Service Indonesia. Selama satu tahun, Servulus bersama sekitar 16 pemuda Kanada, ia melakukan pendampingan
identifikasi dan penetapan program prioritas masyarakat di Solor, NTT. “Saya amati, sebagian
besar warga desa juga merantau ke Malaysia. Dalam relasi keseharian, hampir tidak pernah dikenal
sebutan TKI, kecuali merantau,” ujarnya menjelaskan. Ketertarikan Servulus mendalami isu seputar buruh
migran terus berlanjut. Belum lama ini, ia berhasil mempertahankan disertasi
yang bertajuk: “Jaringan Sosial Pekerja Migran Asal Lembata di Sabah,
Malaysia”, di Universitas Indonesia.
Negara
Alpa
Melalui disrtasi itu, Servulus mengemukakan, ada tiga faktor
yang mendorong masyarakat menjadi buruh migran. Pertama, keterbatasan sumber daya alam; kedua,
kemiskinan struktural sebagai faktor pendorong dari dalam negeri; dan ketiga, kesempatan mendapat akses pekerjaan dengan upah
yang besar, sehingga orang bekerja di luar negeri. “Motivasi orang umumnya ingin
memperbaiki taraf hidup sosial ekonomi,
karena tersiar kisah sukses beberapa buruh migran,” kata suami Korry Tetty
Juita Nababan ini.
Menurut
dia, ada imbas positif dan negatif yang timbul dari keputusan
masyarakat menjadi buruh migran. Sisi positif, ada
perubahan wajah pembangunan kampung atau desa para buruh migran. Bangunan fisik milik warga diperbagus hasil dari kerja di luar negeri. Siklus usaha mikro seperti kios dan ojek bertumbuh. Kemudian
anak-anak bisa mengenyam pendidikan lebih tinggi.
Namun
ada juga sisi negatifnya, antara lain relasi sosial antaranggota keluarga
semakin longgar dan tak terkontrol. Anak-anak tumbuh tanpa kasih sayang ayah atau ibu di
samping mencuatnya kasus perceraian, perselingkuhan. Potensi tenaga kerja lokal yang terampil bekerja di
ladang atau sawah semakin berkurang. Belum lagi, kalau sudah kembali dari
rantau, gaya hidup bebas dan penyakit tertentu, semisal HIV/AIDS, pun dibawa ke
kampung asal.
Servulus
menilai negara gagal dalam mencari solusi mengurangi dampak negatif ini. “Saya menemukan, negara alpa atau tidak
sunguh hadir di daerah sumber buruh
migran. Negara jauh sekali. Ini pengalaman saya tinggal di Flores Timur dan
Lembata,” ujar Servulus memaparkan.
Menurut
Servulus, kesempatan kerja di dalam negeri belum cukup menampung angkatan kerja
yang tersedia. Negara kurang mampu menjamin ketersediaan
lapangan kerja di daerah dan mendorong warga mengadu nasib ke luar negeri. “Saat ini, terdapat sekitar enam ribu tenaga kerja yang bekerja
di luar negeri. Mereka mayoritas
pekerja informal,” katanya.
Peran
Gereja
Mengacu
di Lembata dan Flores Timur sebagai basis penelitian disertasinya, Servulus
berharap Gereja Katolik proaktif dan menjadi mitra bagi buruh migran. Menurut
dia, dalam hal pemberdayaan buruh migran, Gereja bisa membangun
unit pelayanan sosial dengan membentuk Lembaga Penyiapan dan Pelatihan Calon
Buruh Migran, seperti Balai Latihan Kerja atau yang lain. Bahkan, Gereja bisa mendirikan perusahaan pengerah tenaga kerja. “Tentu saja Gereja tidak berbisnis dan tak
bisa terjun langsung, tapi bisa melalui model penyelenggaraan sekolah Katolik,”
kata Servulus.
Ayah
dua anak ini berpendapat, konsepsi “Gereja adalah umat dan umat adalah Gereja” bagi buruh migran sudah terbangun. Hal ini
bila dilihat dalam lingkup buruh
migran asal Flores Timur dan Lembata.
