Headlines News :
Home » » Veronika Urong Beanor: Selalu Bersyukur Meski Kudung

Veronika Urong Beanor: Selalu Bersyukur Meski Kudung

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, March 14, 2016 | 12:29 PM

Musibah yang bermula dari gatal-gatal di sekitar betis dan mata kaki itu merenggut kaki kirinya. Hidup bertumpu pada kedua tongkat, dia masih bisa bersyukur karena Tuhan masih memberikan umur panjang.
 
RATA-rata orang bersyukur ketika mendapat hadiah, promosi jabatan, dan kesuksesan. Namun, siapa yang sanggup bersyukur ketika diganjar musibah? Sedih, marah, dan depresi merupakan reaksi pertama menanggapi peristiwa semacam itu. Berbeda dengan Veronika Urong Beanor. Perempuan asal Posiwatu, Lembata, Nusa Tenggara Timur ini masih bisa bersyukur meski hidup hanya dengan satu kaki.
 
Kemampuan seseorang untuk menerima keadaan tidak harus mengandaikan sekolah yang tinggi. Tak ada gelar yang menahbiskan orang tersebut lulus dari keutamaan hidup seperti itu. Buktinya, meski hanya sebentar mencecap pendidikan Sekolah Dasar, Vero sanggup bersyukur. Ia justru mampu memeluk keutamaan sebagai pribadi yang mau bersyukur dalam kondisi yang tidak mengenakkan. "Beruntung masih kehilangan kaki, kalau kehilangan nyawa, siapa yang bakal memperhatikan adik saya?" tanya Vero sambil tersenyum.
 
Bersyukur hanya bisa diperoleh jika manusia sadar, Tuhan selalu memberikan yang terbaik. Dia senantiasa menerbitkan harapan untuk umat-Nya. Bukankah ada nasihat bijak yang mengatakan, di balik awan gelap selalu ada matahari yang memancarkan sinarnya. Atau Lukas dalam Injilnya mengungkapkan, perhatikanlah burung-burung gagak yang tidak menabur, menuai, dan mempunyai gudang atau lumbung, namun demikian diberi makan oleh Allah (Luk 12:24).
 
Tumpuan Keluarga

Vero tinggal di rumah yang terbuat dari bambu. Rumah itu selalu terlihat lengang. Maklum, penghuninya hanya dua orang, dia dan adiknya semata wayang yang tuli, Dominikus. Jika Domi sedang di kebun, hanya Vero seorang diri di rumah. Dia memasak, meniti jagung, dan membersihkan rumah.
 
Pintu utama ke gubuk tersebut senantiasa terbuka. Vero tak khawatir rumahnya bakal disatroni pencuri. Dia yakin, tak ada barang berharga di dalam gubuknya yang membuat maling tergiur. Perabotan rumah hanya seadanya, itu pun terbuat dari bambu hasil karya mereka sendiri.
 
Di ujung pintu utama masih ada sebuah pintu. Pintu itu memisahkan antara tempat tinggal dengan kebun mereka. Di atas tanah nan subur di kebunnya, tumbuh berbagai jenis tanaman pangan, seperti singkong, bayam, tomat, terong, kemangi, dan aneka kacang-kacangan. Hasil kebun tersebut untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Jika panen melimpah, mereka menjualnya ke pasar. Hasilnya bisa digunakan untuk membeli kebutuhan rumah tangga.
 
Beberapa langkah dari rumah Vero terdapat sebuah gubuk. Pondok itu tak berdinding. Beruntung atap gubuk yang terbuat dari daun kelapa dan alang-alang tersebut menjuntai hingga ke tanah. Sehingga juntai-juntainya sanggup membungkus sudung-sudung. Pondok itu pun berfungsi rangkap, dapur sekaligus lumbung.
 
Setiap hari, sejak pagi hingga sore, Vero ada di pondok itu. Sepasang tongkat senantiasa berada di sisinya. Dua bilah kayu berukuran sekitar satu meter itu merupakan harta paling berharga baginya. Tanpa tongkat tersebut, Vero tak sanggup ke dapur dan lumbung. Itu berarti tak akan ada makanan yang tersaji di atas meja. Jika hal itu terjadi, seolah kematian sedang menghantui hidup kakak-beradik ini.
 
Mungkin karena alasan itulah, Vero seakan sempat bernegosiasi dengan Tuhan saat musibah menderanya. Kepada Tuhan, dia lebih memilih kehilangan kaki ketimbang nyawanya. Dia sadar, tak ada orang yang rela terus menerus menjaga, merawat, dan memperhatikan adiknya. Rupanya, Tuhan bersimpati terhadap penderitaan dan pilihan Vero. Meski kehilangan kaki kiri, Vero sanggup menemani dan memperhatikan Domi hingga kini.
 
Tantangan Hidup
 
Vero semula tak menyangka, gatal-gatal di sekitar bagian betis dan mata kaki kirinya bakal mengubah kondisi fisiknya. Penyakit itu datang sekitar 46 tahun silam. Kata orang, obat mujarab bila gatal datang adalah dengan menggaruk. Vero pun mengamini pendapat khalayak ramai. Dia menggaruk betis dan mata kakinya.
 
Gatal-gatal tersebut tak hilang kendati terus digaruk. Saking tak tahannya, dia menggaruk sampai kakinya luka. Vero mengira, luka itu hanya lecet biasa. Dia menduga, luka kecil itu nanti bakal sembuh sendiri. Dugaannya meleset. Alih-alih sembuh, luka itu justru menjadi semakin parah. Vero menahan rintih karena luka-lukanya mulai bernanah.
 
Dia sempat melakukan pengobatan secara tradisional. Luka yang ia derita juga sempat mengering. Tetapi kondisi itu tak bertahan lama. Begitu gatal menyerangnya lagi, Vero mulai menggaruk hingga lukanya menimbulkan masalah kembali. Dia juga sempat bolak-balik ke Posyandu milik Misi Katolik. Nasibnya sebelas-dua belas seperti tindakan pertama.
 
Lari ke Rumah Sakit (RS), tak ada di benak Vero. Sebab, jarak RS terdekat dengan rumahnya relatif jauh. RS hanya ada di Lewoleba dan Larantuka. Moda transportasi kala itu masih mengandalkan kapal motor. Vero tak punya uang untuk biaya transportasi, apalagi harus menanggung biaya RS. Seiring waktu, lukanya kian bernanah dan menimbulkan aroma tak sedap.
 
Selang 11 tahun kemudian, Vero merasakan puncak penderitaannya. Dia tak kuasa menahan rasa sakit di kakinya. Saatitu, Vero merasa seolah hidupnya akan segera berakhir. Belum usai penderitaan yang ia tanggung, Vero hanya bisa melongo karena tanaman di ladangnya sama sekali tak membuahkan hasil. Vero tak mampu berbuat apa-apa. Rasanya seperti sudah jatuh, lalu tertimpa tangga. Dia hanya bisa pasrah kepada Tuhan. "Tuhan pasti beri jalan," tutur Vero dengan yakin.
 
Selang beberapa hari berikutnya, seorang saudara mengunjunginya. Pada kesempatan itu, saudaranya mengatakan jalan terbaik mengobati lukanya adalah amputasi. Langkah ini memang berat. Vero membayangkan hari-hari hidupnya harus disangga tongkat. Dalam kesedihan, orang miskin seperti Vero hanya mampu pasrah dan berharap, jika cara itu yang terbaik, Tuhan akan memberikan kemudahan, termasuk biaya.
 
Tuhan mendengarkan doa Vero. Keluarga besar menjamin biaya operasi dan pengobatannya di RS Bukit, Lewoleba. Tak cuma itu, warga kampung berduyunduyun menandu dan mengantar Vero ke pantai menuju RS. Perjalanan menuju Lewoleba melalui laut sehari semalam.
 
Tiba di RS, Vero masuk ruang operasi. Syukur, operasi yang dipimpin oleh dr Handoko berjalan lancar. Sejak saat itu, Vero tak lagi merintih kesakitan, walaupun harus rela kehilangan kaki kirinya. Vero lagi-lagi hanya bisa bersyukur, Tuhan masih memberikannya umur panjang. Selain itu, dia masih bisa menjaga dan merawat Domi, entah sampai kapan. Sebab di dunia ini, ada satu hal yang tak bisa dipastikan, yakni kematian.
 
Selalu Gembira
 
Vero menjalani ritme hidupnya dengan gembira hingga saat ini. Saat Domi di kebun, Vero asyik dengan tanggungjawabnya. Dia merapikan rumah, memasak, meniti jagung, menumbuk padi, merawat sayur, mencuci pakaian, dan mengecek persediaan makanan di lumbung. Ternyata keterbatasan fisik bukan menjadi ratapan atau bahkan akhir dari segalanya.
 
Hebatnya, Vero yang hidupnya serba terbatas ini selalu bisa bersyukur untuk semua yang dimilikinya. Jika tak sanggup bersyukur, tak mungkin dia rajin ke gereja saban Minggu; atau giat ikut kegiatan doa bersama di komunitas basisnya. Menurut umat Paroki St Yosef Boto, Keuskupan Larantuka ini, kebahagiaan itu sangat sederhana, yakni mau menerima dan mensyukuri segala sesuatu yang diberikan oleh Tuhan.
Melkhior Koli Baran/Yanuari Marwanto
Ket foto: Veronika Urong Beanor
Sumber: Hidup edisi No. 3 tanggal 17 Januari 2016
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger