Headlines News :
Home » , » Tanpa Alat, Ikan pun Menghampiri Manusia

Tanpa Alat, Ikan pun Menghampiri Manusia

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, December 15, 2015 | 4:02 PM

Firdaus sudah lama menghilang dan rasanya kisah firdaus hanyalah sebuah keniscayaan untuk ditemukan dalam kehidupan dunia modern. Namun budaya penangkapan ikan di Kampung Lewolein, Desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata, memberi gambaran kalau firdaus itu benar-benar ada. Betapa tidak, rombongan ikan liar yang hidup bebas di laut lepas ternyata bisa akrab dengan kehidupan manusia.

ROMBONGAN ikan di Lewolein, dalam waktu tertentu datang ke bibir pantai dan “memasrahkan” dirinya untuk ditangkap, bahkan cerita yang berhasil dihimpun menyebutkan, rombongan ikan itu, bisa dipanggil sewaktu-waktu jika dibutuhkan. Bagi orang Lewolein, ikan adalah sahabat, dan siap membantu ketika manusia dalam kesulitan.

Pengalaman menarik itu dialami langsung kala saya diajak untuk meliput prosesi “re’wa ik’e” (tangkap ikan-dalam bahasa Lewolein), di pantai Teluk Lewolein, baru-baru ini. Re’wa ik’e adalah budaya penangkapan ikan yang diwariskan secara turun-temurun. 


Ikan jenis lamuru atau tembang, dalam sebutan masyarakat Lembata merupakan ikan “piaraan” masyarakan Lewolein. Bila saatnya tiba, ratusan masyarakat Lewolein berbondong-bondong merendam diri ke laut dan menangkap ikan sepuasnya, semampunya untuk dibawa pulang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga.

Amir Raya Paliwala, tokoh adat Lewolein ini menuturkan, budaya penangkapan ikan yang diwariskan secara turun-temurun ini, baru kembali hidup. Tiga tahun sebelumnya, ikan lamuru atau ikan piaraan orang Lewolein sempat menghilang dari sisi kehidupan masyarakat. Dia mengatakan, hal ini terjadi karena ada sedikit pertentangan dalam tubuh kelompok suku yang dianggap sebagai “pemilik” ikan.

“Suku pemilik ikan adalah Paliwala. Suku ini terbagi dalam tiga tingkatan dengan tugas dan tanggung jawab yang berbeda, yakni Paliwala Iku, Paliwala Koro, dan Paliwala Kote. Dalam urusan dengan laut, dipegang oleh suku Paliwala Iku. Namun karena di antara kami ada sedikit perselisihan, jadi leluhur marah. Akibatnya ikan menghilang selama tiga tahun. Sekarang ikan baru datang lagi, karena kami baru kembali baikan,” tutur Amir.

Dia mengatakan, dalam struktur adat masyarakat Lewolein, Paliwala merupakan suku tuan tanah. Salah satu tugas dari suku ini adalah berkaitan dengan menjaga keselarasan hidup antara manusia dan alam, dengan cara melakukan upacara seremonial adat. Memberi sesajian kepada wujud tertinggi yang mereka sebut dengan “Lera wulan tana ekan, ama opo koda kewokot”. Menurutnya, alam akan baik dan bersahabat dengan manusia, jika manusia mampu menjaga dan memanfaatkan alam secara baik pula.

Menjaga alam harus dimulai dalam diri, kata tokoh tuan tanah ini. Hubungan antar sesama pun harus baik. Leluhur sang penjaga semesta marah jika hubungan antar manusia tak bersabahat, bersamaan dengan itu alam akan murka, dan menjauh dari kehidupan manusia.

“Bagaimana leluhur mau membagi rezeki untuk kita, kalau kita tidak jaga alam ini dengan baik? Kalau hubungan antara kita juga tidak bersahabat, kita saling bermusuhan, atau ada dendam antar kita? Tuhan saja tidak mau kalau kita berserah diri kepada-Nya tetapi kita masih menyimpan dendam dengan dengan sesama,” ujarnya.

Semetara itu, tokoh Lewolein lainya, Lusius Loli Making yang saya temui beberapa saat setelah mengikuti pesta penagkapan ikan menjelaskan, ada tanda khusus di mana suku penjaga ikan itu tahu, kalau ikan sahabat mereka sudah datang berkumpul dan siap untuk di tangkap. Dia mengatakan, leluhur datang dan menjelma dalam bentuk ular laut, berwana hitam putih, berekor ceper. Ular jenis ini datang ke rumah penjaga ikan, bahkan tidur di antara manusia.

“Kehadiran leluhur “Hari Lewa, boto bolo” (leluhur dari laut) ini bukan fiksi. Kita semua bisa melihat. Tetapi dia tidak berbahaya, dia sangat jinak dengan manusia. Kalau tanda itu sudah ada, biasanya nanti ada orang khusus yang tugasnya mengamati ikan akan datang melapor bahwa sekarang ikan sudah berkumpul. Setelah menerima laporan, mereka menghitung waktu, terutama saat musim surut. Penangkapan ikan, baru terjadi saat pemilik ikan sudah menggelar ritual adat. Setelah itu, penjaga ikan datang ke pemerintah desa untuk menyampaikan kalau seremoni sudah dibuat. Jadi tolong umumkan kepada masyarakat, bahwa besok turun tangkap ikan,” jelas Lusius, yang tak lain adalah guru PNS pada salah satu sekolah dasar di Kecamatan Lebatukan itu.

Cerita guru Loli itu dibenarkan juga oleh Eustakius Rafael Suban Ikun, tokoh yang pernah menjabat sebagai Kepala Desa Lewolein dua periode. Menurutnya, cara menyampaikan ke masyarakat untuk menangkap ikan menggunakan bahasa isyarat. Dalam pengumuman, pemerintah menyampaikan dalam bahasa isyarat.

“Masyarakat di sini sudah tahu. Kalau ada pengumuman bahwa, anak kecil, orang besar, tua, muda, laki dan perempuan, besok kita kerja bakti, berarti ada penangkapan ikan. Tetapi kalau pemerintah umumkan bahwa, besok orang besar turun kerja bakti, artinya benar kita kerja bakti di kampung,” ulasnya.

“Pesta” penangkapan ikan di kampung pesisir utara Lebatukan itu berbeda dengan cara penangkapan ikan umumnya. Warga dilarang mengunakan alat bantu seperti pukat, jala, atau peralatan tangkap lain. Budaya penangkapan ikan Lewolein ini unik. Masyarakat hanya menangkap dengan menggunakan tangan. 


Saat turun ke laut, semua warga mengenakan sarung, yang sudah diikat pada tubuh dengan cara sedemikian rupa sehingga terdapat semacam kantong besar. Ikan yang berhasil ditangkap, dimasukan ke dalam kain yang terlilit kuat pada tubuh setiap warga. Pesta penangkapan ikan ini hanya berlangsung tak lebih dari satu jam. Warga boleh, menangkap sebanyak-banyaknya, semampunya.

Seperti disaksikan, penangkapan ikan yang berlangsung selama kurang dari 1 jam itu berlangsung meriah, teriakan warga tanda kebahagiaan, terdengar membahana memecah kesunyian Pantai Lewolein. 


Tak peduli, kecil atau besar, tua maupun muda, petani, pegawai, guru, bahkan pejabat sekalipun berlarian menceburkan diri kedalam laut, tempat romobongan ikan berkumpul, semua seakan berlombah untuk mendapatkan yang terbanyak. Saya merinding, ketika menyaksikan peristiwa langka ini. Sungguh, alam benar-benar bersahabat dengan manusia.

Moting

Dalam budaya penangkapan ikan dikenal juga istilah moting yang dalam bahasa Lamaholot merupakan tempat berkumpul satu kelompok orang yang sefaham. Kelompok ini, biasanya terdiri dari orang-orang yang berdekatan kebun, atau juga tetangga bahkan boleh berbeda suku. Dalam budaya penangkapan ikan di Lewolein terdapat lima moting.

Setiap moting, memiliki tugas untuk menjaga, dan mengamati ikan. Jika dalam pengamatan, ikan piaraan yakni, ikan jenis lamuru sudah berkumpul, salah satu dari kelompok moting itu (biasanya orang yang ditugaskan untuk menjaga dan mengamati ikan dalam moting) lalu menyampaikan informasi kepada suku tuan tanah, atau orang pemilik ikan, untuk selanjutnya digelar acara sermonial adat penangkapan ikan.

Cerita tentang moting ini disampaikan Sisko Making. Anak muda Lewolein itu menjelaskan, terdapat lima moting di Lewolein, masing-masing moting Muda Langu, moting Obe, Woi, moting Gos Bele, Pao Langu. Dalam setahun, tempat penangkapan ikan dilakukan secara bergilir pada masing-masing moting.

