Oleh Zuhairi
Misrawi
Ketua
Moderate Muslim Society;
Alumnus Universitas al-Azhar, Kairo Mesir
SAMPAI sekarang saya tidak pernah berhenti
berharap, semoga Majelis Ulama Indonesia (MUI) dapat memaafkan Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok dan menarik kembali sikap keagamaannya terhadap Ahok. Sikap
yang lapang dada dan mengedepankan spirit rekonsiliasi sebenarnya bisa ditempuh
untuk kepentingan bangsa yang lebih besar, bahkan juga untuk kepentingan
solidaritas sesama Muslim. Dalam kaidah fikih dikenal “mengutamakan
kemaslahatan mesti didahulukan daripada meninggalkan kemudharatan” (jalb
al-mashalih muqaddamun ‘ala dar’ al-mafasid).
Dalam
beberapa dialog di televisi dan komentar, saya melihat keanehan. Kenapa
sebagian ulama yang punya posisi penting di MUI selalu mendesak Ahok agar
dihukum atas nama keadilan? Apakah menghukum hanya satu-satunya jalan menuju
keadilan? Padahal para ulama di masa lalu mengajarkan kepada kita, dan ini juga
pesan Rasulullah SAW, bahwa kesalahan dalam memaafkan akan lebih baik daripada
kesalahan dalam memberi vonis (al-khatha’ fi al-‘afw khayrun min al-khatha’ fi
al-‘uqubat).
Saya
melihat sikap Ahmad Syafii Maarif, yang akrab disapa Buya Syafii, yang memilih
untuk menyimpulkan Ahok tidak menista al-Qur’an sebenarnya sebagai pintu masuk
bagi MUI untuk membuka jalan baru bagi rekonsiliasi nasional. Saya tahu betul
Buya sangat mencintai negeri ini dan berharap Pancasila dapat diterapkan dalam
memecahkan masalah Ahok. Jalan menuju rekonsiliasi masih terbuka selama ada
kelapangdadaan MUI.
Imam
Syafii mengajarkan kepada kita dua cara pandang dalam melihat sebuah persoalan,
termasuk dalam melihat persoalan Ahok. Pertama, kita bisa menggunakan cara
pandang penuh kebencian (‘ayn al-sukht), seperti yang sekarang meluas. Ahok
harus ditangkap. Ahok harus dihukum dan seterusnya.
Kata
Imam Syafii, cara pandang penuh kebencian itu akan memecah belah persatuan dan
menumbuhkan perseteruan. Dan sekarang sudah terbukti, bahwa cara pandang ini
telah memecah belah persahabatan dan keharmonisan kita sebagai bangsa. Bahkan,
sesama Muslim pun kita saling menghujat dan menebarkan ancaman.
Maka,
Imam Syafii mengajak kita untuk memilih cara pandang yang kedua, yaitu cara
pandang yang penuh ketulusan (‘ayn al-ridla). Cara pandang ini yang digunakan
oleh Buya Syafii, yang namanya juga mirip dengan Imam Syafii. Menurut Imam
Syafii, cara pandang yang penuh ketulusan akan melihat aib atau kesalahan
semakin tumpul. Jalan maaf akan dibuka lebar. Ahok memang bermulut besar, tapi
ia tak harus dinyatakan menghina al-Qur’an dan ulama.
Nah,
sejujurnya, ketulusan inilah yang hilang di Republik ini. Semua terhanyut dalam
amarah, bahkan di luar batas kemanusiaan. Padahal Rasulullah SAW mengingatkan
kita bahwa orang yang kuat sebenarnya bukan yang kuat saat berseteru, melainkan
orang yang bisa menahan dirinya dari amarah.
Menurut
saya, sikap Buya Syafii ibarat hujan di tengah panasnya bumi politik di negeri
ini. Ia berani menjadi lilin yang menyinari gelapnya awan politik negeri ini.
Ia mengingatkan kita semua untuk membuka “hati nurani” dan memilih jalan yang
dianjurkan Allah SWT di dalam al-Qur’an, hendaknya dakwah dengan bijak, tutur
kata yang santun, dan menggunakan debat yang konstruktif (QS al-Nahl: 125).
Bahkan
setahu saya, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari menjadikan ayat tersebut sebagai
ayat di dalam Mukaddimah Qanun Asasi Nahdlatul Ulama agar para ulama NU
senantiasa menggunakan dakwah yang bijak, tutur kata yang santun, dan
menggunakan debat yang konstruktif. NU harus selalu berada dalam jalur moderasi
Islam, bukan mendukung kelompok ekstremis.
Karena
itu, saya berpandangan, jika MUI mau memaafkan Ahok, mencabut sikap
keagamaannya dan meminta seluruh pihak untuk merajut kembali kebersamaan, serta
mengikuti demokrasi secara damai, maka sikap MUI akan dikenang sepanjang masa
sebagai pengawal Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika. MUI akan dicatat dengan tinta emas
sebagai garda terdepan menyuarakan moderasi Islam.
Kembali
ke tema dasar tulisan ini, kenapa memaafkan ini penting? Bagaimana sebenarnya
Islam menghukum orang yang dianggap menodai agama?
Izinkan
saya mengutip pandangan ulama Ahmadiyah, Khalid Saifullah Khan. Dalam
tulisannya, What is the Punishment for Blasphemy in Islam?, Saifullah Khan
memberikan penjelasan yang sangat menarik, yang sejatinya dapat menjadi rujukan
para ulama di negeri ini dalam mengambil sikap terhadap orang yang diduga
menodai agama. Bahkan, tulisan tersebut secara implisit ingin menjelaskan
sebaiknya negara-negara mayoritas Muslim menghapus undang-undang tentang
penodaan agama.
Menurut
Saifullah Khan, penodaan agama merupakan perbuatan yang tidak terpuji, baik
secara moral maupun etik. Tetapi, tidak ada seseorang pun yang berhak mengadili
penodaan agama. Yang berhak mengadili penodaan terhadap agama hanya Allah SWT.
(Mirza Taher Ahmad: Islam’s Response to Contemporary Issues).
Selanjutnya,
Saifullah Khan merujuk pada surat al-Azhab ayat 57-59. Di dalam ayat tersebut,
Allah SWT menjelaskan orang-orang yang kerap melecehkan Allah SWT dan Nabi
Muhammad SAW. Tetapi hanya Allah SWT yang akan menghukum mereka.
Di
dalam surat al-Nisa ayat 140, Allah SWT berpesan, jika ada seseorang yang
sedang melecehkan ayat-ayat suci, hendaklah kita tidak duduk dengan mereka,
mengindahkan omongan mereka, sehingga mereka mengalihkan pembicaraan pada tema
yang lain. Ini akhlak yang diajarkan al-Qur’an.
Kita
akan menemukan begitu banyak penodaan agama, sebagaimana dikisahkan di dalam
al-Qur’an dan Hadist, tetapi Allah SWT sendiri yang akan menghukum para pelaku
penodaan agama. Bahkan Rasulullah SAW memberikan contoh yang sangat baik saat
dilecehkan langsung oleh orang Yahudi.
Pada
suatu hari Rasulullah SAW berjalan bersama istrinya, Siti Aisyah. Lalu, di
tengah perjalanan ada seorang Yaudi yang menghina Nabi dengan ungkapan “laknat
bagi kamu, wahai Muhammad”. Siti Aisyah sebagai istri tercinta langsung
membalas pelecehan orang Yahudi itu dengan ungkapan serupa, “laknat bagimu
wahai Yahudi”. Tapi kemudian Rasulullah SAW menegur Aisyah, “Hendaklah kamu
penuh kasih sayang dan bersikap lemah-lembut dalam segala perkara.”
Itulah
akhlak Rasulullah yang dicontohkan kepada kita semua. Membela Islam, al-Qur’an,
Nabi Muhammad SAW, dan ulama, tidak selalu dengan cara-cara penuh emosi,
apalagi penuh ancaman dan kebencian. Kita bisa mencontoh Rasulullah SAW yang
selalu memaafkan musuh-musuhnya. Ia membalas hujatan dengan cinta.
Maka,
sekali lagi, saya masih berharap agar MUI dapat memaafkan Ahok, mencabut
kembali sikap keagamaan dan merajut kembali harmoni di negeri ini. Hari-hari
ini kata “memaafkan” sangat mahal harganya. Tidak bisa dibeli dengan apa pun.
Ia hanya bisa diungkapkan oleh mereka yang berhati besar, tulus, dan mencintai
negeri ini sebagai anugerah Tuhan.
Sumber: geotimes.co.id, 11 November 2016
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!