Oleh Mari Pangestu
Profesor
Ekonomi Internasional
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
KEMENANGAN Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat adalah cerminan
kecenderungan isu-isu politik dan tipe tokoh politik yang merebak di berbagai
bagian dari dunia saat ini.
Kita bisa melihat beberapa tokoh politik di Eropa yang
dukungannya meningkat dengan kampanye anti imigrasi, anti globalisasi dan
integrasi ekonomi yang puncaknya adalah keluarnya Inggris dari keanggotaan Uni
Eropa (Brexit).
Isu politik yang diangkat didasari politik berbasis
kemarahan dan ketakutan. Kampanye Trump membidik kelompok yang
"marah" dan "takut" yang timbul karena meningkatnya
pengangguran, gaji kelas menengah di AS yang stagnan selama dua dekade ini.
Stagnasi dialami di sejumlah negara bagian yang kesempatan ekonominya
tergantung dari beberapa sektor, seperti besi baja, batubara, padat karya
seperti pakaian jadi dan sepatu, atau tersingkirkan karena kalah bersaing, dan
ketimpangan antara kaya dan miskin.
Setelah krisis finansial global pada 2009, ketimpangan
tambah tajam sehingga muncul 99 persen melawan 1 persen lewat gerakan
"Occupy Wall Street". Penyebab dari keadaan itu sering dikaitkan
dengan globalisasi atau perjanjian perdagangan (free trade agreement) yang
disinyalir hanya menguntungkan perusahaan besar dan sektor tertentu, dan
pendatang, termasuk pekerja ilegal yang banyak, yang mengambil pekerjaan orang
Amerika.
Maka, sebagian besar masyarakat, terutama yang lebih
berumur, berpendapatan rendah, dan pendidikan rendah, yang membuat Trump
terpilih. Mereka tidak terlalu terpengaruh dengan hiruk-pikuk di media dan
sosial media, karena sudah mempunyai pandangan bahwa diperlukan figur yang
bukan bagian dari kemapanan (establishment) yang tidak bisa dipercaya karena
selama ini tak menjawab kekhawatiran mereka. Mereka memilih figur yang
menjanjikan perubahan, tegas, dan menjanjikan langkah yang konkret.
Kebijakan ekonomi Trump
Sekarang dunia menanti kebijakan ekonomi AS. Karena AS
negara adikuasa, sudah pasti apa yang dilakukan ataupun tidak dilakukan punya dampak
global.
Reaksi di pasar saham dan keuangan merupakan reaksi
yang bisa dilihat segera. Kekhawatiran terhadap ketidakpastian kebijakan
ekonomi AS menyebabkan anjloknya pasar saham di AS dan Asia Pasifik. Namun,
esok harinya kembali lagi, bahkan di sejumlah tempat dan beberapa sektor naik
lebih tinggi, terutama sektor yang terkait infrastruktur karena Trump dalam
pidato kemenangannya mengatakan, salah satu yang akan diprioritaskan adalah
pembangunan infrastruktur. Tidak terpilihnya Hillary Clinton berarti
berkurangnya fokus ke regulasi dan program kesehatan (Obama Care) yang membuat
kenaikan saham sektor farmasi dan kesehatan.
Sementara imbal hasil (yield) pasar obligasi AS naik
tajam karena diperkirakan belanja infrastruktur yang dicanangkan Trump akan dibiayai
dengan utang dan peningkatan defisit anggaran AS. Terkait hal itu, diprediksi
banyak pihak kenaikan suku bunga The Fed yang diperkirakan akan dilaksanakan
akhir tahun akan ditunda. Hal ini berarti volatilitas arus modal jangka pendek
masih akan terjadi dan bagaimana Indonesia menyesuaikan kebijakan moneter dan
suku bunga perlu mengikuti perkembangan ini.
Bagaimana kebijakan ekonomi luar negeri Trump? Jika
Trump melakukan apa yang selama ini dipidatokan di kampanye, Presiden Trump
cenderung proteksionis, tidak mendukung perjanjian perdagangan internasional,
dan anti imigrasi. Maknanya bahwa negara adikuasa AS mengikuti kecenderungan
yang berkembang saat ini, maka pola anti keterbukaan dan anti imigrasi menjadi
norma, tidak lagi ganjil.
Ada dampak langsung dari bagaimana akses ke pasar AS
dan yang lebih penting, bagaimana hal itu akan berdampak pada kian berkurangnya
peran AS dalam kerja sama ekonomi internasional multilateral. Selama satu
dekade ini sudah ada pengurangan dari peran AS sebagai pemimpin di kancah kerja
sama internasional. Misalnya terkait pendanaan PBB, reformasi di IMF, dan
dukungan kepada perjanjian perdagangan multilateral, WTO.
Dalam kampanyenya, Trump merespons soal lapisan
masyarakat yang tertinggal, kehilangan atau khawatir kehilangan pekerjaan
karena persaingan yang tidak adil, pekerja dari luar yang tidak legal dan
perubahan teknologi yang pesat, dengan slogan "we will make America great
again". Itu akan dilakukan antara lain dengan penciptaan lapangan
pekerjaan dan membangun atau "build" yang konkret dijawab dengan
program infrastruktur. Untuk "mengembalikan" kesempatan kerja dan
berkembangnya kembali ekonomi AS, akan dilakukan dengan membangun
"tembok" antara AS dan Meksiko, serta memulangkan semua pekerja
illegal.
Untuk perdagangan internasional, secara khusus disebut
akan melakukan renegosiasi Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA),
tidak didukungnya Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) antara 12 negara Asia Pasifik
atau Kemitraan Perdagangan dan Investasi Trans-Atlantik antara AS dan Uni
Eropa. Trump meyakini dia akan tegas merespons praktik perdagangan Tiongkok
yang tak adil dengan menaikkan bea masuk hingga 45 persen dan mencegah
manipulasi mata uang.
Implikasi bagi dunia dan kita
Kita harus menunggu seberapa jauh janji kampanye
dilaksanakan. Mungkin hanya sebagian janji kampanye yang bisa dilakukan
mengingat tidak bisa semena-mena menaikkan bea masuk tanpa alasan, dan
mengingat arus utama Partai Republik cenderung pro perdagangan internasional
karena representasi dari bisnis besar di AS. Padahal, Trump bukan bagian arus
utama Partai Republik.
Namun, hampir semua pihak yang mengetahui mengenai hal
ini mengatakan, kecil kemungkinan TPP akan disahkan selama periode lame
duckini. Dengan demikian, nasib TPP jadi sangat tak pasti dan Indonesia perlu
menyimak implikasi itu dan implikasi berkurangnya peran AS di kancah
multilateral dan regional.
Sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan Indonesia akan
bergabung ke TPP, pemerintah mempelajari untung rugi bergabung dengan TPP dan
exercise tersebut tetap penting sebagai persiapan untuk Indonesia dapat
bersaing dan melakukan persiapan di setiap sektor. Exercise penting karena pada
akhirnya kita tetap harus mempunyai strategi peningkatan daya saing dan
diversifikasi pertumbuhan dari komoditas primer. Persiapan reformasi untuk isu
tradisional perdagangan dan investasi, serta yang selama ini belum banyak
dibahas, seperti e-commerce, pengadaan pemerintah dan BUMN tetap perlu kita
lakukan jika ingin meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan penciptaan
lapangan pekerjaan.
Di samping itu, secara strategis Indonesia justru
dapat berperan meningkatkan kerja sama perdagangan internasional di Asia karena
dari segi tahapan dan komitmen lebih sesuai dengan keadaan dan tingkat
pembangunan ekonomi kita.
Kita lebih bisa menentukan berapa pesat dan luas, dan
bagaimana kita mendapat keuntungan karena pasar yang akan berkembang dan sumber
pertumbuhan dalam ketidakpastian perekonomian dunia adalah Asia. Dalam arti
lain, bagaimana kita memperkuat perjanjian regional Masyarakat Ekonomi ASEAN
dan menyelesaikan negosiasi Kemitraan Ekonomi Komprehensif Kawasan Asia Timur
yang mengonsolidasi ASEAN dengan negara Asia Timur, seperti Tiongkok, Korea,
Jepang, India, Australia, dan Selandia Baru.
Pembelajaran penting dari hasil pilpres di AS ataupun
kecenderungan di Uni Eropa, seperti Brexit, bagi semua negara, juga Indonesia,
adalah mengatasi sumber penyebab dari lapisan masyarakat yang "marah"
dan "takut". Tergantung negaranya, siapa mereka, di mana mereka, dan
isu utama yang perlu diatasi akan berbeda. Namun, perasaan bahwa pertumbuhan
ekonomi dan globalisasi tak inklusif, pengangguran tinggi dan pendapatan
stagnan karena sektornya tak bisa bersaing atau perubahan teknologi yang pesat
adalah realitas.
Kira-kira jawaban akal sehat bukan membangun tembok
atau menutup diri. Namun, bagaimana proses reformasi untuk peningkatan daya
saing nasional ada komplemen yang tepat dengan program mengurangi kemiskinan,
mengurangi ketimpangan, dan meningkatkan kapasitas. Hal itu mutlak sebagai
prakondisi untuk menjalankan program peningkatan daya saing, tetapi perlu tepat
sasaran dan efektif. Mulai dari hal umum, seperti pembangunan infrastruktur,
program pendidikan dan kesehatan, sampai dengan yang spesifik pada pelatihan
keterampilan dan peningkatan kapasitas yang diperlukan serta subsidi yang tepat
sasaran.
Dunia dan kita menanti apa yang akan menjadi kebijakan
ekonomi AS di bawah kepemimpinan Trump. Namun, dunia dan Indonesia harus siap
dengan berlanjutnya ketidakpastian dan pertumbuhan ekonomi global, serta
menyiapkan respons dalam bentuk program kebijakan dan strategi regional,
terutama yang terkait pertumbuhan dan pembangunan yang inklusif.
Sumber: Kompas,
12 November 2016
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!