Headlines News :
Home » » 80 Tahun Polemik Kebudayaan

80 Tahun Polemik Kebudayaan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, October 28, 2015 | 12:44 PM

Oleh Benni E. Matindas 
Penulis Buku ‘Negara Sebenarnya’; Tinggal di Jakarta 

“PERGULATAN Pemikiran Terbesar dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia” - itulah label yang ditera oleh Balai Pustaka ketika —dalam merayakan seabad kebangkitan nasionalisme Indonesia— menerbitkan kembali kumpulan artikel debat kebudayaan yang berlangsung dasawindu silam. Memang, mesti diakui, polemik yang mulai bergulir di media massa tahun 1935 itu luarbiasa penting dan terutama luarbiasa berkualitas. Terlalu sukar ditandingi sepanjang sejarah jagat pemikiran di negeri ini.

Polemik itu kemudian diterbitkan berupa buku pada tahun 1948, disunting oleh sastrawan Achdiat K. Mihardja. Buku itu sendiri lantas mengalami cetak ulang sampai berkali-kali; dan setiap edisinya disambut luarbiasa oleh khalayak peminat pemikiran serius. Seperti juga ketika polemik itu sendiri mulai bergulir pertama kali tahun 1935, yang terlibat aktif bertarung gagasan bukan saja para budayawan dan tokoh pemikir paling sohor di zamannya yang karyanya terhimpun dalam buku itu yakni Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Dr. Sutomo, Prof. Purbatjaraka, Adinegoro, Tjindarbumi, Dr. dr. M. Amir dan Ki Hajar Dewantara. Diskusi nasional yang berlangsung sampai bertahun-tahun dan didukung sejumlah media massa di sejumlah kota sekaligus itu menarik perhatian dan keterlibatan sangat banyak kaum bijak bestari, yang tak semua terhimpun dalam buku yang terbit 1948 itu (yang oleh penyuntingnya dijanjikan akan ada volume keduanya). Di antara mereka terdapat sejumlah tokoh pemikir di negeri ini dengan kaliber yang tak kepalang, seperti Cipto Mangunkusumo, Sutan Sjahrir, Chairil Anwar, dan banyak lagi. Bahkan, menurut saya, harus dimasukkan juga makalah Ir. Sukarno dalam acara Perguruan Taman Siswa, berjudul “Menjadi Guru di Masa Kebangunan”, yang kemudian diterbitkan dalam buku Dibawah Bendera Revolusi (1959), karena dari perspektif tertentu itu merupakan konstitusi pemikiran Bung Karno mengenai masalah yang dipolemikkan pada waktu ia sedang berada di pembuangan di Endeh, Flores.  Sama dengan Sutan Sjahrir, yang pada saat itu dalam pembuangan di Boven Digul, pandangannya mengenai soal ini terbit dalam bukunya Renungan Indonesia (1951, diterjemahkan oleh HB Jassin; terbit pertama kali dalam bahasa Belanda di Amsterdam tahun 1945 dengan judul Indonesische Overpeinzingen, kemudian edisi bahasa Inggris terbit di New York tahun 1948 dengan judul Out of Exile; jadi Indonesia sendiri baru menerbitkan karya putra bangsanya sesudah orang Eropa dan Amerika). Tokoh pemikir lain yang menurut saya secara sadar memberi pandangannya atas topik yang dipolemikkan ini adalah Tan Malaka, dalam bukunya Materialisme-Dialektika-Logika (Madilog), 1943.

Masalah perhadapan antara modernisasi dan nilai-nilai budaya asli memang sudah menjadi perhatian mendalam oleh kaum cendekiawan dan budayawan di Indonesia sejak lama. Menurut sejarawan Prof. Sartono Kartodirdjo (2001), pada Kongres I Jong Java di Yogyakarta, Oktober 1908, dr. Tjipto Mangunkusumo dan dr. Radjiman Wedyodiningrat pun sudah menghadirkan tegangan itu saat masing-masing merepresentasi dua posisi yang berhadap-hadapan tersebut.      