“Kali ini, giliran moting Obe punya. Nanti di musim surut berikut, dia akan pindah lagi ke moting yang lain. Setiap orang yang turun menangkap ikan, wajib menyerahkan sedikit dari hasil tangkapan ke pemilik moting, nanti ada orang yang bertugas khusus untuk jalan ambil ke masing-masing orang. Ikan yang dikumpul dari warga itu, akan di bagi merata ke setiap anggota moting,” jelas Sisko.

Sebagaimana dalam ulasan terdahulu, ikan hasil tangkapan, selain dijadikan santapan, sebagian akan di jemur kering untuk dibarter dengan jagung ke warga-warga di pedalaman Lebatukan. Untuk itu, informasi penangkapan ikan, wajib disebar ke warga pedalaman. “Nanti hari Selasa, saat pasar di Tapolangu, ada barter antara orang Lewolein dengan orang dari pedalaman. Biasanya, ikan dihitung pertali, satu tali minimal dua puluh ekor, ditukar dengan jagung satu mongan (1 mongan = 5 batang jagung),” jelasnya lagi.

Sisko sang pengusaha muda ini juga menuturkan, budaya penangkapan ikan tidak sekedar tergantung tanda, namun bisa ada pengecualian. Terutama untuk menghormati tamu. “Kalau ada tamu penting datang, biasanya kami buat upacara ini, selain untuk tamu kenal budaya kami, juga ikan hasil tangkapan, untuk dipakai menjamu sang tamu,” tambahnya.

Firdaus yang Kembali

Firdaus atau dalam sebutan Yunani paradeisos, berarti kebun atau surga. Tempat kehidupan manusia pertama Adam dan Hawa. Dalam cerita kitab Perjanjian Lama, kehidupan manusia pertama yang mulanya digambarkan sangat akrab dengan alam, hancur karena perbuatan dosa. Sejak itulah, taman kehidupan nan damai tak lagi ditemukan.

Khayalan yang demikian indahnya itu menggugah pujangga Inggris, John Milton (1608-1974), dengan karya tulis yang mengagumkan “Paradise Lost” (1670) atau Firdaus yang hilang. Kemudian Paradise Regained (1671) kisah kepahlawanan untuk menemukan kembali Firdaus yang hilang. Andai saja, Milton adalah warga Lewolein, mungkin dia akan mengatakan kalau Firdaus yang hilang itu ditemukan di Lewolein. Dan pastinya, orang Lewolein adalah pahlawannya.

Keselasaran hidup antara manusia dan alam yang ditunjukan masyarakat adat Lewolein, sepatutnya menjadi pelajaran berharga untuk semua kita, terutama untuk kembali “bertobat” dan berjanji untuk berdamai dengan alam. Sudah saatnya masing-masing kita berusaha untuk kembali menciptakan “Firdaus” dalam setiap lingkungan tempat kita hidup.

Lewolein

Kampung Lewolein, Desa Dikesare berjarak 27 kilometer dari Lewoleba, ibukota Kabupaten Lembata. Pengunjung tak perlu bingung untuk datang ke sana, menggapai Lewolein tidak sulit, karena selain bisa dijangkau dengan kendaraan pribadi, juga banyak tersedia kendaraan umum, dan kendaraan sewaan. Soal harga sewaan tergantung kepandaian untuk bernegosiasi. Prinsipnya, harga sewa tak mungkin merobek kantong.

Lewolein sejak dulu dikenal sebagai sebuah destinasi pariwisata, pantainya terkenal indah dengan panorama alamnya yang eksotik. Terdapat dua tanjung yang mengapit dari sisi kiri dan kanan. Jauh di depan terlihat megah Gunung Ile Lewolotok.

Lewolein juga dikenal sebagai tempat persinggahan. Karena itu, di sisi kiri dan kanan jalan terdapat lapak jualan. Berbagai jenis makanan lokal, seperti ketupat, ikan bakar singkong rebus, pisang, dan banyak lainnya tersaji dan silakan dipesan sesuai selera. (Yogi Making) 
Sumber: floresbangkit.com, 26 Oktober 2015 
Ket foto: Warga dilarang mengunakan alat bantu seperti pukat, jala atau peralatan tangkap lain, masyarakat hanya menangkap dengan menggunakan tangan. Saat turun kelaut, semua warga menggenakan sarung, yang sudah di ikat pada tubuh dengan cara sedemikian rupa sehingga terdapat semacam kantong besar guna menyimpan hasil tangkapan. (Yogi Making/FBC)

SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger