Oleh Benni E.
Matindas
Penulis Buku ‘Negara Sebenarnya’; Tinggal di Jakarta
“PERGULATAN
Pemikiran Terbesar dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia” - itulah label yang
ditera oleh Balai Pustaka ketika —dalam
merayakan seabad kebangkitan nasionalisme Indonesia— menerbitkan kembali kumpulan
artikel debat kebudayaan yang berlangsung dasawindu silam. Memang, mesti
diakui, polemik yang mulai bergulir di media massa tahun 1935 itu luarbiasa
penting dan terutama luarbiasa berkualitas. Terlalu sukar ditandingi sepanjang
sejarah jagat pemikiran di negeri ini.
Polemik itu kemudian diterbitkan berupa buku
pada tahun 1948, disunting oleh sastrawan Achdiat K. Mihardja. Buku itu sendiri
lantas mengalami cetak ulang sampai berkali-kali; dan setiap edisinya disambut
luarbiasa oleh khalayak peminat pemikiran serius. Seperti juga ketika polemik
itu sendiri mulai bergulir pertama kali tahun 1935, yang terlibat aktif
bertarung gagasan bukan saja para budayawan dan tokoh pemikir paling sohor di
zamannya yang karyanya terhimpun dalam buku itu yakni Sutan Takdir Alisjahbana,
Sanusi Pane, Dr. Sutomo, Prof. Purbatjaraka, Adinegoro, Tjindarbumi, Dr. dr. M.
Amir dan Ki Hajar Dewantara. Diskusi nasional yang berlangsung sampai
bertahun-tahun dan didukung sejumlah media massa di sejumlah kota sekaligus itu
menarik perhatian dan keterlibatan sangat banyak kaum bijak bestari, yang tak
semua terhimpun dalam buku yang terbit 1948 itu (yang oleh penyuntingnya
dijanjikan akan ada volume keduanya). Di antara mereka terdapat sejumlah tokoh
pemikir di negeri ini dengan kaliber yang tak kepalang, seperti Cipto
Mangunkusumo, Sutan Sjahrir, Chairil Anwar, dan banyak lagi. Bahkan, menurut
saya, harus dimasukkan juga makalah Ir. Sukarno dalam acara Perguruan Taman
Siswa, berjudul “Menjadi Guru di Masa
Kebangunan”, yang kemudian diterbitkan dalam buku Dibawah Bendera Revolusi (1959), karena dari perspektif tertentu itu
merupakan konstitusi pemikiran Bung Karno mengenai masalah yang dipolemikkan
pada waktu ia sedang berada di pembuangan di Endeh, Flores. Sama dengan Sutan Sjahrir, yang pada saat itu
dalam pembuangan di Boven Digul, pandangannya mengenai soal ini terbit dalam
bukunya Renungan Indonesia (1951,
diterjemahkan oleh HB Jassin; terbit pertama kali dalam bahasa Belanda di
Amsterdam tahun 1945 dengan judul Indonesische
Overpeinzingen, kemudian edisi bahasa Inggris terbit di New York tahun 1948
dengan judul Out of Exile; jadi Indonesia
sendiri baru menerbitkan karya putra bangsanya sesudah orang Eropa dan Amerika).
Tokoh pemikir lain yang menurut saya secara sadar memberi pandangannya atas
topik yang dipolemikkan ini adalah Tan Malaka, dalam bukunya Materialisme-Dialektika-Logika (Madilog),
1943.
Masalah perhadapan antara modernisasi dan nilai-nilai
budaya asli memang sudah menjadi perhatian mendalam oleh kaum cendekiawan dan
budayawan di Indonesia sejak lama. Menurut sejarawan Prof. Sartono Kartodirdjo
(2001), pada Kongres I Jong Java di Yogyakarta, Oktober 1908, dr. Tjipto
Mangunkusumo dan dr. Radjiman Wedyodiningrat pun sudah menghadirkan tegangan
itu saat masing-masing merepresentasi dua posisi yang berhadap-hadapan tersebut.
Polemik Kebudayaan tahun 1935 memang
merupakan karya peradaban sangat penting bagi Indonesia. Sehingga untuk
peringatan Tahun Emas-nya, 1985, diskusi besar digulir lagi. Sampai 1988 debat
ini marak di pelbagai media massa. Dari semua nama lama, hanya S. Takdir Alisjahbana
seorang yang masih hidup. Dan dia harus ‘beradu’ dengan begitu banyak pemikir
masa ini yang rata-rata sudah dengan wawasan serta penguasaan data yang jauh
lebih luas. Di antaranya Umar Kayam, Daoed Joesoef, Taufik Abdullah, Asrul Sani,
Ignas Kleden, Abdurrahman Wahid (Gus
Dur), Harsja Bachtiar, Romo YB
Mangunwijaya, Goenawan Mohamad, Arief Budiman, Subagio Sastrowardoyo, Sutardji
Calzoum Bachri, T.B. Simatupang, S. Belen, Alois A. Nugroho, Dasriel Rasmala, dan
banyak lagi, termasuk beberapa cendekiawan dan budayawan yang lebih muda
seperti Afrizal Malna. Denny JA, dan Arie F.Batubara. Banyak orang telah
mengumpulkan tulisan-tulisan polemik babak kedua ini, ada yang kemudian
mempublikasikannya melalui internet. Tapi setiap bunga rampai yang disusun
tidak mencakup lengkap semua yang ikut berpolemik pada periode 1986-dst itu,
karena media massa yang menyiarkannya sangat banyak termasuk sejumlah media
yang terbit di daerah. Belum lagi sejumlah budayawan yang mengajukan
pandangannya atas topik yang dipolemikkan tapi tidak melalui media massa yang
menyiarkan tulisan para polemist melainkan langsung dalam buku, seperti Ajip
Rosjidi dalam bukunya Sastra dan Budaya.
Kedaerahan dalam Keindonesiaan (1995).
Polemik dipicu oleh tulisan-tulisan S. Takdir
Alisjahbana (STA) tahun 1935. Dimulai dengan tulisannya yang berjudul Menuju Masyarakat dan
Kebudayaan Baru: Indonesia – Pra-Indonesia, terbit dalam majalah Poedjangga Baroe. Ia langsung diserang beberapa budayawan, terutama Sanusi Pane, dan
kemudian Purbatjaraka. STA bukan saja balik menyerang mereka semua, ia bahkan
mengkritik tajam sederet nama yang menjulang di masa itu yakni Dr. Sutomo, Ki
Hajar Dewantara dan sebagainya yang membawakan prasaran dalam musyawarah
pendidikan nasional yang diadakan di Solo beberapa bulan sebelumnya. Maka
polemik pun menderas. Dan menjalar luas. Dan memanjang sampai bertahun-tahun.
Dan dilanjutkan kembali puluhan tahun kemudian.
Sekali lagi mesti diakui, Polemik Kebudayaan ini sangat berkualitas dan
terutama tentu saja karena sangat pentingnya. Mengenai kualitasnya saja, baik
yang ditampilkan pada 1930-an maupun 1980-an, ternilai sedemikian jauh melampaui
segala diskusi, seminar, talk-show, yang sekarang kita saksikan tiap hari
mengenai pelbagai bidang (politik, ekonomi, hukum, sosial, apalagi budaya) yang
kendati sudah dalam dekade kedua abad 21.
Semua yang berpolemik tampil dengan analisis yang jernih dan tajam,
didukung literatur yang tak kepalang tanggung, dan terutama dengan muatan nada
yang membayangkan konsistensi sikap dan integritas pribadi yang kokoh. Tidak
seperti sekarang! Apalagi bila dibanding
dengan suara para Anggota DPR-RI Yang Terhormat di dalam ruang Lembaga
Tinggi/Tertinggi Negara, bahkan suara mereka yang terpandang sebagai akademisi
dengan gelar-gelar setingginya, yang rata-rata sedemikian dangkalnya dan dengan
orientasi nilai yang nyaris selamanya tersandera oleh bermacam kepentingan
sempit bahkan memalukan. Suara yang bahkan, sebetulnya, tak ingin didengar oleh
hati nurani mereka sendiri. [Walau tentu saja jika dibuat perbandingan di
antara para polemist itu sendiri –bukan antara mereka dengan di luar mereka dan
terlebih bukan dibanding dengan kualitas kebanyakan diskusi sekarang ini–
memang perlu pula diakui cukup banyak di antaranya yang kurang mendalam bahkan
tak menyentuh hakikat persoalan kebudayaan, meski kedengarannya penting dari
sudut pandang sosiologis ataupun politik dan seperti memperluas cakrawala
pemahaman.]
Lalu apa hasil Polemik Kebudayaan? Setelah kita menilai bahwa itu jauh
lebih bermutu dibanding umumnya diskursus yang pernah ada sampai di masa kita
kini, bagaimana dengan nilai kebenarannya sendiri? Sayang sekali, sedemikian
banyaknya pemikir yang terlibat membahas kebudayaan bangsa kita ini, tak ada
yang bahkan sekadar mendekati jalan yang seharusnya. Semua pihak tidak mengerti
permasalahan kebudayaan yang sebenarnya. Sementara yang sudah merasa mengerti,
yakni para pendidik dan ahli pendidikan yang tanpa merasa terusik menjalankan
terus pekerjaaannya secara ‘business as usual’, hanya terus makin membenamkan
kebudayaan bangsa ini ke dalam keterpurukan sedalam-dalamnya.
Mengapa patut disayangkan, tak lain karena dengan gagalnya bangsa ini
merumuskan jawaban yang benar maka berarti realitas bermasalah itu masih terus
ada dan terus berkembang dengan segala akibat parahnya dalam kehidupan konkrit
bangsa ini sebagaimana yang bisa dengan mudahnya kita saksikan setiap hari. Kata
penyair Rendra, bangsa kita berada di dalam “comberan peradaban”, sehingga
kedaulatan negara “terkurung dalam kaleng utang yang dikocok-kocok” oleh negara
besar.
Terkait dengan kondisi memprihatinkan ini, kita perlu membenarkan
salahsatu pendapat Ignas Kleden saat peringatan 50 tahun Polemik Kebudayaan berupa
keprihatinannya tentang sudah punahnya “kebudayaan polemik”. Tentu
dengan kadar keprihatinan kita yang harus ditambah lantaran mengingat bahwa
pada tahun ke-50 saja sudah sejauh itu kepunahan yang dilihat Ignas, apalagi di
tahun ke-80 sekarang ini. Walau mesti disayangkan pula apa yang tak dilihat
Ignas Kleden, bahwa punahnya budaya berpolemik dari masyarakat kita itupun
sesungguhnya diakibatkan oleh gagalnya kebudayaan. Masih terusnya bangsa kita
terbenam dalam kubangan kebudayaan yang lemah dan gampang mati lemas —yang
sejak dulu diprihatinkan dengan sangat oleh Takdir Alisjahbana. Bahkan pula,
bukan saja “gampang mati lemas”, tahun 1990-an Gus Dur telah menegaskan
kebudayaan kita sudah mati! [Gus Dur mengatakan itu dalam konteks mampatnya
mekanisme demokrasi yang selanjutnya mengerdilkan pertumbuhan kreativitas
bangsa, dan kreativitas yang tak bertumbuh sepadan dengan kebutuhan dan
tantangan yang terus membesar itu sama dengan kebudayaan yang sudah mati.]
Jadi, bahkan pandangan yang benar bahwa Polemik Kebudayaan masih
relevan, itu menyedihkan. Maka betapa lebih menyedihkan, dan menggemaskan,
sedemikian banyaknya kaum pemikir dan budayawan negeri ini yang sok mengatakan
Polemik Kebudayaan sudah tak relevan.
Isu yang dipolemikkan itu masih relevan bukan karena diusahakan untuk
dicari-cari relevansinya atau dikait-kaitkan sedapatnya dengan situasi dan
kondisi kekinian kita, melainkan karena problematikanya memang belum pernah
terjawab bahkan sekadar di tataran teori!
Namun kondisi negatif ini bukan hanya di Indonesia dan mengenai
kebudayaan Indonesia, melainkan pula kebuntuan yang dialami semua kebudayaan
umat manusia. Problematika peradaban yang dilihat Goethe, Coleridge, Marx, Carlyle
ataupun Tawney di awal zaman industri modern, kemudian dipertegas Bergson, Whitehead,
Sorokin, Toynbee, Herbert Marcuse, dan sangat banyak arifin lainnya, ternyata
tak pernah berkurang malah kian bertambah dan tambah kusut di mata Derrida, Lyotard,
Rorty, Foucault, dan sejumlah budayawan waskita lainnya.
Daoed Joesoef –seniman, budayawan, ekonom, mantan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan RI– dalam tulisannya saat terlibat dalam Polemik Kebudayaan 1986
mengakui dikotomi antara “keaslian tanpa
masa depan” versus “modernisme tanpa
akar” sampai hari ini masih merupakan
kondisi real dalam sistem pendidikan bangsa kita. Masalah dan kesimpulan yang
sama persis diakui oleh Prof. Arnold Toynbee –empu sejarah kebudayaan dunia
yang pula banyak terlibat dalam perancangan sistem pendidikan– sampai menjelang
akhir hayatnya (dalam bukunya Menyelamatkan Masa Depan Umat Manusia, 1973).
Tahun 1935 itu S. Takdir Alisjahbana memicu dengan gagasan: (I)
Masyarakat baru, masyarakat Indonesia, sudah terbentuk. Sudah menjadi sebuah
entitas, dengan eksistensi dan identitas yang berbeda dengan pra-Indonesia. Masyarakat
baru Indonesia terbentuk oleh semangat bersatu, persatuan berdasar kesadaran
untuk tujuan-tujuan luhur dari kemanusiaan universal. Meninggalkan tahap
pra-Indonesia yang diwarnai semangat kesukuan beserta pelbagai sifat tak ideal
seperti feodalisme, fatalisme [yang bersumber dari sistem kepercayaan lama],
fanatisme dalam kesempitan pandangan, dan segala nilai budaya kerdil seperti
itu. (II) Masyarakat baru ini perlu menyempurnakan atau mengutuhkan budaya
barunya menjadi budaya yang dinamis, rasional, berwawasan materialisme [tak
lagi dicengkeram alam pemikiran mitis serta mitologis, sehingga lebih mampu
mengolah dan dengan sadar berdialektika dengan alam kehidupan nyata, sekaligus
lebih positif memandang serta memperlakukan harta benda bagi peningkatan
kualitas kehidupan serta penghidupan], sehingga dengan demikian secara benar
meninggalkan atau mensubstitusi semua budaya lama yang merupakan antidote dari
semua nilai budaya ideal ini. Dan untuk keperluan tersebut, budaya Barat adalah
contoh nyata yang sudah terpampang di depan mata bahkan memang sudah sering
dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat kita.
Itulah gagasan yang diperjuangkan S. Takdir Alisjahbana (1908-1994) hingga
akhir hayatnya. Deskripsi tersebut di atas tentu saja sudah disistematisasi
oleh penulis (BEM) – yang tak sukar dilakukan mengingat sudah cukup banyak dan
lengkapnya pemikiran STA mengenai gagasannya itu dan terutama karena
konsistensinya – tentu saja dengan tak menyangkali kemungkinan idealisasi oleh
penulis untuk keperluan pengembangan Polemik Kebudayaan bagi kebutuhan kita
bersama hingga generasi-generasi seterusnya.
Itulah garis besar gagasan STA. Adanya ide-ide lain dalam
tulisan-tulisannya yang tak laras dengan garis besar yang koherens tersebut
mesti dilihat sebagai semacam ekses ataupun keterlanjuran ketika dalam proses
perdebatan itu STA terlalu gemas dan emosional gara-gara merasa lawan debatnya
tak mengerti atau bahkan tidak menyimak cukup cermat apa yang sudah
disampaikannya berulang-ulang. Misalnya ketika harus mengatakan lagi tentang
mutlaknya bangsa kita lebih bersifat dinamis, rasional, dan seterusnya, STA ‘keterusan’ menyebut juga positivisme —yang kendati ia tahu dalam konsepsi Comte berarti
harus menilai ajaran agama sebagai tak lebih daripada dongeng buat konsumsi
nalar kanak-kanak.
Sedari awalnya tulisan STA banyak disalahpahami. Sanusi Pane sampai
perlu sibuk menuding STA melakukan pemutusan sejarah antara Indonesia dan
pra-Indonesia. Dan STA dengan sabar menjelaskan ketidakbenaran tuduhan itu.
Sejarah tak mungkin diputus, tapi untuk tujuan dan keperluan tertentu harus diberi
pembedaan sifat antara periode yang satu dengan yang lain. Bahkan yang kita
sebut “pra-sejarah” pun pastilah bukan bukan-sejarah, pra-sejarah adalah sejarah juga, namun kita toh
tetap perlu membedakan serta memisahkan periodenya.
Majapahit, Mataram, Sriwijaya, dan sebagainya, kata Takdir, jangan
dilihat sebagai dasar bagi Indonesia sekarang ini. Memang Majapahit mencapai
kejayaan yang tinggi, tetapi ia dibangun melalui penaklukan oleh daerah bahkan
kelompok yang satu terhadap daerah-daerah yang lain yang tentu tidak
menghendaki ditaklukkan —Perang Bubat yang dilancarkan Majapahit menjadi biang sentiment
“Sunda versus Jawa” sampai hari ini, sentiment yang pernah
[ketika kelompok Daya Sunda
menggulirkan isu “Awas Imperialisme Jawa!”] jadi rintisan konflik besar berupa
perang saudara PRRI 1958-1961. Begitu pula Mataram, bahkan masyarakat Jawa
sendiri, khususnya di wilayah utara dan timur, melakukan perlawanan keras
terhadap hegemoninya. Jadi Majapahit, Mataram, dan sebagainya, harus dibedakan
secara sadar dengan Indonesia. Indonesia dibangun berdasar kesadaran dan
semangat persatuan. Bukan penaklukan dan sentiment permusuhan.
Salah kaprah lainnya yang tampak pada sangat banyak mereka yang
berpolemik, bahkan yang sudah di era 1985-1990-an, yaitu kritik terhadap “orientasi
kebaratan” S. Takdir Alisjahbana, Achdiat Karta Mihardja, Sutan Sjahrir dan Tan
Malaka dengan mengatakan bahwa Barat sendiri sudah bangkrut dan berkubang dalam
dekadensi moral yang parah. Padahal, sementara dekadensi moral berlangsung juga
secara tak kalah parahnya di masyarakat Timur, para polemist ini rupanya tak
tahu kalau kritik radikal tumpas-tumpasan terhadap budaya Barat itu –yang
antara lain dirintis Marx, Carlyle, Tawney, Huizinga, dan sebagainya– tumbuh
dengan semangat dan pemikiran anti-kapitalisme, yang di Nusantara adalah Tan
Malaka dan Sutan Sjahrirlah lokomotif utama dari dua aliran paling radikal.
Karya budayawan Belanda, Johan Huizinga, Herfsttij der middeleeuwen (1919), adalah bacaan kesayangan Takdir
Alisjahbana, Tan Malaka dan Sjahrir. Dunia tersentak oleh pergeseran nilai
moral masyarakat kapitalis, misalnya ketika kelebihan stock (oversupply) gandum
dibakar dengan dalih untuk menjaga tingkat harga pasar (padahal terutama untuk
menjaga tingkat keuntungan/laba), bukannya diberikan kepada berjuta-juta orang
yang sedang menahan lapar. Thomas Carlyle mengatakan budaya borjuis hanya
berisi manusia-manusia yang walaupun kelihatan sibuk tetapi tanpa jiwa, hanya
memiliki otak dan perut kerbau (intelektualitas sangat kecil tapi kerakusan
sangat besar). Sutan Sjahrir, Tan Malaka dan sebagainya tahu itu, dibanding
banyak tokoh lain mereka paling tahu unsur yang paling berbahaya dari budaya
Barat. Dan mereka pun sangat gigih menghantam unsur-unsur itu.
Sangat kentara bahwa pada 1935 itu STA sedemikian optimis untuk datangnya
kebudayaan Indonesia baru yang menjulang, yang tak perlu bertumpu pada kejayaan
masa silam, itu karena ia menyaksikan tampilnya sedemikian banyak
pejuang-pemikir muda yang sungguh-sungguh fenomenal. Mulai dari Kartini,
Wahidin Sudirohusodo, Mas Marco, Sutomo, Abdul Muis, Tan Malaka, Semaun, Tjipto
Mangunkusumo, Sam Ratulangi, di samping para akademisi seperti Prof. Husein
Djajadiningrat, Prof.
Ir. Purbodiningrat, Prof. Mr. Sunaryo Kolopaking, Prof. Dr. Djenal Asikin
Widjajakusuma, Prof. Mr. Djokosutono, kemudian muncul pula Sukarno, Hatta, Muhammad Yamin, Sutan Sjahrir,
Amir Sjarifuddin, Ki Bagus Hadikusumo, Supomo, Alex Maramis, Iwa
Kusumasumantri, dan lebih banyak lagi.
Kelemahan dari semua polemist 1935/1986, baik
yang senada dengan Sanusi Pane maupun Takdir Alisjahbana, juga mereka yang
mengikuti proklamasi Chairil Anwar, Asrul Sani dkk sebagai “pewaris kebudayaan
dunia, bukan hanya Timur ataupun Barat”, dan semua yang berpikir tentang
mengawinkan budaya Barat dan nilai-nilai asli Nusantara, yaitu kebanyakan dari
mereka sama memegang asumsi bahwa kita bisa serta-merta meraih sifat-sifat
unggul budaya Barat (dinamis, rasional, lugas, efisien, dan lain-lain) itu
melalui pendidikan modern serta alih iptek. Waktu sedemikian lama sudah
menunjukkan bukti, betapa banyaknya bangsa-bangsa, tak kecuali yang di benua
Barat sendiri, yang gagal. Salah kaprah lainnya yaitu mengira Jepang terbilang
berhasil disebabkan perkawinan antara modernisasi dan budaya asli. Semua
akulturasi niscaya melibatkan budaya asli, bahkan ketika kita tidak
menghendakinya. Persoalannya yang sebenarnya ialah apakah nilai budaya asli
kita itu benar sehingga tepat untuk mendasari proses akulturasi itu,
misalnya nilai “satori” yang mengawal secara tepat gerakan transformasi budaya
yang dilancarkan di Jepang seiring restorasi Meiji pada satu setengah abad
lalu, atau local-genius berupa nilai hamonis serta kemahiran berpikir eklektif yang
membekali sejumlah pemuda Jawa yang pergi belajar ke Nalanda, India, pada
sebelas abad lalu.
Itulah inti persoalannya. Bukan lain-lain! Dalam bukunya Why Asians are less
creative than Westerners
(2001), Dr. Ng Aik Kwang justru menunjuk sumber-sumber budaya yang selama ini
oleh Robert N. Bellah dan para Weberian Asia dipandang sebagai pendasar sukses
ekonomi macan-macan Asia (Singapore, Hongkong, Korea Selatan, Thailand, di
samping Jepang) ternyata adalah penyebab kurangnya daya kreatif. Padahal daya
kreatif adalah inti penyebab kemajuan peradaban. [Walau Ng Aik Kwang sendiri keliru bila
mengira kreativitas harus ditumbuhkan dari suasana main-main belaka, kekeliruan
yang sudah lama memerangkap Herbert Marcuse dengan teori eksistensi manusia/masyarakat
“playful”-nya maupun Nietzsche dengan “gaya scienza”-nya.]
Mengawinkan Barat dan Timur sudah jadi impian para pujangga dan ilmuwan
sejak lama. Terkenal Barbara Ward dengan bukunya The Interplay of East and West. Points of Conflict and Co-operation
(1962), juga To Thi Anh dengan bukunya Eastern
and Western Cultural Values (1975) yang mengupayakan “sistesa ketajaman
analisa Barat ala Einstein dengan kearifan berpikir Sang Budha dari Timur”, dan
banyak lagi. Jauh sebelumnya tercatat Schopenhauer, Bergson, Huizinga, Northrop,
sampai E.F. Schummacher, yang sudah mengusahakan pemaduan antar-budaya itu. Tapi, sekali lagi, semua mereka hanyalah sebatas harapan indah. Juga
luhur. Sedang hasilnya, sangat tak semudah mengharapkannya atau sekadar mengidentifikasi
semua nilai mulia maupun buruk dari masing-masing Timur dan Barat. Bahkan,
sebagaimana ditunjuk dengan sangat rinci oleh Weber, nilai-nilai yang digenggam
sebagai ajaran suci agama pun, ternyata bukan itulah yang kemudian terkristal
sebagai etos yang mengarahkan semua tindakan konkrit manusia. Apalagi bila,
mengikuti teori Clifford Geertz dalam Religion As a Cultural System (1966), yang dihayati sebagai agama itu termasuk segala yang
berkembang dalam kehidupan nyata – yang menurut Weber menurut Marx timbul dari
proses dialektika materialisme-historis, bukan nilai-nilai ideal ajaran agama
itu sendiri.
Toynbee, dalam Dunia dan Barat (1953), malah menjelaskan betapa: [I] ketika kita
mengambil bagian tertentu dari kebudayaan Barat (misalnya kita mengalihkan
sains dan teknologi), maka semua yang tak kita inginkan pun akan beralih ke
kita secara paksa! [II] sementara sains dan teknologi atau konsep lainnya yang
kita ambil itu sendiri mengandung hal-hal yang di mata kita terlihat sebagai madu
yang dinikmati orang Barat tapi ketika masuk ke dalam tubuh kita akan menjadi
racun yang menghancurkan. Karena semua
itu di sana “not an artificially introduced innovation, but a spontaneous
native growth”. Di sana semua itu tumbuh
subur sebagai jenis tananam khas dalam habitatnya sendiri, maka habitat kita
Indonesia harus menyuburkan jenis tanaman endemik kita sendiri, atau secara
ekstra hati-hati mengembangkan pelbagai penyesuaian pada tanaman itu, pada
lingkungan alam kita, dan pada diri kita yang hendak membudidayakannya. Inilah
yang, misalnya, oleh Promotor dari Universitas Gajahmada saat menganugerahi
Presiden Sukarno gelar doctor honoris-causa tahun 1951, dinilai sebagai
keberhasilan langka yang dicapai anak bangsa dalam hal ini Bung Karno dengan
rumusan Pancasila-nya. Prinsip inilah yang jauh di kemudian hari dikembangkan
oleh para filsuf kebudayaan di Amerika Latin seperti Paolo Freire dan Gustavo
Gutierrez [Gutierrez: “We drink from our own well!”].
Sutan Sjahrir saat berada di pembuangan, Banda Neira, mendeskripsi
secara sangat tepat: harus tahu “bagaimana membebaskan diri dari perbudakan
ilmu resmi”, iptek apapun dan dari manapun jangan “menguasai pikiranku untuk
membutakanku dengan kehebatannya dan membuang atau membantai semua kegiatan
orisinalku”, dan “yang lebih penting bagiku adalah bagaimana tiba pada
kebenaran harmonis dan pribadi sifatnya”. Tapi, tentu saja, gambaran ideal
Sjahrir tersebut hanya dimungkinkan oleh daya kreatif dengan kadar yang
memadai. Jadi, kembali ke titik soalnya: agenda kebudayaan adalah bagaimana
menumbuhkan daya cerdas-kreatif.
Howard Gardner, professor psikologi yang sohor dengan teori
multiple-intelligences (kecerdasan ganda) –yang dari teorinya inilah para
jagoan psikologi-pop lantas buru-buru menambahkan pada IQ segala teori EQ, SQ,
ESQ, AQ, DQ, dan segala macamnya– pada akhirnya pun tiba pada kesimpulan betapa
yang terpenting adalah daya pemahaman yang mendasari daya kreatif.
Sayang sekali Takdir Alisjahbana, justru di tahun-tahun kematangannya [sesudah
tak lagi bicara “budaya Barat” melainkan “budaya umat manusia sedunia”], kendati
berlatar belakang pertama-tama seorang seniman/sastrawan, melecehkan apa yang
disebutnya kebudayaan-ekspresif yang tak lain adalah aktivitas seni dan agama,
yang diperbedakan (dan diperlawankan?!) dengan kebudayaan-progresif yang
mengandalkan sains, teknologi dan ekonomi, serta aspek organisasional untuk
urusan politik, hukum, dan sebagainya. Sesungguhnya, masalahnya bukanlah soal
budaya ekspresif atau progresif, melainkan karya seni yang dihasilkan mereka
yang mengaku seniman itu yang mutunya memang terlalu rendah sehingga tak dapat
berfungsi sebagai lokomotif penciptaan iptek, karya seni yang tak mampu untuk
[kata Ayn Rand:] menjadi bahan baku kesadaran, bahan baku penciptaan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Kegagalan mencipta karya seni yang bermutu, apalagi
kalau [sesuai program STA:] aktivitas seni jangan dinaikkan melebihi aktivitas
“budaya progresif”, akan secara pasti merendahkan kemampuan iptek.
Ketersesatan STA yang ini sama seperti dijalani Prof. David McClelland
– yang teorinya tentang ‘virus’ n’Ach (need for achievement) pernah jadi mode
yang menjangkiti kaum intelektual sejagat. Teori
McClelland belum memadai. Menjadi orang berprestasi tentu saja setiap orang
ingin. Tapi tak semua orang yang ingin kaya-raya pasti bisa jadi kaya,
begitulah pula tidak setiap orang yang mau berprestasi akan bisa mencapai
prestasi yang diimpikannya itu. Nafsu mengejar prestasi, yang berimplikasi dan
berimplementasi pada semangat berkompetisi, tanpa dibekali kemampuan teknis
unggul yang didasari daya cerdas-kreatif, pasti hanya akan mewujud pada
tindakan menyikut dan menjegal setiap kompetitor dengan segala cara yang makin
jahat makin efektif. Sementara kemampuan untuk bisa membekali diri dengan daya
cerdas-kreatif itu nilai-nilai yang mendasarinya tidak tumbuh di habitat yang
hanya disuburkan oleh tajamnya persaingan memperebutkan harta ekonomistis.
Nilai-nilai mulia yang mendasari tumbuh-kembangnya daya kreatif malah secara
alamiah disubstitusi oleh predatornya yakni budaya konsumerisme dan segala
nafsu berprestasi untuk kaya-raya.
Semangat
berprestasi serta berkompetisi yang tanpa bekal sejatinya itulah yang
dianjurkan oleh McClelland ketika dalam bukunya The Achieving Society (1961) yang banyak menekankan pada prestasi
bisnis ekonomi atau entrepreneurship
itu ditutup dengan kesimpulan agar menghindari —justru(!)— apresiasi yang besar
pada hal-hal yang mulia, yang bahkan disebutnya secara eksplisit: cinta kasih,
persahabatan, kesenian, dan perjuangan politik (baca: tanggung jawab sosial).
Dan tambah lagi, contoh yang dinilai sebagai budaya salah itu ditunjuknya pada
sejarah negara-kota Florence. Padahal sangat sulit mencari tandingan prestasi
Florence atau Firenze yang sepanjang lebih tiga abad menjadi kampiun tertinggi
peradaban dunia serta membawa pengaruh sangat besar dan mendasar bagi
terbentuknya peradaban modern sejagat. Budaya modern Amerika dimana McClelland sendiri
memperoleh pendidikan tinggi dan berprestasi itupun sesungguhnya tidak akan
pernah ada jika Florence tidak memfasilitasi pembangunan sarana serta
pembiayaan proyek penjelajahan Columbus. Runtuhnya negara di sentral Italia itu
pun justru karena kemajuan ekonominya dan budayanya yang jauh melampaui nilai
etik zamannya, sementara ia hanya kecil, sehingga ketika semua kemajuannya
menjadikan ia berada dalam pusat pertarungan kekuasaan kekuatan internasional
(dalam hal ini termasuk gereja) dan terlebih saat memasuki gejolak puncak
perang civil antar-gereja, Florence berakhir sebagai negara, tetapi ia tetap
abadi sebagai kebudayaan.
Semangat
berprestasi dan berkompetisi yang dianjurkan McClelland hingga hari ini sudah
setengah abad berlalu terbukti masih sukar tumbuh di sejumlah bangsa dan
masyarakat tertentu, terbukti tidak merupakan sesuatu yang niscaya dan alamiah
seturut nafsu manusia. Nilai budaya yang menjunjung tinggi semangat
berprestasi, sebagai nilai budaya, memang hanya tumbuh dalam proses kebudayaan
(enkulturasi). Dan semua tahu, semangat berprestasi dan berkompetisi tumbuh
dalam budaya humanisme dan individualisme; dan tak boleh hanya
salahsatunya [individualisme tanpa humanisme adalah pendekar single-fighter
yang tak punya kemampuan menyerang, humanisme tanpa individualisme adalah
pendekar kesepian yang tak punya demarkasi dan perisai pertahanan]. Dan,
sebagaimana diungkap Whitehead dalam telaahnya yang mendalam mengenai sejarah
kebudayaan dunia modern, kejadian lahir dan tumbuhnya budaya humanisme dan
individualisme bukanlah proses yang sederhana. [Sekadar catatan tambahan: humanisme —yang salahsatu cucu-buyut
kulturalnya ialah budaya Protestantisme-Amerika pada keluarga-keluarga Amerika
yang dipuji McClelland sebagai basis tumbuhnya jiwa kemandirian anak-anak
Amerika— itu lahir dari budaya Renaissance
yang adalah anak kandung niscaya dari peradaban Florence yang malah dinista
oleh McClelland itu. Humanisme, yang konon dirintis pujangga Renaissance, Petrarca, memperoleh
artikulator paling tegas dan berpengaruh meluas pada putra kebudayaan Florence,
pujangga dan menteri negara Florence: Niccolo Machiavelli (1469-1527).
Nama yang tersebut di akhir tadi kita jadikan que bagi pembahasan
selanjutnya. Machiavellisme? Ya, rasionalitas ataupun intelektualitas yang
tanpa berbasis etika pekerti luhur, itulah yang sebetulnya dirisaukan dr.
Sutomo. Ki Hadjar Dewantara, Radjiman Wedyodiningrat, Dr. Sigit dan Sutopo
Adiseputro dalam prasaran mereka pada musyawarah pendidikan, Juni 1935. Tapi
mereka langsung dilabrak STA. Polemik dalam babak ini pun banyak disalahpahami hingga
sekarang. Dikira STA anti nilai-nilai luhur dan akhlak keagamaan, sedang Sutomo
dkk dikira anti-intelektualitas. STA hendak mengatakan bahwa setiap nada yang
menakut-nakuti pendidikan intelektualitas, dengan alasan apapun, termasuk
alasan yang menunjuk dekadensi moral yang dialami masyarakat Barat, itu akan
sangat merugikan bangsa kita sendiri. Sebab bangsa kita masih terlalu kurang
dalam kadar intelektualitas dan rasionalitas itu, kita masih terkungkung dalam
segala takhayul dan segala bentuk irasionalitas yang sudah berabad-abad
membenamkan bangsa ini dalam rawa-rawa kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan,
dan maka segala penyakit bawaan berikutnya yakni kemunafikan, tak bertanggung
jawab, pengecut, mental budak, mental lacur dan khianat. “Kalau kita analisa sebab-sebab kalahnya dan terjajahnya
bangsa kita, maka nyatalah kepada kita bahwa menjadi statis dan lemahnya
masyarakat bangsa kita adalah karena berabad-abad kurang memakai dan mengasah
inteleknya, kurang mengusahakan materi dan kurang berindividu atau berpribadi.
Berabad-abad bangsa kita sebagai parasit pada masa yang silam, terikat pada
segala macam ikatan, kebiasaan, takhyul,” kata STA. Jadi, lanjut STA, tumpahkan
saja daya upaya pada penumbuhan intelektualitas, tentang peringatan ancaman bahayanya
itu arahkan saja pada mereka di Barat.
STA jelas hanya lebih beretorika, untuk menyentak, untuk menyadarkan.
Ia pasti bukan tak tahu, bahkan dari perspektif sinkronik demi kepentingan kita
bersama bila pun STA tak tahu tentu para tokoh lainnya pasti tahu –karena waktu
itu buku Huizinga (1919) dan Whitehead (Science and the Modern World, 1925) sudah jadi bacaan kegemaran para
cendekiawan dan budayawan sejagat– bahkan pendidikan intekletualisme dan
saintisme bukan saja hanya akan mencetak manusia-manusia monster, tapi pula
bodoh secara intelek. Carlyle: manusia-manusia yang bukan saja “luarbiasa sibuk
tapi berjiwa” juga “memiliki otak dan perut kerbau”.
Tapi lantas, kembali pada pertanyaan: ketika kita sama setuju bahwa
baik pekerti luhur maupun keperkasaan otak harus jangan ada yang tertinggal
pembinaannya, bagaimanakah itu dimungkinkan melalui program pendidikan?
Jawaban tuntasnya harus melalui pemberesan konsep etika, yang bahkan
dalam sistem semua agama pun sudah disesatkan oleh teori etika Immanuel Kant. Umumnya
aktivitas keagamaan terkonsentrasi pada dogmatika, sedang selebihnya pada
pernak-pernik ritual, sehingga terlalu miskin dalam pengembangan konsepsi etika
dan apalagi penerapannya. Sehingga agama sebagai suatu sistem budaya pun tak
pernah lagi mampu berfungsi sebagai sistem pendidikan dan pembudayaan
nilai-nilai akhlak yang sejatinya. Upaya menyatukan kecerdasan unggul dan etos
penuh kebajikan tak pernah mencapai lebih daripada segala khotbah pengobar
emosi peleleh airmata, sementara umat sibuk terus meracik bom, merakit senapan,
melumuri racun di panah wayer, bersama segala aktivitas libidinal dalam segala
bidang tak kecuali bidang agama [–persis sebagaimana dijelaskan Freud dalam
teori kebudayaannya yang padahal ngawur itu– sehingga dapatlah dibayangkan
betapa ngawurnya kengawuran peradaban kita sekarang].
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!