Polemik Kebudayaan tahun 1935 memang merupakan karya peradaban sangat penting bagi Indonesia. Sehingga untuk peringatan Tahun Emas-nya, 1985, diskusi besar digulir lagi. Sampai 1988 debat ini marak di pelbagai media massa. Dari semua nama lama, hanya S. Takdir Alisjahbana seorang yang masih hidup. Dan dia harus ‘beradu’ dengan begitu banyak pemikir masa ini yang rata-rata sudah dengan wawasan serta penguasaan data yang jauh lebih luas. Di antaranya Umar Kayam, Daoed Joesoef, Taufik Abdullah, Asrul Sani, Ignas Kleden, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Harsja Bachtiar, Romo YB Mangunwijaya, Goenawan Mohamad, Arief Budiman, Subagio Sastrowardoyo, Sutardji Calzoum Bachri, T.B. Simatupang, S. Belen, Alois A. Nugroho, Dasriel Rasmala, dan banyak lagi, termasuk beberapa cendekiawan dan budayawan yang lebih muda seperti Afrizal Malna. Denny JA, dan Arie F.Batubara. Banyak orang telah mengumpulkan tulisan-tulisan polemik babak kedua ini, ada yang kemudian mempublikasikannya melalui internet. Tapi setiap bunga rampai yang disusun tidak mencakup lengkap semua yang ikut berpolemik pada periode 1986-dst itu, karena media massa yang menyiarkannya sangat banyak termasuk sejumlah media yang terbit di daerah. Belum lagi sejumlah budayawan yang mengajukan pandangannya atas topik yang dipolemikkan tapi tidak melalui media massa yang menyiarkan tulisan para polemist melainkan langsung dalam buku, seperti Ajip Rosjidi dalam bukunya Sastra dan Budaya. Kedaerahan dalam Keindonesiaan (1995).  

Polemik dipicu oleh tulisan-tulisan S. Takdir Alisjahbana (STA) tahun 1935. Dimulai dengan tulisannya yang berjudul Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru: Indonesia – Pra-Indonesia, terbit dalam majalah Poedjangga Baroe. Ia langsung diserang beberapa budayawan, terutama Sanusi Pane, dan kemudian Purbatjaraka. STA bukan saja balik menyerang mereka semua, ia bahkan mengkritik tajam sederet nama yang menjulang di masa itu yakni Dr. Sutomo, Ki Hajar Dewantara dan sebagainya yang membawakan prasaran dalam musyawarah pendidikan nasional yang diadakan di Solo beberapa bulan sebelumnya. Maka polemik pun menderas. Dan menjalar luas. Dan memanjang sampai bertahun-tahun. Dan dilanjutkan kembali puluhan tahun kemudian.

Sekali lagi mesti diakui, Polemik Kebudayaan ini sangat berkualitas dan terutama tentu saja karena sangat pentingnya. Mengenai kualitasnya saja, baik yang ditampilkan pada 1930-an maupun 1980-an, ternilai sedemikian jauh melampaui segala diskusi, seminar, talk-show, yang sekarang kita saksikan tiap hari mengenai pelbagai bidang (politik, ekonomi, hukum, sosial, apalagi budaya) yang kendati sudah dalam dekade kedua abad 21.

Semua yang berpolemik tampil dengan analisis yang jernih dan tajam, didukung literatur yang tak kepalang tanggung, dan terutama dengan muatan nada yang membayangkan konsistensi sikap dan integritas pribadi yang kokoh. Tidak seperti sekarang!  Apalagi bila dibanding dengan suara para Anggota DPR-RI Yang Terhormat di dalam ruang Lembaga Tinggi/Tertinggi Negara, bahkan suara mereka yang terpandang sebagai akademisi dengan gelar-gelar setingginya, yang rata-rata sedemikian dangkalnya dan dengan orientasi nilai yang nyaris selamanya tersandera oleh bermacam kepentingan sempit bahkan memalukan. Suara yang bahkan, sebetulnya, tak ingin didengar oleh hati nurani mereka sendiri. [Walau tentu saja jika dibuat perbandingan di antara para polemist itu sendiri –bukan antara mereka dengan di luar mereka dan terlebih bukan dibanding dengan kualitas kebanyakan diskusi sekarang ini– memang perlu pula diakui cukup banyak di antaranya yang kurang mendalam bahkan tak menyentuh hakikat persoalan kebudayaan, meski kedengarannya penting dari sudut pandang sosiologis ataupun politik dan seperti memperluas cakrawala pemahaman.]    

Lalu apa hasil Polemik Kebudayaan? Setelah kita menilai bahwa itu jauh lebih bermutu dibanding umumnya diskursus yang pernah ada sampai di masa kita kini, bagaimana dengan nilai kebenarannya sendiri? Sayang sekali, sedemikian banyaknya pemikir yang terlibat membahas kebudayaan bangsa kita ini, tak ada yang bahkan sekadar mendekati jalan yang seharusnya. Semua pihak tidak mengerti permasalahan kebudayaan yang sebenarnya. Sementara yang sudah merasa mengerti, yakni para pendidik dan ahli pendidikan yang tanpa merasa terusik menjalankan terus pekerjaaannya secara ‘business as usual’, hanya terus makin membenamkan kebudayaan bangsa ini ke dalam keterpurukan sedalam-dalamnya.