Gereja Katolik di Flores sudah membangun kerjasama dengan Gereja Katolik Sabah
dalam hal pelayanan iman. Tapi, kebijakan tersebut mengalami banyak rintangan, karena
lintas negara. Masing-masing negara memiliki kebijakan nasional
sendiri dalam urusan agama.
Servulus
berharap, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) bisa mendorong isu ini kepada
Presiden RI agar membahas secara khusus dengan pemerintah Malaysia. Kedua
negara membuat kebijakan agar memungkinkan pelayanan pastoral kepada buruh
migran Katolik asal Indonesia yang bekerja di Malaysia. Selain itu, mimbar Gereja dapat dijadikan sarana sosialisasi bagi
umat yang akan bekerja sebagai buruh
migran. “Gereja juga harus hadir di tengah umat melalui sosialisasi tentang
buruh migran”. Servulus berupaya menjadi mitra bagi para buruh migran. Siapkah Gereja Katolik Indonesia menjadi inspirasi perjuangan
iman buruh migran Katolik?
Servulus
Bobo Riti
TTL : Karuni, Sumba Barat,
23 Desember 1968
Istri : Korry Tetty Juita Nababan, SH, M.Si
Anak-anak:
· Markus Bonfilio Emilyano Malo Kony Riti
· Antonia Yolanda Loru Bela Riti
Pendidikan
· SD Katolik Tambolaka, Sumba Barat
· SMP Negeri Laratama, Sumba Barat
· SMA Manda Elu, Sumba Barat
· Jurusan Bahasa Inggris FKIP Universitas
Nusa Cendana Kupang
· S-2 Unika Widyamandira Kupang
· S-3 Fisip UI Jurusan Sosiologi Ekonomi; Keahlian Migrasi
Internasional
Pekerjaan
· Kepala Sub Bagian Program Data dan Evaluasi Perpustakaan NTT
· Analis Perjanjian Internasional Bidang Kerjasama Bilateral Setjen
Depnakertrans RI
· Kepala Seksi Kerjasama Bilateral Kawasan Amerika BNP2TKI
· Kepala Seksi Kerjasama Multilateral Kawasan Asia Pasifik BNP2TKI
· Kepala Subdirektorat Kerjasama Multilateral BNP2TKI
· Kepala Sub Direktorat Kerjasama Kawasan Asia Pasifik dan Amerika
BNP2TKI
Sumber: HIDUP
Edisi No. 37 tanggal 30 Agustus 2015
Ket foto: Servulus Bobo Riti (1) bersama buruh migran (2) di Lahad Dato, Malaysia.
Foto: dok. pribadi
Ket foto: Servulus Bobo Riti (1) bersama buruh migran (2) di Lahad Dato, Malaysia.
Foto: dok. pribadi
Teman, tks atas publikasinya. Sebenarnya, saya tidak punya apa apa...Saya hanya memiliki harapan untuk bisa berkontribusi lebih baik buat negara bangsa dan gereja...Maaf, tentang foto (1) saat menjadi anggota delegasi Pemerintah Indonesia dalam Pertemuan Tingka Menteri Luar Negeri Indonesia dan Kanada, Agustus 2013 di Ottawa, Canada... Foto (2) bersama beberapa TKW / PLRT di Penang, sekitar April 2012... Adapun yang foto bersama TKI di Lahad dato tidak tampak ya...Salam dan Tuhan Yesus memberkati kita semua...
ReplyDeleteBro, makasih kembali. Saya sesungguhnya bangga telah menjadikan Lembata sampel penelitian tesis doktoralnya. Cerita lepas berdua menarik dan saya niatkan menulisnya di Mingguan HIDUP, dan bisa diakomodir redaksi. Semoga Lembata jadi pusat perhatian BNP2TKI dalam setiap kebijakan terkait buruh migran. Salam n sukses selalu. Tuhan berkati keluargamu dan semua usahanya.
ReplyDeleteThank You and I have a tremendous offer: Whole House Renovation Cost home renovation burnaby
ReplyDelete