Oleh Akhmad Bumi
Advokat
di Kupang
BELAKANGAN hangat diperbincangkan tentang rencana revisi Undang-undang KPK
usul inisiatif DPR. Rapat paripurna DPR telah menyetujui revisi UU No. 30 Tahun
2002 tentang KPK dan sudah masuk Program Legislasi Nasional Prioritas tahun
2015.
Tercatat, ada lima pasal krusial yang telah dimasukan dalam draft UU KPK yang hendak direvisi. Pertama, kewenangan penyadapan, hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang telah diproses pro-justitia. Kedua, tentang penuntutan agar disinergikan dengan kewenangan Kejaksaan. Ketiga, tentang dewan pengawas untuk mengawasi pimpinan KPK dalam menjalankan tugas-tugasnya. Keempat, pengaturan tentang pelaksanaan tugas pimpinan KPK. Kelima, pengaturan pimpinan KPK yang kolektif kolegial.
Tercatat, ada lima pasal krusial yang telah dimasukan dalam draft UU KPK yang hendak direvisi. Pertama, kewenangan penyadapan, hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang telah diproses pro-justitia. Kedua, tentang penuntutan agar disinergikan dengan kewenangan Kejaksaan. Ketiga, tentang dewan pengawas untuk mengawasi pimpinan KPK dalam menjalankan tugas-tugasnya. Keempat, pengaturan tentang pelaksanaan tugas pimpinan KPK. Kelima, pengaturan pimpinan KPK yang kolektif kolegial.
Rencana revisi atas usul inisiatif DPR tersebut telah menimbulkan kegaduhan politik yang ditandai dengan saling lempar tanggungjawab antar elit. Presiden melalui Menteri Sekretaris Negara, Pratikno menyatakan pemerintah tidak ingin UU KPK direvisi. Politisi senayan menyebutkan revisi atau tidak tergantung Presiden.
Seiring dengan
itu, tekanan publik begitu kuat yang memberikan dukungan terhadap KPK dan
menolak revisi UU KPK yang telah disetujui DPR untuk dibahas dalam Prolegnas
tahun 2015. Dikhawatirkan kegaduhan politik tersebut tetap berlanjut, akan
mengarah pada pelemahan wibawa pemerintah karena pemerintah dianggap tidak
tegas dalam pemberantasan tindak pidana korupsi korupsi.
Dukungan publik
yang kuat dan menolak revisi UU KPK, adalah bentuk harapan dan optimisme
rakyat Indonesia dalam pemberantasan korupsi masih demikian tinggi. Dukungan
dan optimisme rakyat Indonesia yang tinggi tapi tidak diimbangi dengan sikap
politik para aktor diparlemen, tercatat hampir seluruh kekuatan politik
menyerang bahkan mendelegitimasi KPK dengan berbagai cara termasuk dengan cara
merevisi UU KPK.
Dengan
demikian, antara harapan pemberantasan korupsi tidak berkorelasi positif dengan
capaian skor yang seharusnya tinggi pula, padahal sebelumnya KPK telah berhasil
menjerat 158 tersangka korupsi dan seluruhnya divonis bersalah oleh Pengadilan
Tipikor, belakangan KPK kian kendor dan dibuat hampir tidak berdaya oleh hampir
seluruh kekuatan politik.
Jasa Bertrand DeSpeville
KPK tidak bisa dilepaskan dengan jasa seorang advokat asal Hongkong, Bertrand DeSpeville. Sekitar 14 (empat
belas) tahun silam atau sekitar tahun 2001, Pemerintah Indonesia mengundang dan
meminta bantuan Bertrand DeSpeville, melakukan kajian tentang pembentukan KPK
di Indonesia. Bertrand DeSpeville adalah
seorang pengacara di Hongkong dan London, seorang komisioner Independent
Commission Against Corruption (ICAC) tahun 1993-1996, dikenal
sebagai spesialis anti korupsi. Hasil kajian Bertrand DeSpeville, menjadi acuan Tim Persiapan Pembentukan
KPK hingga berujung pada lahirnya UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK
yang disahkan DPR atas persetujuan Presiden.
Kerja-kerja
KPK banyak mengambil alih kewenangan Jaksa dan Kepolisian, karena dianggap dua
institusi hukum itu belum memiliki daya untuk memberantas Korupsi, apalagi memasuki
zona-zona yang dipandang “aman” dan tak harus disentuh oleh para Penegak Hukum.
Belakangan
suara lantang datang dari gedung parlemen yang hendak merevisi UU KPK, bahkan
hingga berujung pada pembubaran KPK diusia ke-12 tahun sejak UU itu ditetapkan.
Wacana
kuat revisi UU KPK muncul dari subyektifitas Partai Politik yang terusik atas kerja-kerja
KPK, memang sejak KPK terbentuk, banyak politisi hilir mudik digedung KPK,
diperiksa sebagai tersangka dan sebagiannya telah di vonis bersalah oleh
Pengadilan Tipikor.
Wewenang Khusus
Salah
satu pasal yang menjadi target revisi adalah Pasal 26 yang mengatur tentang penyadapan.
Dalam draft UU KPK, diformulasikan bahasanya; “penyadapan hanya boleh dilakukan
kepada pihak-pihak yang telah diproses pro-justitia”.
Artinya, itu hanya boleh dilakukan pada tingkat penyidikan. Padahal penyadapan,
salah satu wewenang yang paling “seksi” diberikan UU kepada KPK. Tanpa
penyadapan, Operasi Tangkap Tangan (OTT) menjadi terhenti.
KPK
diberi kewenangan khusus untuk melakukan penyadapan mulai dari tingkat
penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan. Penyadapan merupakan hak istimewa
KPK, ini yang membedakan antara KPK dengan lembaga penegak hukum lain. Pelemahan
KPK lain, tentang kewenangan menuntut atau penuntutan. Jika keistimewaan khusus
tersebut dihapus, menjadi tidak berguna KPK dipertahankan, bukan lagi menjadi
lembaga yang ditakutkan oleh para koruptor kakap Indonesia.
Kewenangan
khusus KPK, seperti halnya kewenangan khusus yang diberikan UU kepada Densus 88
yang diatur dalam Undang-Undang No.: 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-Undang.
Rumusan
pasal-pasal dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor; 1 Tahun
2002 (Perpu Nomor 1 Tahun 2002), salah satunya mengatur tentang penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam tindak pidana terorisme.
Hal-hal khusus yang diatur dalam Perpu No. 1 tahun 2002 adalah tentang penyidikan,
yang di dalamnya terdapat upaya paksa, dan sarana upaya paksanya adalah operasi
penumpasan teroris yang dilakukan Densus 88. Sama dengan kewenangan khusus yang
diberikan UU kepada KPK untuk menumpas habis para koruptor.
Olehnya,
usaha pelemahan KPK melalui revisi UU hingga pada upaya pembubaran KPK adalah
strategi pengkodisian opini dengan penguatan wacana yang bersifat sistemik. Kuatnya
wacana revisi UU KPK didorong oleh politisi-politisi senayan yang dihuni
Partai-partai Politik, yang oleh beberapa lembaga survey dinilai paling korup.
KPK
semestinya didorong untuk penguatan kelembagaan, sistem dan personil, bukan
sebaliknya dilemahkan dengan jebakan melalui pasal-pasal dalam UU KPK. Elit
politik justru perlu mendorong, agar penguatan KPK dilakukan melalui amandemen
UUD 1945, bukan melalui UU.
Jika
KPK diatur dalam konstitusi negara, bangsa kita akan lebih beradab. Indonesia
tidak dianggap sebagai Negara ‘ad
hoc-krasi’ karena semua persoalan diselesaikan oleh lembaga yang
bersifat sementara. KPK bersifat ad hoc, sementara Undang-undang adalah yang
paling rawan mengalami judicial
review. Sejak KPK terbentuk, tercatat 11 dari 13 pemohon ingin
melumpuhkan pasal-pasal dalam UU KPK melalui judical review.
Selain
itu, dalam sistem ketatanegaraan, KPK adalah lembaga independen seperti halnya
lembaga independen lain semisal Bank Sentral. KPK dalam sistem ketatanegaan
tidak termasuk dalam cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun kekuasaan
kehakiman (judiciary).
Olehnya,
jika KPK telah diatur dalam UUD 1945, maka bagi setiap pejabat publik diwajibkan
menjadikan UUD 1945 sebagai pegangan dalam pelaksanaan tugas dan tanggungjawab
masing-masing. Bila perlu UUD 1945 selalu ada di saku atau di tas kerja
masing-masing, sebagai bentuk pencegahan dini terhadap perilaku korup yang
menghantui di setiap kesempatan.
Dan
jika KPK telah diatur dalam konstitusi negara, maka tidak ada celah bagi setiap
orang untuk mengujinya melalui judical review atau melakukan revisi yang
hampir setiap tahun kerap dilakukan oleh politisi senayan terhadap setiap
Undang-undang, kecuali dilakukan melalui amandemen, dan itu hanya dapat
dilakukan oleh MPR-RI, semoga.
Sumber: Pos Kupang, 15 Oktober 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!