Mengapa patut disayangkan, tak lain karena dengan gagalnya bangsa ini merumuskan jawaban yang benar maka berarti realitas bermasalah itu masih terus ada dan terus berkembang dengan segala akibat parahnya dalam kehidupan konkrit bangsa ini sebagaimana yang bisa dengan mudahnya kita saksikan setiap hari. Kata penyair Rendra, bangsa kita berada di dalam “comberan peradaban”, sehingga kedaulatan negara “terkurung dalam kaleng utang yang dikocok-kocok” oleh negara besar. 

Terkait dengan kondisi memprihatinkan ini, kita perlu membenarkan salahsatu pendapat Ignas Kleden saat peringatan 50 tahun Polemik Kebudayaan berupa keprihatinannya tentang sudah punahnya “kebudayaan polemik”. Tentu dengan kadar keprihatinan kita yang harus ditambah lantaran mengingat bahwa pada tahun ke-50 saja sudah sejauh itu kepunahan yang dilihat Ignas, apalagi di tahun ke-80 sekarang ini. Walau mesti disayangkan pula apa yang tak dilihat Ignas Kleden, bahwa punahnya budaya berpolemik dari masyarakat kita itupun sesungguhnya diakibatkan oleh gagalnya kebudayaan. Masih terusnya bangsa kita terbenam dalam kubangan kebudayaan yang lemah dan gampang mati lemas —yang sejak dulu diprihatinkan dengan sangat oleh Takdir Alisjahbana. Bahkan pula, bukan saja “gampang mati lemas”, tahun 1990-an Gus Dur telah menegaskan kebudayaan kita sudah mati! [Gus Dur mengatakan itu dalam konteks mampatnya mekanisme demokrasi yang selanjutnya mengerdilkan pertumbuhan kreativitas bangsa, dan kreativitas yang tak bertumbuh sepadan dengan kebutuhan dan tantangan yang terus membesar itu sama dengan kebudayaan yang sudah mati.]

Jadi, bahkan pandangan yang benar bahwa Polemik Kebudayaan masih relevan, itu menyedihkan. Maka betapa lebih menyedihkan, dan menggemaskan, sedemikian banyaknya kaum pemikir dan budayawan negeri ini yang sok mengatakan Polemik Kebudayaan sudah tak relevan.

Isu yang dipolemikkan itu masih relevan bukan karena diusahakan untuk dicari-cari relevansinya atau dikait-kaitkan sedapatnya dengan situasi dan kondisi kekinian kita, melainkan karena problematikanya memang belum pernah terjawab bahkan sekadar di tataran teori!

Namun kondisi negatif ini bukan hanya di Indonesia dan mengenai kebudayaan Indonesia, melainkan pula kebuntuan yang dialami semua kebudayaan umat manusia. Problematika peradaban yang dilihat Goethe, Coleridge, Marx, Carlyle ataupun Tawney di awal zaman industri modern, kemudian dipertegas Bergson, Whitehead, Sorokin, Toynbee, Herbert Marcuse, dan sangat banyak arifin lainnya, ternyata tak pernah berkurang malah kian bertambah dan tambah kusut di mata Derrida, Lyotard, Rorty, Foucault, dan sejumlah budayawan waskita lainnya.

Daoed Joesoef –seniman, budayawan, ekonom, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI– dalam tulisannya saat terlibat dalam Polemik Kebudayaan 1986 mengakui dikotomi antara “keaslian tanpa masa depan” versus “modernisme tanpa akar” sampai hari ini masih merupakan kondisi real dalam sistem pendidikan bangsa kita. Masalah dan kesimpulan yang sama persis diakui oleh Prof. Arnold Toynbee –empu sejarah kebudayaan dunia yang pula banyak terlibat dalam perancangan sistem pendidikan– sampai menjelang akhir hayatnya (dalam bukunya Menyelamatkan Masa Depan Umat Manusia, 1973).

Tahun 1935 itu S. Takdir Alisjahbana memicu dengan gagasan: (I) Masyarakat baru, masyarakat Indonesia, sudah terbentuk. Sudah menjadi sebuah entitas, dengan eksistensi dan identitas yang berbeda dengan pra-Indonesia. Masyarakat baru Indonesia terbentuk oleh semangat bersatu, persatuan berdasar kesadaran untuk tujuan-tujuan luhur dari kemanusiaan universal. Meninggalkan tahap pra-Indonesia yang diwarnai semangat kesukuan beserta pelbagai sifat tak ideal seperti feodalisme, fatalisme [yang bersumber dari sistem kepercayaan lama], fanatisme dalam kesempitan pandangan, dan segala nilai budaya kerdil seperti itu. (II) Masyarakat baru ini perlu menyempurnakan atau mengutuhkan budaya barunya menjadi budaya yang dinamis, rasional, berwawasan materialisme [tak lagi dicengkeram alam pemikiran mitis serta mitologis, sehingga lebih mampu mengolah dan dengan sadar berdialektika dengan alam kehidupan nyata, sekaligus lebih positif memandang serta memperlakukan harta benda bagi peningkatan kualitas kehidupan serta penghidupan], sehingga dengan demikian secara benar meninggalkan atau mensubstitusi semua budaya lama yang merupakan antidote dari semua nilai budaya ideal ini. Dan untuk keperluan tersebut, budaya Barat adalah contoh nyata yang sudah terpampang di depan mata bahkan memang sudah sering dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat kita.

Itulah gagasan yang diperjuangkan S. Takdir Alisjahbana (1908-1994) hingga akhir hayatnya. Deskripsi tersebut di atas tentu saja sudah disistematisasi oleh penulis (BEM) – yang tak sukar dilakukan mengingat sudah cukup banyak dan lengkapnya pemikiran STA mengenai gagasannya itu dan terutama karena konsistensinya – tentu saja dengan tak menyangkali kemungkinan idealisasi oleh penulis untuk keperluan pengembangan Polemik Kebudayaan bagi kebutuhan kita bersama hingga generasi-generasi seterusnya.  

Itulah garis besar gagasan STA. Adanya ide-ide lain dalam tulisan-tulisannya yang tak laras dengan garis besar yang koherens tersebut mesti dilihat sebagai semacam ekses ataupun keterlanjuran ketika dalam proses perdebatan itu STA terlalu gemas dan emosional gara-gara merasa lawan debatnya tak mengerti atau bahkan tidak menyimak cukup cermat apa yang sudah disampaikannya berulang-ulang. Misalnya ketika harus mengatakan lagi tentang mutlaknya bangsa kita lebih bersifat dinamis, rasional, dan seterusnya, STA ‘keterusan’ menyebut juga positivisme —yang kendati ia tahu dalam konsepsi Comte berarti harus menilai ajaran agama sebagai tak lebih daripada dongeng buat konsumsi nalar kanak-kanak.

Sedari awalnya tulisan STA banyak disalahpahami. Sanusi Pane sampai perlu sibuk menuding STA melakukan pemutusan sejarah antara Indonesia dan pra-Indonesia. Dan STA dengan sabar menjelaskan ketidakbenaran tuduhan itu. Sejarah tak mungkin diputus, tapi untuk tujuan dan keperluan tertentu harus diberi pembedaan sifat antara periode yang satu dengan yang lain. Bahkan yang kita sebut “pra-sejarah” pun pastilah bukan bukan-sejarah, pra-sejarah adalah sejarah juga, namun kita toh tetap perlu membedakan serta memisahkan periodenya.

Majapahit, Mataram, Sriwijaya, dan sebagainya, kata Takdir, jangan dilihat sebagai dasar bagi Indonesia sekarang ini. Memang Majapahit mencapai kejayaan yang tinggi, tetapi ia dibangun melalui penaklukan oleh daerah bahkan kelompok yang satu terhadap daerah-daerah yang lain yang tentu tidak menghendaki ditaklukkan —Perang Bubat yang dilancarkan Majapahit menjadi biang sentiment “Sunda versus Jawa” sampai hari ini, sentiment yang pernah [ketika kelompok Daya Sunda menggulirkan isu “Awas Imperialisme Jawa!”] jadi rintisan konflik besar berupa perang saudara PRRI 1958-1961. Begitu pula Mataram, bahkan masyarakat Jawa sendiri, khususnya di wilayah utara dan timur, melakukan perlawanan keras terhadap hegemoninya. Jadi Majapahit, Mataram, dan sebagainya, harus dibedakan secara sadar dengan Indonesia. Indonesia dibangun berdasar kesadaran dan semangat persatuan. Bukan penaklukan dan sentiment permusuhan.

Salah kaprah lainnya yang tampak pada sangat banyak mereka yang berpolemik, bahkan yang sudah di era 1985-1990-an, yaitu kritik terhadap “orientasi kebaratan” S. Takdir Alisjahbana, Achdiat Karta Mihardja, Sutan Sjahrir dan Tan Malaka dengan mengatakan bahwa Barat sendiri sudah bangkrut dan berkubang dalam dekadensi moral yang parah. Padahal, sementara dekadensi moral berlangsung juga secara tak kalah parahnya di masyarakat Timur, para polemist ini rupanya tak tahu kalau kritik radikal tumpas-tumpasan terhadap budaya Barat itu –yang antara lain dirintis Marx, Carlyle, Tawney, Huizinga, dan sebagainya– tumbuh dengan semangat dan pemikiran anti-kapitalisme, yang di Nusantara adalah Tan Malaka dan Sutan Sjahrirlah lokomotif utama dari dua aliran paling radikal. Karya budayawan Belanda, Johan Huizinga, Herfsttij der middeleeuwen (1919), adalah bacaan kesayangan Takdir Alisjahbana, Tan Malaka dan Sjahrir. Dunia tersentak oleh pergeseran nilai moral masyarakat kapitalis, misalnya ketika kelebihan stock (oversupply) gandum dibakar dengan dalih untuk menjaga tingkat harga pasar (padahal terutama untuk menjaga tingkat keuntungan/laba), bukannya diberikan kepada berjuta-juta orang yang sedang menahan lapar. Thomas Carlyle mengatakan budaya borjuis hanya berisi manusia-manusia yang walaupun kelihatan sibuk tetapi tanpa jiwa, hanya memiliki otak dan perut kerbau (intelektualitas sangat kecil tapi kerakusan sangat besar). Sutan Sjahrir, Tan Malaka dan sebagainya tahu itu, dibanding banyak tokoh lain mereka paling tahu unsur yang paling berbahaya dari budaya Barat. Dan mereka pun sangat gigih menghantam unsur-unsur itu.                

Sangat kentara bahwa pada 1935 itu STA sedemikian optimis untuk datangnya kebudayaan Indonesia baru yang menjulang, yang tak perlu bertumpu pada kejayaan masa silam, itu karena ia menyaksikan tampilnya sedemikian banyak pejuang-pemikir muda yang sungguh-sungguh fenomenal. Mulai dari Kartini, Wahidin Sudirohusodo, Mas Marco, Sutomo, Abdul Muis, Tan Malaka, Semaun, Tjipto Mangunkusumo, Sam Ratulangi, di samping para akademisi seperti Prof. Husein Djajadiningrat, Prof. Ir. Purbodiningrat, Prof. Mr. Sunaryo Kolopaking, Prof. Dr. Djenal Asikin Widjajakusuma, Prof. Mr. Djokosutono, kemudian muncul pula Sukarno, Hatta, Muhammad Yamin, Sutan Sjahrir, Amir Sjarifuddin, Ki Bagus Hadikusumo, Supomo, Alex Maramis, Iwa Kusumasumantri, dan lebih banyak lagi.  

Kelemahan dari semua polemist 1935/1986, baik yang senada dengan Sanusi Pane maupun Takdir Alisjahbana, juga mereka yang mengikuti proklamasi Chairil Anwar, Asrul Sani dkk sebagai “pewaris kebudayaan dunia, bukan hanya Timur ataupun Barat”, dan semua yang berpikir tentang mengawinkan budaya Barat dan nilai-nilai asli Nusantara, yaitu kebanyakan dari mereka sama memegang asumsi bahwa kita bisa serta-merta meraih sifat-sifat unggul budaya Barat (dinamis, rasional, lugas, efisien, dan lain-lain) itu melalui pendidikan modern serta alih iptek. Waktu sedemikian lama sudah menunjukkan bukti, betapa banyaknya bangsa-bangsa, tak kecuali yang di benua Barat sendiri, yang gagal. Salah kaprah lainnya yaitu mengira Jepang terbilang berhasil disebabkan perkawinan antara modernisasi dan budaya asli. Semua akulturasi niscaya melibatkan budaya asli, bahkan ketika kita tidak menghendakinya. Persoalannya yang sebenarnya ialah apakah nilai budaya asli kita itu benar sehingga tepat untuk mendasari proses akulturasi itu, misalnya nilai “satori” yang mengawal secara tepat gerakan transformasi budaya yang dilancarkan di Jepang seiring restorasi Meiji pada satu setengah abad lalu, atau local-genius berupa nilai hamonis serta kemahiran berpikir eklektif yang membekali sejumlah pemuda Jawa yang pergi belajar ke Nalanda, India, pada sebelas abad lalu.

Itulah inti persoalannya. Bukan lain-lain! Dalam bukunya Why Asians are less creative than Westerners (2001), Dr. Ng Aik Kwang justru menunjuk sumber-sumber budaya yang selama ini oleh Robert N. Bellah dan para Weberian Asia dipandang sebagai pendasar sukses ekonomi macan-macan Asia (Singapore, Hongkong, Korea Selatan, Thailand, di samping Jepang) ternyata adalah penyebab kurangnya daya kreatif. Padahal daya kreatif adalah inti penyebab kemajuan peradaban.  [Walau Ng Aik Kwang sendiri keliru bila mengira kreativitas harus ditumbuhkan dari suasana main-main belaka, kekeliruan yang sudah lama memerangkap Herbert Marcuse dengan teori eksistensi manusia/masyarakat “playful”-nya maupun Nietzsche dengan “gaya scienza”-nya.]   

Mengawinkan Barat dan Timur sudah jadi impian para pujangga dan ilmuwan sejak lama. Terkenal Barbara Ward dengan bukunya The Interplay of East and West. Points of Conflict and Co-operation (1962), juga To Thi Anh dengan bukunya Eastern and Western Cultural Values (1975) yang mengupayakan “sistesa ketajaman analisa Barat ala Einstein dengan kearifan berpikir Sang Budha dari Timur”, dan banyak lagi. Jauh sebelumnya tercatat Schopenhauer, Bergson, Huizinga, Northrop, sampai E.F. Schummacher, yang sudah mengusahakan pemaduan antar-budaya itu. Tapi, sekali lagi, semua mereka hanyalah sebatas harapan indah. Juga luhur. Sedang hasilnya, sangat tak semudah mengharapkannya atau sekadar mengidentifikasi semua nilai mulia maupun buruk dari masing-masing Timur dan Barat. Bahkan, sebagaimana ditunjuk dengan sangat rinci oleh Weber, nilai-nilai yang digenggam sebagai ajaran suci agama pun, ternyata bukan itulah yang kemudian terkristal sebagai etos yang mengarahkan semua tindakan konkrit manusia. Apalagi bila, mengikuti teori Clifford Geertz dalam Religion As a Cultural System (1966), yang dihayati sebagai agama itu termasuk segala yang berkembang dalam kehidupan nyata – yang menurut Weber menurut Marx timbul dari proses dialektika materialisme-historis, bukan nilai-nilai ideal ajaran agama itu sendiri.     

Toynbee, dalam Dunia dan Barat (1953), malah menjelaskan betapa: [I] ketika kita mengambil bagian tertentu dari kebudayaan Barat (misalnya kita mengalihkan sains dan teknologi), maka semua yang tak kita inginkan pun akan beralih ke kita secara paksa! [II] sementara sains dan teknologi atau konsep lainnya yang kita ambil itu sendiri mengandung hal-hal yang di mata kita terlihat sebagai madu yang dinikmati orang Barat tapi ketika masuk ke dalam tubuh kita akan menjadi racun yang menghancurkan.  Karena semua itu di sana “not an artificially introduced innovation, but a spontaneous native growth”.  Di sana semua itu tumbuh subur sebagai jenis tananam khas dalam habitatnya sendiri, maka habitat kita Indonesia harus menyuburkan jenis tanaman endemik kita sendiri, atau secara ekstra hati-hati mengembangkan pelbagai penyesuaian pada tanaman itu, pada lingkungan alam kita, dan pada diri kita yang hendak membudidayakannya. Inilah yang, misalnya, oleh Promotor dari Universitas Gajahmada saat menganugerahi Presiden Sukarno gelar doctor honoris-causa tahun 1951, dinilai sebagai keberhasilan langka yang dicapai anak bangsa dalam hal ini Bung Karno dengan rumusan Pancasila-nya. Prinsip inilah yang jauh di kemudian hari dikembangkan oleh para filsuf kebudayaan di Amerika Latin seperti Paolo Freire dan Gustavo Gutierrez [Gutierrez: “We drink from our own well!”].

Sutan Sjahrir saat berada di pembuangan, Banda Neira, mendeskripsi secara sangat tepat: harus tahu “bagaimana membebaskan diri dari perbudakan ilmu resmi”, iptek apapun dan dari manapun jangan “menguasai pikiranku untuk membutakanku dengan kehebatannya dan membuang atau membantai semua kegiatan orisinalku”, dan “yang lebih penting bagiku adalah bagaimana tiba pada kebenaran harmonis dan pribadi sifatnya”. Tapi, tentu saja, gambaran ideal Sjahrir tersebut hanya dimungkinkan oleh daya kreatif dengan kadar yang memadai. Jadi, kembali ke titik soalnya: agenda kebudayaan adalah bagaimana menumbuhkan daya cerdas-kreatif.

Howard Gardner, professor psikologi yang sohor dengan teori multiple-intelligences (kecerdasan ganda) –yang dari teorinya inilah para jagoan psikologi-pop lantas buru-buru menambahkan pada IQ segala teori EQ, SQ, ESQ, AQ, DQ, dan segala macamnya– pada akhirnya pun tiba pada kesimpulan betapa yang terpenting adalah daya pemahaman yang mendasari daya kreatif.

Sayang sekali Takdir Alisjahbana, justru di tahun-tahun kematangannya [sesudah tak lagi bicara “budaya Barat” melainkan “budaya umat manusia sedunia”], kendati berlatar belakang pertama-tama seorang seniman/sastrawan, melecehkan apa yang disebutnya kebudayaan-ekspresif yang tak lain adalah aktivitas seni dan agama, yang diperbedakan (dan diperlawankan?!) dengan kebudayaan-progresif yang mengandalkan sains, teknologi dan ekonomi, serta aspek organisasional untuk urusan politik, hukum, dan sebagainya. Sesungguhnya, masalahnya bukanlah soal budaya ekspresif atau progresif, melainkan karya seni yang dihasilkan mereka yang mengaku seniman itu yang mutunya memang terlalu rendah sehingga tak dapat berfungsi sebagai lokomotif penciptaan iptek, karya seni yang tak mampu untuk [kata Ayn Rand:] menjadi bahan baku kesadaran, bahan baku penciptaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kegagalan mencipta karya seni yang bermutu, apalagi kalau [sesuai program STA:] aktivitas seni jangan dinaikkan melebihi aktivitas “budaya progresif”, akan secara pasti merendahkan kemampuan iptek.  

Ketersesatan STA yang ini sama seperti dijalani Prof. David McClelland – yang teorinya tentang ‘virus’ n’Ach (need for achievement) pernah jadi mode yang menjangkiti kaum intelektual sejagat. Teori McClelland belum memadai. Menjadi orang berprestasi tentu saja setiap orang ingin. Tapi tak semua orang yang ingin kaya-raya pasti bisa jadi kaya, begitulah pula tidak setiap orang yang mau berprestasi akan bisa mencapai prestasi yang diimpikannya itu. Nafsu mengejar prestasi, yang berimplikasi dan berimplementasi pada semangat berkompetisi, tanpa dibekali kemampuan teknis unggul yang didasari daya cerdas-kreatif, pasti hanya akan mewujud pada tindakan menyikut dan menjegal setiap kompetitor dengan segala cara yang makin jahat makin efektif. Sementara kemampuan untuk bisa membekali diri dengan daya cerdas-kreatif itu nilai-nilai yang mendasarinya tidak tumbuh di habitat yang hanya disuburkan oleh tajamnya persaingan memperebutkan harta ekonomistis. Nilai-nilai mulia yang mendasari tumbuh-kembangnya daya kreatif malah secara alamiah disubstitusi oleh predatornya yakni budaya konsumerisme dan segala nafsu berprestasi untuk kaya-raya.

Semangat berprestasi serta berkompetisi yang tanpa bekal sejatinya itulah yang dianjurkan oleh McClelland ketika dalam bukunya The Achieving Society (1961) yang banyak menekankan pada prestasi bisnis ekonomi atau entrepreneurship itu ditutup dengan kesimpulan agar menghindari —justru(!)— apresiasi yang besar pada hal-hal yang mulia, yang bahkan disebutnya secara eksplisit: cinta kasih, persahabatan, kesenian, dan perjuangan politik (baca: tanggung jawab sosial). Dan tambah lagi, contoh yang dinilai sebagai budaya salah itu ditunjuknya pada sejarah negara-kota Florence. Padahal sangat sulit mencari tandingan prestasi Florence atau Firenze yang sepanjang lebih tiga abad menjadi kampiun tertinggi peradaban dunia serta membawa pengaruh sangat besar dan mendasar bagi terbentuknya peradaban modern sejagat. Budaya modern Amerika dimana McClelland sendiri memperoleh pendidikan tinggi dan berprestasi itupun sesungguhnya tidak akan pernah ada jika Florence tidak memfasilitasi pembangunan sarana serta pembiayaan proyek penjelajahan Columbus. Runtuhnya negara di sentral Italia itu pun justru karena kemajuan ekonominya dan budayanya yang jauh melampaui nilai etik zamannya, sementara ia hanya kecil, sehingga ketika semua kemajuannya menjadikan ia berada dalam pusat pertarungan kekuasaan kekuatan internasional (dalam hal ini termasuk gereja) dan terlebih saat memasuki gejolak puncak perang civil antar-gereja, Florence berakhir sebagai negara, tetapi ia tetap abadi sebagai kebudayaan.

Semangat berprestasi dan berkompetisi yang dianjurkan McClelland hingga hari ini sudah setengah abad berlalu terbukti masih sukar tumbuh di sejumlah bangsa dan masyarakat tertentu, terbukti tidak merupakan sesuatu yang niscaya dan alamiah seturut nafsu manusia. Nilai budaya yang menjunjung tinggi semangat berprestasi, sebagai nilai budaya, memang hanya tumbuh dalam proses kebudayaan (enkulturasi). Dan semua tahu, semangat berprestasi dan berkompetisi tumbuh dalam budaya humanisme dan individualisme; dan tak boleh hanya salahsatunya [individualisme tanpa humanisme adalah pendekar single-fighter yang tak punya kemampuan menyerang, humanisme tanpa individualisme adalah pendekar kesepian yang tak punya demarkasi dan perisai pertahanan]. Dan, sebagaimana diungkap Whitehead dalam telaahnya yang mendalam mengenai sejarah kebudayaan dunia modern, kejadian lahir dan tumbuhnya budaya humanisme dan individualisme bukanlah proses yang sederhana. [Sekadar catatan tambahan: humanisme —yang salahsatu cucu-buyut kulturalnya ialah budaya Protestantisme-Amerika pada keluarga-keluarga Amerika yang dipuji McClelland sebagai basis tumbuhnya jiwa kemandirian anak-anak Amerika— itu lahir dari budaya Renaissance yang adalah anak kandung niscaya dari peradaban Florence yang malah dinista oleh McClelland itu. Humanisme, yang konon dirintis pujangga Renaissance, Petrarca, memperoleh artikulator paling tegas dan berpengaruh meluas pada putra kebudayaan Florence, pujangga dan menteri negara Florence: Niccolo Machiavelli (1469-1527).     

Nama yang tersebut di akhir tadi kita jadikan que bagi pembahasan selanjutnya. Machiavellisme? Ya, rasionalitas ataupun intelektualitas yang tanpa berbasis etika pekerti luhur, itulah yang sebetulnya dirisaukan dr. Sutomo. Ki Hadjar Dewantara, Radjiman Wedyodiningrat, Dr. Sigit dan Sutopo Adiseputro dalam prasaran mereka pada musyawarah pendidikan, Juni 1935. Tapi mereka langsung dilabrak STA. Polemik dalam babak ini pun banyak disalahpahami hingga sekarang. Dikira STA anti nilai-nilai luhur dan akhlak keagamaan, sedang Sutomo dkk dikira anti-intelektualitas. STA hendak mengatakan bahwa setiap nada yang menakut-nakuti pendidikan intelektualitas, dengan alasan apapun, termasuk alasan yang menunjuk dekadensi moral yang dialami masyarakat Barat, itu akan sangat merugikan bangsa kita sendiri. Sebab bangsa kita masih terlalu kurang dalam kadar intelektualitas dan rasionalitas itu, kita masih terkungkung dalam segala takhayul dan segala bentuk irasionalitas yang sudah berabad-abad membenamkan bangsa ini dalam rawa-rawa kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, dan maka segala penyakit bawaan berikutnya yakni kemunafikan, tak bertanggung jawab, pengecut, mental budak, mental lacur dan khianat. “Kalau kita analisa sebab-sebab kalahnya dan terjajahnya bangsa kita, maka nyatalah kepada kita bahwa menjadi statis dan lemahnya masyarakat bangsa kita adalah karena berabad-abad kurang memakai dan meng­asah inteleknya, kurang mengusahakan materi dan kurang berindividu atau berpribadi. Berabad-abad bangsa kita sebagai parasit pada masa yang silam, terikat pada segala macam ikatan, kebiasaan, takhyul,” kata STA. Jadi, lanjut STA, tumpahkan saja daya upaya pada penumbuhan intelektualitas, tentang peringatan ancaman bahayanya itu arahkan saja pada mereka di Barat.

STA jelas hanya lebih beretorika, untuk menyentak, untuk menyadarkan. Ia pasti bukan tak tahu, bahkan dari perspektif sinkronik demi kepentingan kita bersama bila pun STA tak tahu tentu para tokoh lainnya pasti tahu –karena waktu itu buku Huizinga (1919) dan Whitehead (Science and the Modern World, 1925) sudah jadi bacaan kegemaran para cendekiawan dan budayawan sejagat– bahkan pendidikan intekletualisme dan saintisme bukan saja hanya akan mencetak manusia-manusia monster, tapi pula bodoh secara intelek. Carlyle: manusia-manusia yang bukan saja “luarbiasa sibuk tapi berjiwa” juga “memiliki otak dan perut kerbau”.  

Tapi lantas, kembali pada pertanyaan: ketika kita sama setuju bahwa baik pekerti luhur maupun keperkasaan otak harus jangan ada yang tertinggal pembinaannya, bagaimanakah itu dimungkinkan melalui program pendidikan?

Jawaban tuntasnya harus melalui pemberesan konsep etika, yang bahkan dalam sistem semua agama pun sudah disesatkan oleh teori etika Immanuel Kant. Umumnya aktivitas keagamaan terkonsentrasi pada dogmatika, sedang selebihnya pada pernak-pernik ritual, sehingga terlalu miskin dalam pengembangan konsepsi etika dan apalagi penerapannya. Sehingga agama sebagai suatu sistem budaya pun tak pernah lagi mampu berfungsi sebagai sistem pendidikan dan pembudayaan nilai-nilai akhlak yang sejatinya. Upaya menyatukan kecerdasan unggul dan etos penuh kebajikan tak pernah mencapai lebih daripada segala khotbah pengobar emosi peleleh airmata, sementara umat sibuk terus meracik bom, merakit senapan, melumuri racun di panah wayer, bersama segala aktivitas libidinal dalam segala bidang tak kecuali bidang agama [–persis sebagaimana dijelaskan Freud dalam teori kebudayaannya yang padahal ngawur itu– sehingga dapatlah dibayangkan betapa ngawurnya kengawuran peradaban kita sekarang].  
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger